Nama:
Fathimah;
Gelar: Az-Zahra;
Julukan: Ummu al-Aimah, Sayyidatu Nisa’, al-‘Alamin, Ummu Abiha;
Ayah: Muhammad Rasulullah saww;
Ibu: Khadijah al-Kubra;
Tempat dan tanggal lahir: Makkah, Hari Jum’at, 20 Jumadi al-Tsani (Jumadi al-Akhir);
Hari dan tanggal wafat: Selasa, 3 Jumadi al-Tsani Tahun 11 H;
Umur: 18 Tahun;
Jumlah anak: 4 orang; 2 laki-laki dan 2 perempuan;
Anak laki-laki: Hasan dan Husein;
Anak perempuan: Zainab dan Ummu Kaltsum
Riwayat Hidup:
Di antara anak wanita Rasulullah saw, Fathimah az-Zahra as, merupakan wanita paling utama kedudukannya. Kemuliannya itu diperoleh sejak menjelang kelahirannya, yang didampingi wanita suci sebagaimana yang diucapkan oleh Khadijah:
“Pada waktu kelahiran Fartimah as, aku meminta bantuan wanita-wanita Quraish tetanggaku, untuk menolong. Namun mereka menolak mentah-mentah sambil mengatakan bahwa aku telah menghianati mereka dengan mendukung Muhammad. Sejenak aku bingung dan terkejut luar biasa ketika melihat empat orang tinggi besar yang tak kukenal, dengan lingkaran cahaya di sekitar mereka mendekati aku. Ketika mereka mendapati aku dalam kecemasan salah seorang dari mereka menyapaku: ‘Wahai Khadijah! Aku adalah Sarah, ibunda Ishaq dan tiga orang yang menyapaku adalah Maryam, Ibunda Isa, Asiah, Putri Muzahim, dan Ummu Kultsum, Saudara perempuan Musa. Kami semua diperintah oleh Allah untuk mengajarkan ilmu keperawatan kami jika anda bersedia.’ Sambil mengatakan hal tersebut, mereka semua duduk di sekelilingku dan memberikan pelayanan kebidanan sampai putriku Fathimah as lahir.”
Meningkat usia 5 tahun, beliau telah ditinggal pergi ibunya. Tidak secara langsung beliau menggantikan tempat ibunya dalam melayani, membantu dan membela Rasulullah saw, sehingga beliau mendapat gelar Ummu Abiha (ibu dari ayahnya). Dan dalam usia yang masih kanak-kanak, beliau juga telah dihadapkan kepada berbagai macam ujian. Beliau melihat dan meyaksikan perlakuan keji kaum kafir Quraish kepada ayahandanya, sehingga seringkali pipi beliau basah oleh linangan air mata karena melihat penderitaan yang dialami ayahnya.
Ketika Rasulullah pindah ke kota Madinah beliau ikut berhijrah bersama ayahnya. Selang beberapa tahun setelah hijrah tepat pada tanggal 1 Dzulhijjah, hari Jum’at, tahun 2 Hijrah, beliau menikah dengan Ali bin Abi Thalib.
Dari pernikahan suci yang diberkati oleh Allah SWT, beliau dikaruniai dua orang putra; Hasan dan Husein serta dua orang putri, Zainab dan Ummi Kaltsum, mereka semua terkenal sebagai orang yang sholeh, baik dan pemurah hati.
Fathimah bukan hanya seorang anak yang paling berbakti pada ayahnya, tapi sekaligus sebagai seorang istri yang setia mendampingi suaminya di segala keadaan serta sebagai pendidik terbaik telah berhasil mendidik anak-anaknya.
Masa-masa indah bagi beliau adalah ketika hidup bersama Rasulullah saw. Beliau mempunyai tempat agung di sisi Rasulullah sehingga digambarkan di kitab Thabari Hal 40, Siti Aisyah berkata: “Aku tidak melihat orang yang pembicaraannya mirip dengan Rasulullah saw seperti Fathimah as. Apabila datang kepada ayahandanya, beliau berdiri, menciumnya, menyambut gembira dan mengiringnya lalu didudukkan di tempat duduk beliau. Apabila Rasulullah datang kepadanya, ia pun berdiri menyambut ayahandanya dan mencium tangan beliau saw.”
Tidak heran, jika setelah kepergian baginda Rasulullah, beliau sangat sedih dan berduka cita, hatinya menangis dan menjerit sepanjang waktu. Namun perlu diketahui bahwa kesedihan dan tangisannya itu bukanlah semata-mata kehilangan Rasulullah saw, tapi juga beliau melihat kelakuan umat sesudahnya yang sudah banyak menyimpang dari ajaran ayahnya, dimana penyimpangan itu akan membawa kesengsaraan bagi kehidupan mereka.
Sejarah mencatat bahwa Sayyidah Fathimah az-Zahra as setelah kepergian Rasulullah saw tidak pernah terlihat senyum apalagi tertawa. Sejarah juga mencatat bahwa antara beliau dengan khalifah pertama dan kedua terjadi perselisihan tentang tanah Fadak dan tentang masalah lainnya. Menurut Sayyidah Fathimah as tanah itu adalah hadiah dari ayahnya untuk dirinya, namun khalifah berkata bahwa nabi tidak meninggalkan sesuatau dari keluarganya, sedangkan warisan nabi berubah statusnya menjadi sedekah yang digunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin.
M.H. Shakir berpendapat: “Wafatnya Rasulullah saw sangat mempengaruhinya, ia sangat sedih, berduka dan tangis hatinya memekik sepanjang masa. Sayang sekali, setelah wafat nabi, pemerintah mengambil alih tanah fadak dan menyerahkannya sebagai milik negara.”
Kehidupan Fathimah az-Zahra as, wanita agung sepanjang masa adalah kehidupan yang diwarnai kesucian, kesederhanaan, pengabdian, perjuangan dan pengorbanan, bukan kehidupan yang diwarnai kemewahan.
Fathimah hanya hidup tidak lebih dari 75 hari setelah kepergian ayahnya. Pada tanggal 14 Jumadi al-Ula tahun 11 Hijriyah, wanita suci, wanita agung dan mulia sepanjang masa, menutup mata dalam usia yag relatif muda yaitu 18 tahun.
Namun sebelum wafatnya beliau mewasiatkan keinginan kepada Imam ali as yang isinya:
1. Wahai Ali, engkau sendirilah yang harus melaksanakan upacara pemakamanku.
2. Mereka yang tidak membuat aku rela/ridha, tidak boleh menghadiri pemakamanku.
3. Jenazahku harus dibawa ke tempat pemakaman pada malam hari.
Fathimah az-Zahra, putri bungsu Rasulullah saw, telah tiada. Tidak ada ungkapan yang mampu menggambarkan keagungan Fathimah az-Zahra yang sebenarnya. Dr. Ali Syariati memberikan komentar tentang Fathimah: “Saya akan bangga dan hendak mengatakan Fathimah as adalah putri Khadijah yang besar, saya rasa itu bukan Fathimah as. Saya hendak mengatakan Fathimah as adalah putri Rasulullah saw, saya rasa itu bukan juga Fathimah. Saya hendak mengatakan Fathimah as adalah istri Ali, saya rasa itu juga bukan Fathimah as. Saya hendak mengatakan Fathimah as adalah ibunda Zainab, saya masih merasa itu bukan Fathimah as. Tidak, semua itu benar tetapi tak satupun yang menggambarkan Fathimah as yang sesungguhnya. Fathimah as adalah Fathimah as.”
Fathimah;
Gelar: Az-Zahra;
Julukan: Ummu al-Aimah, Sayyidatu Nisa’, al-‘Alamin, Ummu Abiha;
Ayah: Muhammad Rasulullah saww;
Ibu: Khadijah al-Kubra;
Tempat dan tanggal lahir: Makkah, Hari Jum’at, 20 Jumadi al-Tsani (Jumadi al-Akhir);
Hari dan tanggal wafat: Selasa, 3 Jumadi al-Tsani Tahun 11 H;
Umur: 18 Tahun;
Jumlah anak: 4 orang; 2 laki-laki dan 2 perempuan;
Anak laki-laki: Hasan dan Husein;
Anak perempuan: Zainab dan Ummu Kaltsum
Riwayat Hidup:
Di antara anak wanita Rasulullah saw, Fathimah az-Zahra as, merupakan wanita paling utama kedudukannya. Kemuliannya itu diperoleh sejak menjelang kelahirannya, yang didampingi wanita suci sebagaimana yang diucapkan oleh Khadijah:
“Pada waktu kelahiran Fartimah as, aku meminta bantuan wanita-wanita Quraish tetanggaku, untuk menolong. Namun mereka menolak mentah-mentah sambil mengatakan bahwa aku telah menghianati mereka dengan mendukung Muhammad. Sejenak aku bingung dan terkejut luar biasa ketika melihat empat orang tinggi besar yang tak kukenal, dengan lingkaran cahaya di sekitar mereka mendekati aku. Ketika mereka mendapati aku dalam kecemasan salah seorang dari mereka menyapaku: ‘Wahai Khadijah! Aku adalah Sarah, ibunda Ishaq dan tiga orang yang menyapaku adalah Maryam, Ibunda Isa, Asiah, Putri Muzahim, dan Ummu Kultsum, Saudara perempuan Musa. Kami semua diperintah oleh Allah untuk mengajarkan ilmu keperawatan kami jika anda bersedia.’ Sambil mengatakan hal tersebut, mereka semua duduk di sekelilingku dan memberikan pelayanan kebidanan sampai putriku Fathimah as lahir.”
Meningkat usia 5 tahun, beliau telah ditinggal pergi ibunya. Tidak secara langsung beliau menggantikan tempat ibunya dalam melayani, membantu dan membela Rasulullah saw, sehingga beliau mendapat gelar Ummu Abiha (ibu dari ayahnya). Dan dalam usia yang masih kanak-kanak, beliau juga telah dihadapkan kepada berbagai macam ujian. Beliau melihat dan meyaksikan perlakuan keji kaum kafir Quraish kepada ayahandanya, sehingga seringkali pipi beliau basah oleh linangan air mata karena melihat penderitaan yang dialami ayahnya.
Ketika Rasulullah pindah ke kota Madinah beliau ikut berhijrah bersama ayahnya. Selang beberapa tahun setelah hijrah tepat pada tanggal 1 Dzulhijjah, hari Jum’at, tahun 2 Hijrah, beliau menikah dengan Ali bin Abi Thalib.
Dari pernikahan suci yang diberkati oleh Allah SWT, beliau dikaruniai dua orang putra; Hasan dan Husein serta dua orang putri, Zainab dan Ummi Kaltsum, mereka semua terkenal sebagai orang yang sholeh, baik dan pemurah hati.
Fathimah bukan hanya seorang anak yang paling berbakti pada ayahnya, tapi sekaligus sebagai seorang istri yang setia mendampingi suaminya di segala keadaan serta sebagai pendidik terbaik telah berhasil mendidik anak-anaknya.
Masa-masa indah bagi beliau adalah ketika hidup bersama Rasulullah saw. Beliau mempunyai tempat agung di sisi Rasulullah sehingga digambarkan di kitab Thabari Hal 40, Siti Aisyah berkata: “Aku tidak melihat orang yang pembicaraannya mirip dengan Rasulullah saw seperti Fathimah as. Apabila datang kepada ayahandanya, beliau berdiri, menciumnya, menyambut gembira dan mengiringnya lalu didudukkan di tempat duduk beliau. Apabila Rasulullah datang kepadanya, ia pun berdiri menyambut ayahandanya dan mencium tangan beliau saw.”
Tidak heran, jika setelah kepergian baginda Rasulullah, beliau sangat sedih dan berduka cita, hatinya menangis dan menjerit sepanjang waktu. Namun perlu diketahui bahwa kesedihan dan tangisannya itu bukanlah semata-mata kehilangan Rasulullah saw, tapi juga beliau melihat kelakuan umat sesudahnya yang sudah banyak menyimpang dari ajaran ayahnya, dimana penyimpangan itu akan membawa kesengsaraan bagi kehidupan mereka.
Sejarah mencatat bahwa Sayyidah Fathimah az-Zahra as setelah kepergian Rasulullah saw tidak pernah terlihat senyum apalagi tertawa. Sejarah juga mencatat bahwa antara beliau dengan khalifah pertama dan kedua terjadi perselisihan tentang tanah Fadak dan tentang masalah lainnya. Menurut Sayyidah Fathimah as tanah itu adalah hadiah dari ayahnya untuk dirinya, namun khalifah berkata bahwa nabi tidak meninggalkan sesuatau dari keluarganya, sedangkan warisan nabi berubah statusnya menjadi sedekah yang digunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin.
M.H. Shakir berpendapat: “Wafatnya Rasulullah saw sangat mempengaruhinya, ia sangat sedih, berduka dan tangis hatinya memekik sepanjang masa. Sayang sekali, setelah wafat nabi, pemerintah mengambil alih tanah fadak dan menyerahkannya sebagai milik negara.”
Kehidupan Fathimah az-Zahra as, wanita agung sepanjang masa adalah kehidupan yang diwarnai kesucian, kesederhanaan, pengabdian, perjuangan dan pengorbanan, bukan kehidupan yang diwarnai kemewahan.
Fathimah hanya hidup tidak lebih dari 75 hari setelah kepergian ayahnya. Pada tanggal 14 Jumadi al-Ula tahun 11 Hijriyah, wanita suci, wanita agung dan mulia sepanjang masa, menutup mata dalam usia yag relatif muda yaitu 18 tahun.
Namun sebelum wafatnya beliau mewasiatkan keinginan kepada Imam ali as yang isinya:
1. Wahai Ali, engkau sendirilah yang harus melaksanakan upacara pemakamanku.
2. Mereka yang tidak membuat aku rela/ridha, tidak boleh menghadiri pemakamanku.
3. Jenazahku harus dibawa ke tempat pemakaman pada malam hari.
Fathimah az-Zahra, putri bungsu Rasulullah saw, telah tiada. Tidak ada ungkapan yang mampu menggambarkan keagungan Fathimah az-Zahra yang sebenarnya. Dr. Ali Syariati memberikan komentar tentang Fathimah: “Saya akan bangga dan hendak mengatakan Fathimah as adalah putri Khadijah yang besar, saya rasa itu bukan Fathimah as. Saya hendak mengatakan Fathimah as adalah putri Rasulullah saw, saya rasa itu bukan juga Fathimah. Saya hendak mengatakan Fathimah as adalah istri Ali, saya rasa itu juga bukan Fathimah as. Saya hendak mengatakan Fathimah as adalah ibunda Zainab, saya masih merasa itu bukan Fathimah as. Tidak, semua itu benar tetapi tak satupun yang menggambarkan Fathimah as yang sesungguhnya. Fathimah as adalah Fathimah as.”
==========================================================================
Source :
0 komentar:
Posting Komentar