Rabu, 15 Juli 2015

Persatuan dan Solidaritas Islam dalam Nahjul Balaghah






Lembaran sejarah Islam menunjukkan bahwa tiada satu faktor pun melebihi persatuan dan solidaritas yang dapat memformat kekuatan dan kemajuan bangsa. Dari sisi lain, perselisihan dan perpecahan adalah faktor terbesar yang senantiasa mencegah turunnya kebaikan dan rahmat Ilahi; sebagaimana yang disabdakan oleh Imam Ali as: “Sesungguhnya Allah swt tidak pernah memberikan kebaikan kepada (sebuah bangsa) yang terdahulu dan akan datang dengan (adanya) perpecahan[1].”

Dari sinilah artikel ini berusaha mengkaji tema persatuan Islam dari sisi teoritis dan praktis; yang mana pada permulaan membahas urgensitas solidaritas Islam menurut akal dan dengan menyebutkan sebuah contoh komprehensif menunjukkan bahwa persatuan, disamping sebuah kewajiban dan keharusan tekstual juga sebuah rinsip dan urgensitas rasional. Keuntungan-keuntungan persatuan adalah bagian penting lain yang dijelaskan oleh Imam Ali as melalui pendekatan akal, teks dan pengalaman.

Selanjutnya, tulisan ini menyinggung tantangan dan halangan yang menghadang persatuan religius yang diringkas dalam dua bagian halangan-halangan eksternal dan internal dengan menjelaskan contoh satu persatu.

Persatuan dan Solidaritas, Urgensitas Rasional
Melihat sekilas kepada persatuan dan solidaritas masyarakat dan sistem-sistem yang tidak meyakini kausa prima dan hari akhir dan membatasi seluruh eksistensi hanya terbatas pada alam materi, akan membawa kita kepada sebuah hakekat bahwa permasalahan solidaritas dan persatuan pada tingkat pertama adalah sebuah kebutuhan alamiah dan keharusan rasional yang akan menjamin kepentingan-kepentingan umum dan masyarakat; artinya permasalahan persatuan bukan hanya sebuah kewajiban tekstual dan syareat bagi pemeluk agama, akan tetapi juga sebuah urgensitas rasional bagi semua orang; dengan kata lain, kondisi-kondisi tertentu menuntut dua kaum yang bahkan saling bermusuhan untuk bersatu dalam menghadapi sebuah bahaya dan ancaman yang mengarah kepada mereka. Rasio menyebut aksi ini sebagai penjagaan eksistensi dalam berhadapan dengan sebuah ancaman yang satu.

Sebagai contoh kita lihat dua kaum yang sejak lama saling bermusuhan dan tidak memiliki titik temu dalam satu prinsip pun. Apabila sebuah banjir besar mengancam wilayah mereka dan memerlukan untuk membangun sebuah bendungan kokoh yang sebagian bahannya berada di tangan satu kaum dan bahan lain di tangan kaum lainnya dan membutuhkan tenaga insani dari kedua kaum tersebut, apakah urgensitas rasional tidak mengharuskan kedua kaum ini mengumpulkan bahan-bahan dan tenaga insani dan mulai membuat bendungan?!

Pada dasarnya menjaga eksistensi yang di dalam kehidupan manusia mengarah kepada format dan relasi kolektif, terkadang untuk mengusir ancaman dari kehidupan, mempersatukan dua atau beberapa orang yang adil dan memiliki keutamaan, dan juga orang-orang jahat yang apabila bahaya tidak mengancam maka mereka akan saling memangsa; seperti kerjasama singa dengan kijang dan kucing dengan tikus untuk mengusir musuh; sebagaimana juga untuk memperoleh keuntungan, bisa saja terjadi berjuta-juta orang dengan berbagai keinginan dan target yang berbeda bahkan bertentangan saling bekerjasama[2].

Dalam sirah (sejarah kehidupan) Nabi Muhammad saw dapat disaksikan bahwa beliau saw mengadakan perjanjian difensif dan keamanan bersama dengan tujuan menjaga keuntungan-keuntungan dan norma-norma bersama dengan kaum Yahudi yang tinggal di Madinah (kabilah-kabilah Bani Nadhir, Bani Quraidhah, Bani Qainuqa’ dan kelompok-kelompok lain Yahudi) sehingga wilayah Islam lebih banyak terjaga dari ancaman-ancaman luar dan kemungkinan bahaya lain dari pada sebelumnya.

Dalam surat perjanjian ini –yang dapat dianggap sebagai sebuah langkah politik rasional untuk memformat umat yang satu dari para pemeluk agama-agama- terlihat beberapa butir yang menarik dan layak untuk diperhatikan. Di antara isinya dapat kita saksikan butir-butir sebagai berikut:

    Mempertahankan Madinah bersama-sama oleh kaum Yahudi dan kaum Muslimin;
    Partisipasi kedua belah pihak dalam biaya-biaya peperangan yang mungkin terjadi;
    Kesatuan kaum Muslimin dan kaum Yahudi;
    Dilarang menzalimi hak pihak yang menerima perjanjian dan keharusan membantu pihak yang teraniaya;
    Berlaku baik kepada pihak-pihak yang bersangkutan;
    Larangan kerjasama pihak Yahudi dengan musuh-musuh Nabi saw melalui penyerahan senjata dan kendaraan[3].

Poin penting dan layak untuk diperhatikan dalam surat perjanjian ini adalah bahwa Nabi Muhammad saw membuat perjanjian persatuan dan persahabatan dengan kaum Yahudi yang tidak memiliki titik persamaan dari sisi kitab, nabi dan fikih dengan kita, bahkan titik perbedaan mereka dengan kaum Muslimin sangat banyak; akan tetapi dengan demikian perjanjian ini disepakati; dari sini tidak lagi ada keraguan bahwa tuntutan Nabi saw pertama kali dari dunia Islam sekarang adalah realisasi prisma persatuan Islami dan kerukunan di atas berbagai prinsip dan dasar yang dimiliki oleh aliran-aliran Islam sebagai nikmat; bahkan dapat dikatakan: Berdasarkan sirah Nabi saw kaum Muslimin, disamping persatuan di antara mereka sendiri juga harus menjalin kesepakatan persahabatan dan persatuan dengan agama-agama tauhidi lain sehingga dapat menjaga nilai-nilai kultural dan keuntungan-keuntungan ekonomi mereka di hadapan musuh-musuh agama dan keadila.

Dengan kata lain, kita harus berusaha keras dalam dua medan persatuan: pertama di antara kaum Muslimin yang berjumlah lebih dari satu miliar jiwa sebagai umat Islam dalam satu barisan dan yang kedua setelah memperoleh persatuan Islami, kita harus melangkah lebih jauh, untuk menjamin persatuan kaum muwahhid dunia sehingga seluruh kaum Muslimin bersatu dengan seluruh orang yang memiliki kitab samawi agar dapat melawan kaum mulhid internasional; karena keyakinan ketiadaan Tuhan, pengingkaran alam supranatural, pembatasan keberadaan pada materi, pengingkaran wahyu, risalah, kiamat, hari kebangkitan, kenabian, mukjizat dan seluruh hal-hal ghaib membawa dampak pahit dan tragedi mengenaskan yang tidak dapat dihindari; oleh karena itu Allah swt disamping menyeru kaum Muslimin juga para muwahhid seluruh dunia untuk bersatu: “Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 64) [4]

Keuntungan-Keuntungan Persatuan Islami
Di dalam khutbah Qashi’ah (khutbah 234 Nahjul Balaghah), Imam Ali as menjelaskan keuntungan-keuntungan persatuan Islam dan kerugian-kerugian perpecahan dan perselisihan secara komprehensif. Karena esensi dan susunan khutbah ini berdasarkan celaan terhadap kesombongan dan egois dan ajakan untuk bertawadlu’, maka kesombongan, fanatik dan egois dapat dianggap salah satu faktor urgen dalam perpecahan dan perselisihan.

Dengan mengajak orang lain untuk memikirkan dan merenungkan keadaan-keadaan dan kondisi-kondisi umat-umat terdahulu, Imam Ali as menginginkan dari mereka untuk memikirkan dengan baik faktor-faktor pencipta kebaikan dan keburukan orang-orang terdahulu. Dalam lanjutan khutbah, beliau as menyebutkan sebagian sebab dan akibat hal tersebut:
“Apabila kalian memikirkan kondisi-kondisi orang-orang terdahulu, maka berpegang teguhlah kalian kepada hal-hal yang menjadi sebab kemuliaan mereka, bagaimana mengalahkan musuh-musuh, menyambut afiat dan kenikmatan, menggandeng kemuliaan dan kehormatan; di antara sebab-sebab keberhasilan ini adalah menjauhi perpecahan dan perselisihan dan berpegang teguh kepada kasih sayang, persatuan, motifasi dan saling memesankan akan hal tersebut[5].”

Dalam lanjutan khutbah, Imam Ali as memperingatkan bahaya perpecahan:
“Jauhilah segala hal yang dapat meretakkan tulang punggung masyarakat dan melemahkan potensi dan kekuatannya; di antaranya adalah dendam dan permusuhan hati serta ketiadaan saling mendukung dan menolong di antara sesama[6].”

Dengan kata lain, Imam Ali as ingin menegaskan: Jauhilah perpecahan dan dendam yang dapat mengguncang landasan dan dasar setiap umat.
Selanjutnya Imam Ali as membahas perbandingan dua periode kehinaan dan kemuliaan kaum-kaum terdahulu, menggambarkan sebagian alamat-alamatnya dan mengingatkan kembali urgensitas dan kepentingan hal tersebut.

Sebagian dari pesan-pesan dan poin-poin penting khutbah di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

    Keistimewaan suatu umat yang ideal dan teladan adalah berkumpul dalam titik-titik temu atau persamaan, membentuk sebuah kerukunan dalam keputusan dan sehati atau sejalan dari segi intern.
    Keistimewaan lain suatu umat yang berwibawa adalah kekuatan, kemampuan dan potensi defensif dan militer digunakan untuk saling membantu sesama, bukan untuk saling berhadapan; pada hakekatnya untuk menjaga eksistensi pemerintahan-pemerintahan Islami sangat membutuhkan untuk mengumpulkan kemampuan dan potensinya sehingga dapat membutakan mata tamak negara-negara penindas dan musuh-musuh Islam.
    Berpandangan dalam dan perpikiran ke depan adalah salah satu faktor keberhasilan sebuah masyarakat insani yang satu. Fungsi urgen faktor dasar ini mencegah kelompok-kelompok dan mazhab-mazhab Islam untuk tidak berpikiran polos, berpandangan dangkal, fanatik dan kaku.
    Mungkin saja persatuan dan solidaritas tidak dapat terwujud dalam hal-hal parsial (sebagaimana dapat disaksikan dalam kelompok-kelompok intern Syi’ah dan Ahlu Sunnah), akan tetapi hal urgen ini harus dapat direalisasikan dalam hal-hal universal dan keputusan-keputusan umum yang diekspresikan oleh Imam Ali as dengan “al-‘azaaim waahidah” (tekad-tekad yang satu).
    Apabila setiap umat dapat mewujudkan hal-hal di atas dengan menyingkirkan perbedaan-perbedaan dan berkumpul dalam titik temu (hal-hal yang sama), maka otomatis akan dapat menduniakan kultur dan powernya; dan apabila umat ini mengikuti kultur al-Qur’an, maka pada akhirnya hukum-hukum, akidah-akidah dan akhlak Qur’ani akan menguasai seluruh dunia; tidak seperti saat ini ketika mayoritas penduduk dunia berada dalam cengkeraman kesyirikan, kekafiran dan penyembahan berhala dan sebagian dunia Islam tertawan oleh kehinaan dan kerendahan.
    Dari sisi lain, apabila suatu umat mengalami perpecahan, perselisihan dan pertikaian antar kelompok dan mazhab, maka Allah swt akan membuka pakaian kemuliaan dari mereka dan akan mengambil berbagai kenikmatan yang telah diberikan kepada mereka.

Ibnu Maitsam di akhir bagian khutbah Alawi ini menyatakan: “Mereka adalah orang-orang (umat-umat) yang Imam Ali perintahkan untuk mengambil pelajaran dari keadaan-keadaan mereka, bukan umat tertentu, bahkan mencakup setiap umat; karena apabila setiap umat bergandengan tangan dan saling membantu satu sama lain, maka hal ini akan menjadi sebab kemuliaan keadaan mereka dan dapat mengusir musuh-musuh dan setiap kaum yang mengalami perpecahan maka akan berakhir dengan kehinaan dan hegemoni musuh-musuh[7].”

Ibnu Maitsam meyakini ucapan-ucapan Imam Ali as tersebut sebagai tidak terbatas kepada suatu kaum tertentu, akan tetapi mengatakan permasalahan ini dapat terjadi pada setiap waktu dalam sejarah untuk setiap umat.

Ketika Khalifah Umar bin Khattab ingin bermusyawarah dan meminta petunjuk dari Imam Ali as mengenai permasalahan-permasalahan militer dan keamanan, Imam Ali as di tengah wasiat-wasiat beliau as kepada Khalifah Umar mengingatkan bahwa kemuliaan dan jumlah besar kaum Muslimin berasal dari agama Islam, persatuan dan kebersamaan mereka;[8] artinya persatuan dan kebersamaan disebutkan sebagai salah satu dari dua faktor keberhasilan dan kemuliaan. Atau apa yang terdapat di dalam surat Imam Ali as kepada penduduk Mesir menyebutkan sebab-sebab partisipasi dan kerjasama Imam as dengan para Khalifah –yang menjadi penyebab persatuan dan kebersamaan umat Islam itu sendiri-, bahaya penyelewengan umat, huruhara kaum murtad dan pemberantasan agama Nabi Muhammad saw; dan dengan tegas Imam Ali as menyatakan: Apabila tidak mencegah kondisi perpecahan dan perselisihan, maka sebuah hantaman akan mengenai Islam yang tidak ada satu musibah pun lebih besar dari hal itu[9].

Dengan memperhatikan hal-hal di atas, secara global sebagian keuntungan persatuan Islami dapat disebutkan sebagai berikut:

    Kemuliaan Islam dan negara;
    Kewibawaan Islam dan negara dan selanjutnya kemakmuran dan power ekonomi;
    Keamanan negara;
    Perluasan dan penyebaran kultural di dunia;
    Mencari keafiatan, rahmat dan nikmat Ilahi;
    Menciptakan suasana kasih sayang, kebersamaan dan efektifitas;
    Memperkokoh pondasi-pondasi agama;
    Menjaga ancaman-ancaman internal dan eksternal.

Sumber: Balaghah.net
_______________
Referensi:
[1] Nahjul Balaghah, khutbah 176.
[2] Ja’fari, Muhammad Taqi, Wahdat-e ‘Ali-ye Insani (Persatuan Tinggi Insani), Penyusun dan peringkas Muhammad Ridlo Jawadi, Teheran, Daftar-e Nasyr-e Farhang-ge Islami, 1380 Syamsi, hal 30
[3] Majlisi, Muhammad Baqir, Biharul Anwar, Beirut, Muassasah Al-Wafa’, 1404 Qamari, jilid 19, hal 10; Ibnu Katsir Demesyqi, Ismail, Al-Bidayah Wa An-Nihayah, Beirut, Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabi, 1408, jilid 3, hal 273.
[4] Javadi Amuli, Abdullah, Wahdat Jawami’ Dar Nahjul Balaghah (Persatuan Sosial dalam Nahjul Balaghah), Pengumpul dan penyusun Said Band Ali, Qom, Isra’, 1380 Syamsi, hal 73
[5] Khutbah 234.
[6] Ibid
[7] Ibnu Maitsam Bahrani, Maitsam bin Ali, Syarh Nahjul Balaghah, Teheran, Percetakan Khadamaat Chaapi, 1404, jilid 4, hal 295.
[8] Khutbah 146.
[9] Nahjul Balaghah, surat 62.

0 komentar:

Posting Komentar