Pengetahuan dan makrifat hakiki yang sebagaimana telah didefinisikan terdahulu, dalam artikel kami yang berjudul “Defenisi Pengetahuan [1]”, memiliki rukun-rukun seperti, keyakinan yang konstan, kesesuaian (objektivitas), dan realitas itu sendiri (nafs al-amr).
Di bawah ini akan kami jelaskan rukun-rukun tersebut.
A. Keyakinan dan Kebenaran
Keyakinan yang berhubungan dengan keraguan, khayalan, dan sangkaan terdapat dua dimensi. Keyakinan bahwa A adalah B dan keyakinan bahwa kalau tidak seperti itu adalah kekeliruan. Inti dari kedua bentuk ini adalah keyakinan dalam khayalan dan keyakinan dalam kesalahan. Ia memiliki keyakinan atas suatu realitas, namun pada hakikatnya, keyakinannya itu adalah keliru dan salah. Selain keyakinan bentuk itu, terdapat keyakinan lain seperti kalau dikatakan bahwa 2 + 2 = 4, keyakinan ini juga memiliki dua bentuk: yakin bahwa penjumlahan tersebut adalah benar dan yakin bahwa kalau tidak seperti itu merupakan kesalahan dan kekeliruan. Karena kalau keyakinan kedua ini adalah salah, maka niscaya keyakinan pertama adalah juga keliru.[1]
Para filosof muslim, dengan keberadaan syarat ini (keyakinan kedua), beranggapan bahwa keyakinan kepada perkara-perkara yang partikular dan senantiasa berubah itu tidak tergolong kedalam keyakinan kedua itu, karena pengetahuan kepada sesuatu yang senantiasa berubah, dalam keadaan sesuatu itu berubah, maka pengetahuan kepada sesuatu itu juga akan berubah dan sirna. Sebagai contoh, pengetahuan kita tentang “Ahmad duduk” ini adalah bentuk keyakinan pertama, bukan keyakinan kedua, karena sangat mungkin Ahmad tidak seperti itu lagi, melainkan “Ahmad berdiri”, yakni tidak duduk lagi. Akan tetapi, pengetahuan kita tentang “tiga ialah angka ganjil” niscaya memiliki kedua keyakinan tersebut, karena keganjilan angka tiga mustahil berubah. Oleh sebab itu, keyakinan kepadanya tidak akan berubah dan sirna.[2]
Namun, ada hal yang harus diperhatikan bahwa terdapat perbedaan antara “keyakinan” dan “objek yang diyakini”, dan adanya perubahan pada “objek yang diyakini” tidak mengharuskan perubahan pada “keyakinan”. Harus dipahami bahwa syarat penting dan mendasar dalam pengetahuan hakiki adalah ketetapan pada “keyakinan”, bukan ketetapan pada “objek yang diyakini”, karena kalau “duduknya Ahmad” itu adalah sesuatu yang diyakini, maka keyakinan ini tidak akan tergolong sebagai kejahilan, walaupun kemudian “Ahmad berdiri”. Hal ini dikarenakan, keyakinan kepada “duduknya Ahmad” pada zaman dan tempat tertentu adalah bersifat tetap, walaupun “duduknya Ahmad” itu tidaklah abadi. Khususnya, apabila pengetahuan dan keyakinan berhubungan dengan perkara-perkara internal jiwa dan ilmu hudhuri, seperti pengetahuan kepada kebahagiaan pada zaman tertentu atau kemalangan pada zaman tertentu. Pengetahuan dan keyakinan ini senantiasa bersifat tetap dan konstan, yakni keyakinan kepada kebahagiaan pada zaman dan hari tertentu adalah bersifat abadi dan keyakinan ini tidak akan berubah dengan karakteristiknya itu. Yang diperlukan dalam ilmu, makrifat, dan pengetahuan hakiki adalah ketetapan keyakinan yang sesuai dengan realitas, dan bukan ketetapan pada objek ilmu.
Perlu diperhatian bahwa yang hendak dituju dalam segala pengetahuan manusia adalah perumusan kaidah-kaidah universal. Kaidah-kaidah universal ini memiliki subjek dan predikat yang juga universal, bukan bersifat partikular dan senantiasa berubah. Oleh sebab itu, gagasan-gagasan para filosof muslim ke arah keyakinan yang tetap dan abadi. Namun, perkara ini jangan salah dipahami bahwa syarat pengetahuan hakiki dalam epistemologi adalah juga ketetapan dan keabadiaan objek-objek yang diyakini.
Walhasil, pengetahuan hakiki adalah keyakinan tetap yang sesuai dengan realitas, yakni tidak terdapat kemungkinan adanya kesalahan dan kekeliruan, seperti ilmu hudhuri, aksiomatik-aksiomatik kategori pertama, dan teori-teori yang berpijak kepada aksiomatik tersebut. Sementara pengetahuan-pengetahuan yang bersifat skeptikal, opini, dan presumtif serta ilmu-ilmu empirik tidak tergolong ke dalam definisi tersebut, kecuali bisa disandarkan kepada pengetahuan hakiki dalam bentuk-bentuk yang logikal.
B. Kesesuaian, korespondensi, dan objektivitas
Rukun kedua dalam definisi tersebut mengenai objektivitas, yakni kesesuaian dan keidentikan keyakinan dengan realitas.
Kesesuaian dalam masalah kuantitas seperti satu meter kain bersesuaian dengan benda lain dari segi ukuran, warna dan volume. Persoalan yang prinsipil adalah apa makna kesesuaian, korespondensi, keidentikan, dan objektivitas dalam pengetahuan dan makrifat?
Jelas sekali bahwa kesesuaian dan objektivitas dalam makrifat adalah bukan bermakna kesamaan dan kesatuan secara sempurna dan juga bukan berarti berlawanan secara sempurna, karena dalam kesesuaian terdapat hubungan antara pengetahuan dan objeknya. Dualitas ini (pengetahuan dan objeknya) pada dasarnya sebagai penghalang kesesuaian dan objektivitas. Pada sisi lain, karena ada asumsi kesesuaian, dengan demikian jika terdapat perbedaan yang sempurna, maka tidak dikatakan ada kesesuaian.
Sebagian filosof mendefinisikan kesesuaian itu sebagai “hal yang tidak berlawanan”, yakni kalau keyakinan itu dalam bentuk proposisi positif, maka realitas objeknya pun harus menceritakan tentang proposisi yang bersifat positif tersebut. Begitu pula pada keyakinan yang berbentuk proposisi negatif.[3]
Sebagian filosof lain beranggapan bahwa terdapat tiga syarat dalam masalah objektivitas dan kesesuaian:
Penganalogian;
Kesatuan antara analogi dan yang dianalogikan;
Berlakunya hukum bahwa “ini adalah itu”.[4]
Tentang objektivitas itu mungkin bisa diajukan suatu kritik bahwa apabila pengetahuan itu adalah bersifat abstrak, sementara sebagian realitas dan objek ilmu itu adalah materi, lantas bagaimana objektivitas itu bisa terwujud sementara syaratnya mesti sejenis?
Atau bisa dipertanyakan bahwa bagaimana objektivitas itu bisa dipertanggung jawabkan sementara yang ada pada kita hanya pengetahuan dan bukan objek pengetahuannya?
Untuk persoalan pertama bisa dijelaskan bahwa syarat utama dalam objektivitas adalah pencerminan dan penceritaan. Dan dalam pencerminan dan penceritaan tersebut adalah tidak penting adanya persatuan antara “cerita” dan “objek yang diceritakan”. Sebagai contoh, sebuah cermin yang memantulkan benda-benda. Mayoritas sesuatu yang dipantulkannya itu ialah tidak sejenis dengan zat cermin, akan tetapi, ia dapat manampakkannya. Cermin itu terbuat dari kaca, namun bisa memantulkan benda-benda seperti batu, kayu, macam-macam warna dan volume, yang tidak sejenis dengannya. Dengan demikian, penampakan dan penceritaan itu tidak membutuhkan adanya kesesuaian spesies, genus, atau semacamnya.
Mengenai persoalan kedua akan diuraikan pada pembahasan yang akan datang.
Dan di bawah ini akan disinggung persoalan-persoalan yang berhubungan dengan objektivitas:
1. Keberadaan dan Ketiadaan
Keyakinan kepada “Tuhan ada”, “benda ada”, “jiwa ada”, dan “kebahagiaan ada”, atau “sekutu Tuhan tiada”, “manusia dengan empat tanduk tiada”, adalah berkaitan dengan keberadaan dan ketiadaan. Oleh karena itu, objektivitas suatu keyakinan juga berkaitan dengan keberadaan dan keyakinan itu. Objektivitas ini bermakna bahwa sebagaimana suatu proposisi menceritakan sesuatu yang berada, maka sesuatu yang diceritakan pun benar-benar terwujud di alam eksternal, begitu pula kalau suatu proposisi menceritakan tentang ketiadaan, maka “sesuatu” yang diceritakan itu pun niscaya tiada dan tidak berwujud di alam eksternal.
2. Sifat Keberadaan dan Ketiadaan
Kesesuaian dalam sifat keberadaan dan ketiadaan dengan makna penceritaan dan pencerminan realitas sebagaimana adanya. Sebagai contoh, Tuhan Wâjibul Wujud, Ali mumkinul wujud, api sebab, jiwa sebab dan kehendak akibat, atau sekutu Tuhan mustahil. Dalam contoh-contoh tersebut diungkapkan tentang sifat-sifat eksistensi ( seperti Wajibul Wujud, mumkinul wujud, sebab, akibat) atau sifat-sifat ketiadaan (seperti mustahil). Objektivitas dalam masalah ini berarti bahwa terwujudnya sifat-sifat tersebut di alam eksternal, atau menyatunya sesuatu dengan sifat-sifat itu di alam eksternal. Ketika kita katakan: Tuhan Wajibul Wujud, yakni disamping Tuhan itu berwujud, juga kewujudan-Nya bersifat Wajibul Wujud (mesti-ada). Kesesuaian dalam pengetahuan ini ialah bahwa Tuhan benar-benar mempunyai sifat tersebut, yakni wujud-Nya adalah niscaya. Sementara mengenai proposisi: sekutu Tuhan mustahil, ini bermakna bahwa sekutu Tuhan itu tidak berwujud dan mustahil akan terwujud. Objektivitas dalam pengetahuan ini adalah ketiadaan sekutu Tuhan dan kemustahilan keberwujudan-Nya.
3. Kuiditas eksternal dan hakiki
Kuiditas-kuiditas eksternal dan hakiki seperti benda, kayu, putih, hitam, manis, sakit, bahagia, jiwa, dan semisalnya.
Filosof muslim dalam masalah ini menafsirkan objektivitas dan kesesuaian itu dengan kesatuan kuiditas. Yakni kuiditas tunggal yang ternampakkan dan termanifestasikan dalam dua bentuk eksistensi: pertama adalah wujud eksternal dan memiliki pengaruh eksternal, dan kedua adalah wujud di alam pikiran dan mempunyai efek di alam pikiran (perlu diketahui bahwa antara wujud – baik di alam eksternal maupun di alam pikiran – dan pengaruhnya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, keterpisahan di antara keduanya hanya dalam analisis rasional). Kesatuan kuiditas inilah sebagai tolok ukur objektivitas dan kesesuaian pengetahuan dan objeknya. Namun, untuk terhindar dari berbagai kritikan atas konsep kesatuan kuiditas ini, mereka lantas mengajukan bentuk predikasi pertama (primary predication) dan predikasi umum/biasa (common predication). Gagasan puncak kesatuan kuiditas tersebut ialah bahwa segala gambaran pikiran merupakan cermin dan cerita dari kuiditas-kuiditas eksternal, dan bukan berarti bahwa kuiditas-kuiditas eksternal itu sendiri secara hakiki hadir dan terwujud dalam pikiran. Melainkan apa-apa yang terwujud di alam pikiran seperti gambaran tentang api merupakan realitas pencerminan yang benar untuk kuiditas api eksternal dan hakiki, dan bukanlah kuiditas api hakiki yang benar-benar hadir di alam pikiran, karena kalau terjadi demikian, maka kita akan terbakar ketika menggambarkan tentang api hakiki. Secara tegas bisa dikatakan bahwa yang hadir di alam pikiran ialah wujud api yang minus pengaruh membakar, sementara di alam luar yang hadir adalah wujud api dengan pengaruhnya.
Jadi objektivitas dalam hal di atas adalah sifat pencerminan dan penceritaan terhadap objek-objek eksternal itu sendiri.
4. Karakteristik-karakteristik konsepsi pikiran
“Konsepsi manusia adalah universal” adalah suatu proposisi yang menjelaskan tentang sifat dan kerakteristik konsepsi manusia. Objektif dan non-objektifnya penjelasan dan pencerminan sangat bergantung kepada apakah konsepsi manusia tersebut secara hakiki memiliki kerakteristik itu ataukah tidak. Apabila konsepsi manusia mempunyai kemampuan mencakup banyak individu dan bersifat universal, maka pencerminan dan penjelasan tersebut mempunyai objektivitas. Jika segala konsepsi yang hadir di alam pikiran dengan cara ilmu hudhuri, maka keberadaan dan ketiadaan karakteristik ini dalam konsepsi manusia juga akan diketahui dengan ilmu hudhuri. Oleh karena itu, objektivitas dan ketiadaan objektivitasnya pun hanya akan dipahami dengan ilmu hudhuri.
Walhasil, setiap proposisi yang menceritakan dan mencerminkan suatu realitas, apabila pencerminan ini sebagimana yang ada, maka objektivitas akan terwujud. Yang perlu diketahui bahwa realitas itu bermacam: realitas eksistensial, non-eksistensial, dan realitas-realitas lainya.
C. Realitas itu sendiri (nafs al-amr)
Rukun ketiga pengetahuan hakiki adalah realitas, karena makrifat hakiki bersesuaian dengan realitas. Persoalan mendasar dan penting adalah: apa realitas itu? Apakah realitas itu objek-objek eksternal, maujud-maujud eksternal, maujud-maujud materi, atau meliputi juga maujud-maujud nonfisik? Apakah realitas itu juga meliputi konsepsi-konsepsi pikiran, kondisi-kondisi internal jiwa, dan perkara-perkara tiada serta sifat-sifat ketiadaan?
Yang biasa hadir dalam pikiran kita tentang “realitas” itu ialah maujud-maujud fisik dan eksternal, seperti yang dikatakan dalam proposisi: hujan sedang turun, dimana merupakan perkara fisikal dan eksternal. Sementara kita banyak bergelut dengan proposisi-proposisi kelimuan yang diyakini dimana tidak berhubungan dengan objek-objek material dan fisikal, atau bahkan terkait dengan hal-hal yang tidak berwujud, seperti proposisi: Tuhan ada, sekutu Tuhan tiada, kemustahilan menyatunya hal-hal yang berlawanan, Husain tidak memiliki anak, dan proposisi-proposisi semisalnya. Proposisi-proposisi yang menceritakan tentang alam internal jiwa dan pikiran seperti: saya bahagia, saya sakit kepala kemarin, konsepsi manusia adalah universal, konsepsi tentang Hasan adalah partikular, dan lain sebagainya. Dengan demikian, domain “realitas” lebih umum dan lebih luas dari realitas-realitas indrawi, fisikal, dan bahkan hal-hal yang berwujud. Oleh karena itu, semestinya permasalahan tersebut dipandang secara lebih teliti dan cermat sehingga bisa dirumuskan suatu gagasan yang lebih universal, komprehensif, dan sempurna.
Sebelum kami mengungkapkan beragam interpretasi tentang “realitas” ini, alangkah baiknya kita memperhatikan poin penting ini bahwa sebagian filsosof Islam[5] menamakan “realitas” yang terkait dengan non-eksistensial, ketiadaan, dan perkara-perkara pikiran sebagai “realitas itu sendiri” (nafs al-amr). Mereka ini kemudian berupaya menjelaskan dan menafsirkan tentang nafs al-amr tersebut.
Di bawah ini akan disebutkan beragam interpretasi dan pandangan tentang nafs al-amr:
1. Alam akal atau akal aktif (al-aql al-fa’âl, active intellect)
Sebagain filosof memandang nafs al-amr itu sebagai alam akal ( intelligible world) atau akal aktif (active intellect), yakni apabila capaian-capaian ilmu dan pengetahuan sesuai dengan apa yang ada pada akal aktif, maka disebut benar dan sesuai dengan realitas, dan kalau tidak demikian, maka dikatakan sebagai kebohongan dan kesalahan.[6] Untuk gagasan dan perspektif ini, mereka menyusun argumentasi.[7]
2. Sesuatu yang sebagaimana adanya
Sebagian yang lain menafsirkan nafs al-amr tersebut sebagai “sesuatu yang sebagaimana adanya”. Ketika dikatakan bahwa sesuatu yang terwujud dalam nafs al-amr, yakni sesuatu yang hadir dalam tingkatan zatnya sendiri, atau bermakna bahwa sesuatu yang memiliki wujud dan realitas dalam batasan zat-nya sendiri (yang terlepas dari asumsi dan perspektif para pemikir tentangnya) dengan tak memandang apakah berada di alam eksternal atau di alam pikiran. Seperti keuniversalan konsepsi manusia adalah nafs al-amr, karena universalitas itu merupakan sifat dari konsepsi manusia secara riil, akan tetapi keganjilan angka lima ialah bukan nafs al-amr dan tak nyata, karena walaupun keganjilan angka lima dikonsepsi dalam pikiran, akan tetapi ia terwujud berdasarkan suatu asumsi.[8] Dan juga sebagian menerjemahkan kata “al-amr” itu sebagai “sesuatu” dan “nafs” sebagai “diri”, jadi nafs al-amr adalah “diri sesuatu” atau “sesuatu itu sendiri”.[9] Sebagian lain beranggapan bahwa “realitas setiap sesuatu” itu merupakan nafs al-amr-nya setiap sesuatu itu sendiri.[10]
3. Ilmu Ilahi
Sebagian filosof disamping mengartikan nafs al-amr sebagai alam akal dan juga ilmu Ilahi. Ilmu Ilahi menyatu dengan zat suci-Nya dan nafs al-amr-nya segala sesuatu berada pada derajat Ilahi dan merupakan hakikat segala sesuatu itu.[11]
4. Hati manusia, jiwa universal, lauh mahfuz, dan alam mitsal
Selain makna-makna di atas, sebagian menambahkan makna nafs al-amr itu sebagai hati (qalb) manusia, jiwa universal, lauh mahfuz (preserved table), dan alam mitsal (imaginal world, mundus imaginalis).
5. Derajat wujud dan alam transendental (transcendental word)
Pada umumnya para arif dan sufi yang menggunakan makna-makna tersebut untuk “realitas itu sendiri” atau nafs al-amr. Segala realitas yang berada di alam rendah (alam materi dan alam imaginal) ialah pancaran dan manifestasi dari alam transcendental atau alam akal. Nafs al-amr adalah sesuatu yang mengandung makna-makna dan bentuk-bentuk kebenaran. Dan seluruh makna-makna dan bentuk-bentuk kebenaran harus sesuai dengan nafs al-amr. Dikatakan bahwa segala sesuatu adalah akal dan begitu pula sebaliknya, akal adalah segala sesuatu, karena keuniversalan, sifat-sifat, dan bentuk-bentuk segala sesuatu terdapat di alam akal (intelligible world).[12]
6. Wadah eksternal bagi kehadiran proposisi
Mudarris Zanuzy mendifinisikan nafs al-amr tersebut sebagai wadah eksternal kemunculan proposisi, yakni metaproposisi dan apa-apa yang diceritakan dan digambarkan oleh proposisi merupakan nafs al-amr-nya proposisi dan pengetahuan itu.[13]
7. Kehadiran dan keberadaan mutlak
Allamah Thabathabai merumuskan nafs al-amr itu sesuai dengan kehadiran mutlak (yakni mencakup segala eksistensi, kuiditas, kategori kedua filsafat dan logikal). Wujud adalah yang prinsipil, fundamental, dan sumber kehadiran hakiki. Dan karena bersandar pada eksistensi akal, kuiditas pun dikategorikan sebagai suatu bentuk kehadiran. Begitu pula, segala kategori kedua filsafat dan logikal dipandang sebagai bentuk-bentuk kehadiran dan keberadaan. Dengan demikian, suatu wadah yang ditetapkan oleh akal untuk keberadaan dan kehadiran mutlak adalah nafs al-amr dimana meliputi segala proposisi yang benar yang berada di alam pikiran dan alam eksternal serta juga mencakup semua proposisi yang tidak memiliki kesesuaian di alam pikiran dan di alam eksternal.[14] Disamping makna-makna nafs al-amr tersebut, proposisi universal yang sesuai dengan ilmu-ilmu hudhuri di alam akal juga dikategorikan kedalam makna nafs al-amr.[15]
8. Realitas setiap sesuatu berdasarkan sesuatu itu sendiri
Nafs al-amr-nya setiap sesuatu adalah realitas sesuatu itu sendiri dan realitas sesuatu berdasarkan hakikat dan esensinya. Realitas itu meliputi maujud-maujud eksternal, maujud jiwa, konsepsi-konsepsi pikiran dan kareakteristiknya, perkara-perkara ketiadaan dan kemustahilan, seperti sekutu Tuhan tiada atau ketiadaaan sebab merupakan sebab bagi ketiadaan akibat.[16]
9. Wadah bagi kehadiran rasional objek-objek persepsi
Maksud dari nafs al-amr selain daripada realitas eksternal dan hakiki adalah wadah bagi kehadiran rasional objek-objek persepsi dimana berbeda berdasarkan aspek-aspeknya. Untuk aspek derajat khusus dari pikiran, seperti proposisi logikal dan aspek kehadiran eksternal yang diasumsi, seperti objek-objek proposisi kemustahilan menyatunya dua hal yang berlawanan serta dalam aspek penyandaran eksternal secara aksidental, seperti ketiadaan sebab ialah sebab bagi ketiadaan akibat.[17]
10. Realitas itu sendiri (nafs al-amr) meliputi wujud dan kewujudan, tiada dan ketiadaan, alam pikiran dan alam eksternal, perkara-perkara kejiwaan, serta materi dan non-materi
Keinginan kita atas realitas setiap proposisi mestilah disusun berdasarkan pencerminan proposisi tersebut. Realitas setiap proposisi dan segala sesuatu berdasarkan sesuatu itu sendiri. Realitas bagi proposisi-proposisi ketiadaan adalah tiada, realitas bagi proposisi-proposisi yang mewakili alam pikiran, dan konsepsi-konsepsi pikiran, karakteristik dan sifat-sifatnya ialah pikiran itu sendiri. Bahkan realitas bagi perkara-perkara yang bersifat asumsi dan nisbi adalah juga nisbi. Menurut sebagian filosof Islam, realitas dan kenyataan itu sama dengan wujud dan eksistensi, oleh karena itu, mereka beranggapan bahwa setiap proposisi senantiasa menceritakan tentang keberadaan. Hal ini kurang tepat, karena realitas setiap proposisi itu sesuai dengan takaran pencerminannya.
Untuk lebih jelasnya kajian ini, perlu memperhatikan poin-poin penting berikut ini:
1. Kesesuaian dan objektivitas terdapat dalam beberapa tempat:
Dari dimensi gradasi hakikat alam-alam eksistensi;
Ilmu tertinggi dan ilmu terendah serta hakikat yang rendah itu diliputi dan diketahui oleh hakikat yang tinggi, yakni kesesuaian antara ilmu tertinggi dengan ilmu terendah;
Ilmu hakiki setiap manusia tidak bertolak belakang dengan ilmu dan pengetahuan yang tertinggi;
Ada tidaknya kesesuaian proposisi dengan objeknya sangat bergantung dengan apa-apa yang diceritakan oleh proposisi itu.
Apa yang menjadi pembahasan dalam epistemologi adalah makna keempat dari objektivitas dan tak berhubungan dengan derajat tertinggi alam, tingkatan wujud dan akal aktif, walaupun pernyataan ini dibenarkan dalam kajian gnosis dan diterima oleh sebagian filosof, akan tetapi pandangam mereka ini mengenai nafs al-amr telah keluar dari inti perdebatan. Sebagian filosof mengkritik gagasan mereka ini dan berkata bahwa jika kita menerima makna objektivitas itu maka bagaimana menyesuaikan ilmu-ilmu yang ada di akal aktif itu dengan realitas, walaupun dikatakan bahwa kebenaran dan keyakinan sesuai dengan realitas, namun pertanyaan tidak akan berhenti sebelum mengungkap hakikat realitas.[18]
2. Harus dibedakan antara kehadiran ilmu di alam pikiran (yang masih bersifat pembuktian-pembutkian rasional dan belum dipastikan objektivitasnya) dan kehadiran ilmu di alam eksternal (yakni pengetahuan nyata yang objektif), yakni walaupun ilmu tertinggi, khususnya ilmu Tuhan ialah menyatu dengan zat-Nya dan tidak terdapat sedikitpun kekeliruan dan kesalahan di dalamnya serta sesuai dengan realitas. Dengan demikian, setiap ilmu dan pengetahuan yang sesuai dengan ilmu Tuhan itu niscaya sesuai pun dengan realitas, akan tetapi, pembahasan kita berada dalam wilayah kehadiran ilmu di alam pikiran dan kita menegaskan wujud dan ilmu Tuhan itu lewat kesesuaian pengetahuan dengan realitas khususnya dengan aksioma pertama, oleh karena itu pertama-tama kita mesti menentukan nafs al-amr dan objek-objek proposisi – dengan tidak memperhatikan dulu wujud dan ilmu tertinggi Tuhan – sehingga nantinya dengan mengikuti alur pembahasan ontologi dan gnosis kita akan sampai pada konstruksi pembahasan tersebut.
3. Penggunaan ungkapan “kenisbian rasionalitas” dan “wadah bagi kehadiran rasional objek-objek persepsi” serta semacamnya adalah bersifat dualisme dan keliru, karena kalau maksud dari penggunaan ini adalah bahwa nafs al-amr itu tidak ada, maka konsekuensinya adalah menafikan kesesuaian dan objektivitas proposisi. Akan tetapi apabila maksudnya ialah bahwa pikiran itu tidak bisa mengabarkan tentang hal-hal yang tiada dan perkara-perkara yang mustahil secara langsung, maka dari itu, pertama-tama diasumsikan sejenis kehadiran bagi hal-hal yang tiada dan mustahil itu dan kemudian kehadiran asumsional ini ditempatkan sebagai media pencerminan dan penceritaan bagi objek-objek yang dikonsepsi. Namun alasan seperti ini sulit diterima dan dualisme ini tidak ditemukan di dalam ungkapan-ungkapan dari filosof-filosof besar dan terkenal.
4. Kita jangan menyamakan “realitas” itu dengan “keberadaan eksternal”, karena “realitas” tersebut – sebagaimana yang telah dijelaskan – akan berbeda-beda dalam setiap proposisi dimana tergantung pada konteks pencerminan dan penceritaan objek-objeknya, terkadang proposisi itu mencerminkan suatu eksistensi dan eksistensial, atau tiada dan ketiadaan. Dan kehadiran asumsional dan kenisbian itu kemungkinan bersumber dari suatu asumsi yang salah, yakni menyamakan “realitas” itu dengan “keberadaan hakiki” dan “kehadiran eksternal”.
5. Harapan kita dari setiap proposisi sebatas jangkauan implikasi dan batasan pencerminannya. Kalau suatu proposisi berbunyi: anak Yazid tiada, maka harapan kita mesti terbatas pada ketiadaan anak Yazid dan bukan pada keberadaan dan kehidupannya. Dengan kata lain, realitas setiap proposisi itu ditentukan oleh pencerminan dan implikasinya, pencerminannya terhadap ketiadaan akan menuntut realitas ketiadaan dan penceritaannya terhadap keberadaan akan menuntut realitas keberadaan dan eksistensial.
6. Sebagian berpendapat bahwa penafsiran nafs al-amr dengan “sesuatu itu sendiri” dan “sesuatu yang sebagaimana adanya” adalah sangat terbatas dikarenakan “tiada dan ketiadaan” itu tidak bisa dipandang sebagai “sesuatu”. Akan tetapi pendapat ini tidaklah benar dan berpijak pada asumsi yang keliru (yakni mengasumsikan bahwa realitas itu mestilah yang eksistensial dan berwujud). Jadi, penafsiran tersebut ialah paling akurat untuk makna nafs al-amr.
7. Interpretasi nafs al-amr dengan makna “metaproposisi”, “wadah eksternal bagi kehadiran proposisi”, atau “apa yang diberitakan oleh pengetahuan” adalah penafsiran-penafsiran yang benar dikarenakan mencakup perkara-perkara eksistensial dan ketiadaan serta meliputi segala aspek realitas.
8. Makna nafs al-amr yang berbunyi: realitas setiap sesuatu berdasarkan sesuatu itu sendiri, adalah inti dari semua pemaknaan dan penafsiran tentang nafs al-amr.
Dengan memperhatikan delapan poin di atas menjadi jelaslah bahwa makna dan penafsiran kesepuluh (realitas dan nafs al-amr meliputi wujud dan kewujudan, tiada dan ketiadaan, alam pikiran dan alam eksternal, perkara-perkara kejiwaan, serta materi dan non-materi) tentang nafs al-amr adalah yang terbaik, tersempurna, dan paling komprehensif di antara ide dan gagasan lain tentangnya.
Kritikan untuk makna ketujuh nafs al-amr (kehadiran dan keberadaan mutlak) secara ringkas dapat dikatakan: pertama, karena kuiditas itu merupakan batasan wujud maka dari itu bisa diberitakan; kedua, kategori-kategori kedua filsafat adalah maujud itu sendiri, bersifat hakiki, dan tidak majasi; ketiga, kategori-kategori kedua logikal adalah sifat hakiki bagi konsepsi-konsepsi yang ada dalam pikiran dan juga menyatu dengan konsepsi itu.
Kehadiran dan perwujudan maujud-maujud di alam eksternal bisa digambarkan dalam empat bentuk:
Maujud-maujud mempunyai individu-individu hakiki secara langsung, seperti wujud Tuhan dan substansi-substansi;
Dapat menyatu dengan maujud-maujud lain, akan tetapi memiliki eksistensi tersendiri, seperti aksiden-aksiden;
Menyatu dengan maujud yang lain, seperti sifat-sifat Tuhan yang berwujud, namun senantiasa menyatu dengan zat-Nya. Wujud sifat-sifat ini tidak berdiri sendiri dan juga tidak seperti wujud-wujud aksiden, akan tetapi kewujudannya sama halnya dengan seluruh kategori kedua filsafat dan logikal;
Batasan bagi maujud-maujud, seperti kuiditas atau seperti permukaan, garis, dan titik yang merupakan batasan wujud benda. Semua hal ini memiliki keberadaan hakiki, baik yang bersifat prinsipal (seperti wujud) maupun yang bersifat sekunder dan bukan majasi mutlak (seperti kuiditas);
Kesimpulan mengenai pengetahuan hakiki dan definisinya:
Makrifat dan pengetahuan hakiki adalah keyakinan tetap yang sesuai dengan realitas;
Yang utama dan inti dalam epistemologi adalah pengetahuan dan keyakinan yang bersesuaian dengan realitas, dan bukan pengabaran dan pemberitaan yang bersifat tekstual yang terkait dengan objek-objek pengetahuan. Pembahasan dan problematika seputar proposisi-proposisi tekstual dan kontradiksi-kontradiksi yang terdapat di dalamnya jangan sampai dikaitkan dengan pengetahuan dan keyakinan serta proposisi-proposisi pikiran (mental proposition);
Terdapat dua poin penting yang dapat ditarik dari definisi pengetahuan hakiki: pertama, keyakinan yang sesuai dengan realitas dan bukan kata-kata tekstual yang sesuai dengan realitas; kedua, realitas itu jangan dipandang sebagai sesuai dan tidak sesuainya pengetahuan itu dengannya (yakni realitas itu mesti dilihat sebagai pengetahuan yang hanya sesuai dengannya), karena kalau demikian, tidak akan pernah terwujud kesesuaian dengan realitas.
Apabila seseorang menyatakan: “berita yang saya sampaikan ini adalah bohong” atau “semua pemberitaan saya adalah bohong”, maka sesungguhnya orang ini menyampaikan segala kebohongan atas pemberitaannya, yakni pada hakikatnya pemberitaannya tidak sesuai dengan realitas. Di sini, syarat-syarat yang diperlukan tidak terpenuhi, syarat yang dibutuhkan itu ialah “berita dan kabar yang sesuai dengan realitas, dan bukan sesuai dan tidak sesuainya kabar dan beritanya dengannya. Dengan ungkapan lain, “realitas” itu mestilah suatu perkara dimana berita, ilmu dan pengetahuan sesuai dengannya. Realitas itu bukanlah kesesuaian dan ketidaksesuaian itu sendiri. Dan apabila “realitas” itu dipandang juga sebagai ketidaksesuaian berita dan ilmu dengan realitas (A), maka kita bisa menganalisa kata realitas yang kedua itu (A), apa realitas (A) ini?. Akan dikatakan bahwa realitas (A) ini bukanlah sesuatu yang berwujud, karena pemberitaan suatu berita haruslah sempurna sehingga bisa dikaitkan dengan kesesuaian dan ketidaksesuaian, dan apabila sebelum adanya penyempurnaan suatu berita kemudian langsung dihubungkan dengan kesesuaian dan ketidaksesuaian, maka realitas untuk kesesuaian ini tidaklah bermakna sama sekali.
Pada dasarnya, pengetahuan dan pemberitaan merupakan cermin terhadap realitas, dan apabila dalam teks berita dan ilmu kebenaran dan kekeliruan diposisikan sebagai berita itu sendiri, maka pemberitaan suatu berita dan pengetahuan itu menjadi batal, dan sesuatu yang sebagai cermin telah menjadi pencerminan dan ketiadaan percerminan sekaligus. Dengan demikian, ketika suatu pemberitaan dan pencerminan itu telah menjadi batal, maka ia pun mustahil menjadi suatu cermin yang bisa menampakkan kebenaran dan kesalahan secara serentak.
Pengetahuan hakiki adalah keyakinan yang sesuai dengan realitas, bukan berita yang sesuai dengan realitas. Dan apabila dalam berita bisa hadir kontradiksi, maka dalam pengetahuan yang merupakan suatu hakikat adalah mustahil terjadi kontradiksi, yakni mustahil keyakinan kepada kebohongan mutlak berhubungan dengan keyakinan kita sendiri[19]. Secara mendasar, supaya kita tidak mendapatkan kesulitan dalam pembahasan epistemologi dan mengubah definisi tentang pengetahuan hakiki, maka pernyataan bahwa “setiap berita ialah bohong” sama sekali tidak mendapatkan tempat dalam pengetahuan hakiki. Yang menjadi persoalan adalah adanya kontradiksi dalam kalimat berita itu yang lahir dari tidak adanya kedisiplinan menjaga syarat-syarat yang mesti terwujud.
Dalam pengkajian tentang kesesuaian dan ketidaksesuaian harus dibedakan antara objek (ekstensi, referensi) dan yang diketahui secara esensial. Misalnya dalam proposisi: jumlah sudut setiap segitiga adalah seratus delapan puluh derajat, kebenaran proposisi ini tak bergantung pada kemestian keberadaan objeknya, akan tetapi, cukup dengan keberadaan “yang diketahui secara esensial” dimana sebagai media penghubung yang mesti antara kesegitigaan dan jumlah sudut 180 derajat yang dihadirkan dalam bentuk proposisi bersyarat: apabila suatu segitiga terwujud di alam eksternal, maka jumlah seluruh sudutnya mestilah 180 derajat.
Pengetahuan dan Realitas Eksternal
Tentang esensi dan hakikat pengetahuan dapat dibahas dari aspek-aspek lain. Apakah makrifat dan pengetahuan itu merupakan perkara-perkara eksternal dan hakiki, yakni mencerminkan apa-apa yang ada di alam eksternal ataukah hanyalah merupakan hal-hal yang bersifat pikiran belaka dan kita itu diperkenalkan dengan apa-apa yang terdapat dalam pikiran seseorang?
Di sini sangat perlu diperhatikan bahwa ilmu dan pengetahuan mempunyai dimensi-dimensi hukum dan pembenaran yang lantas dihadirkan dalam bentuk proposisi-proposisi. Permasalahannya adalah apakah proposisi ini menjelaskan dan menceritakan apa-apa yang terjadi di alam hakiki dan eksternal? Apabila demikian halnya, maka pengetahuan itu bersifat objektif. Ketika kita menyatakan: Hasan pergi ke sekeolah, proposisi ini mengungkapkan realitas yang terjadi di luar diri kita. Sebagian filosof beranggapan bahwa ilmu dan pengetahuan manusia dalam bidang-bidang yang beragam merupakan perkara-perkara yang objektif. Banyak pemikir dari aliran Realisme yang mendukung pandangan seperti itu.
Sementara sebagian yang lain memandang pengetahuan itu sebagai perkara-perkara pikiran. Menurut mereka ini, apa-apa yang diungkapkan dalam suatu bentuk proposisi tidak lain ialah perasaan dan emosi internal seseorang serta realitas-realitas yang terdapat dalam pikirannya. Ketika dikatakan: peristiwa tersebut terjadi di zaman tertentu, proposisi ini hanyalah menampakkan persepsi dan pemahaman seseorang yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan realitas-realitas yang terjadi di alam eksternal. Pada posisi ini, pengetahuan dan makrifat itu dikategorikan sebagai perkara-perkara pikiran semata atau subjektif. Sekelompok dari filosof aliran Idealisme yang beranggapan bahwa realitas itu tidak lain adalah perkara-perkara pikiran, maka mereka pun menggolongkan bahwa pengetahuan dan makrifat itu adalah bersifat subjektif belaka.
Gagasan ketiga yang dimotori Immanuel Kant memasukkan kedua dimensi tersebut (objektif dan subjektif) ke dalam makrifat dan pengetahuan. Menurut kelompok ini, pengetahuan itu memiliki aspek objektivitas dan subjektivitas. Apa-apa yang dijelaskan dalam suatu proposisi merupakan gabungan dari kedua dimensi tersebut. Dari satu sisi, sesuatu yang benar-benar terjadi di alam eksternal yang dengan perantaraan indra-indra lahiriah masuk ke alam akal dan pikiran kita. Akan tetapi, apa apa yang hadir di alam pikiran kita melalui panca indra adalah sesuatu yang masih kabur, tidak jelas, tidak berhubungan satu dengan lainnya, dan tanpa makna. Kemudian pikiran dengan aktivitas khasnya menghubungkan segala sesuatu yang terindra itu dengan pengalaman-pengalaman yang lalu, konsepsi-konsepsi yang berkaitan dengan tempat dan waktu, dan kategori-kategori rasional, serta kemudian memperkenalkannya dalam bentuk yang khusus, partikular, bermakna, dan berhubungan satu sama lain. Dengan demikian, lewat proses itulah kemudian ia dihadirkan dalam bentuk suatu pengetahuan dan makrifat. Dapat disimpulkan bahwa objek-objek eksternal itu tidak secara langsung dan mandiri membentuk pengetahuan kita. Melainkan mestilah menggunakan pengalaman-pengalaman lalu untuk menetapkan konsepsi-konsepsi sesuatu itu dan kemudian konsepsi-konsepsi itu dihadirkan dalam bentuk kata-kata lalu menegaskan hubungannya dengan realitas-realitas yang lain setelah itu kita menghukuminya.
Perspektif keempat adalah tidak memisahkan antara dimensi objektivitas dan subjektivitas. Berdasarkan perspektif ini, kedua dimensi tersebut tidak berpisah satu dengan lainnya dan tanpa menghubungkan antara kedua dimensi itu mustahil terwujudnya pengetahuan terhadap sesuatu. Subjektivitas kita akan muncul dan tergerekkan dengan memandang objek-objek eksternal dan objek-objek ini memiliki pengaruh pada konsepsi-konsepsi pikiran. Jadi kesimpulannya ialah bahwa pikiran dan objek eksternal merupakan dua unsur yang mustahil terpisahkan dalam mengkonstruksi suatu makrifat dan pengetahuan. Kelihatannya John Dewey mendukung gagasan dan perspektif yang keempat ini.[20]
Pembagian pengetahuan
Pada umumnya pengetahuan dan makrifat dibagi menjadi:
Pengetahuan langsung (immediate);
Pengetahuan tak langsung (mediated);
Pengetahuan indrawi (perceptual);
Pengetahuan konseptual (conceptual);
Pengetahuan partikular (particular); dan
Pengetahuan universal (universal).
Pengetahuan immediate adalah pengetahuan langsung yang hadir dalam jiwa tanpa melalui proses penafsiran dan pikiran. Kaum realis (penganut paham Realisme) mendefinisikan pengetahuan seperti itu. Umumnya dibayangkan bahwa kita mengetahui sesuatu itu sebagaimana adanya, khususnya perasaan ini berkaitan dengan realitas-realitas yang telah dikenal sebelumnya seperti pengetahuan tentang pohon, rumah, binatang, dan beberapa individu manusia. Namun, apakah perasaan ini juga berlaku pada realitas-realitas yang sama sekali belum pernah dikenal dimana untuk sekali meilhat kita langsung mengenalnya sebagaimana hakikatnya?. Apabila kita sedikit mencermatinya, maka akan nampak dengan jelas bahwa hal itu tidaklah demikian adanya.
Pengetahuan mediated adalah hasil dari pengaruh interpretasi dan proses berpikir serta pengalaman-pengalaman yang lalu. Apa yang kita ketahui dari benda-benda eksternal banyak berhubungan dengan penafsiran dan pencerapan pikiran kita.
Pengetahuan indrawi adalah sesuatu yang dicapai dan diraih melalui indra-indra lahiriah. Sebagai contoh, kita menyaksikan satu pohon, batu, atau kursi, dan objek-objek ini yang masuk ke alam pikiran melalui indra penglihatan akan membentuk pengetahuan kita. Tanpa diragukan bahwa hubungan kita dengan alam eksternal melalui media indra-indra lahiriah ini, akan tetapi pikiran kita tidak seperti klise foto dimana gambar-gambar dari apa yang diketahui lewat indra-indra tersimpan didalamnya. Pada pengetahuan indrawi terdapat beberapa faktor yang berpengaruh, seperti adanya cahaya yang menerangi objek-objek eksternal, sehatnya anggota-angota indra badan (seperti mata, telinga, dan lain-lain), dan pikiran yang mengubah benda-benda partikular menjadi konsepsi universal, serta faktor-faktor sosial (seperti adad istiadad). Dengan faktor-faktor tersebut tidak bisa dikatakan bahwa pengetahuan indrawi hanya akan dihasilkan melalui indra-indra lahiriah.
Pengetahuan konseptual juga tidak terpisah dari pengetahuan indrawi. Pikiran manusia secara langsung tidak dapat membentuk suatu konsepsi-konsepsi tentang objek-objek dan perkara-perkara eksternal tanpa berhubungan dengan alam eksternal. Alam luar dan konsepsi saling berpengaruh satu dengan lainnya dan pemisahan di antara keduanya merupakan aktivitas pikiran.
Pengetahuan partikular berkaitan dengan satu individu, objek-objek tertentu, atau realitas-realitas khusus. Misalnya ketika kita membicarakan satu kitab atau individu tertentu, maka hal ini berhubungan dengan pengetahuan partikular itu sendiri.
Pengetahuan universal mencakup individu-individu yang berbeda. Sebagai contoh, ketika kita membincangkan tentang manusia dimana meliputi seluruh individu (seperti Muhammad, Ali, hasan, husain, dan …), ilmuwan yang mencakup segala individunya (seperti ilmuwan fisika, kimia, atom, dan lain sebagainya), atau hewan yang meliputi semua indvidunya (seperti gajah, semut, kerbau, kambing, kelinci, burung, dan yang lainnya).
Dalam filsafat Islam, pengetahuan itu hanya dibagi dua, yakni ilmu hudhuri dan hushuli. Dengan berdasarkan pada pembagian pengetahuan di atas, apabila kita ingin menyingkronkan pembagian pengetahuan menurut filsafat Islam, maka pengetahuan langsung (immediate) tersebut sama halnya dengan pengetahuan hudhuri dan pengetahuan tak langsung (mediated), pengetahuan indrawi, pengetahuan konseptual, pengetahuan partikular, pengetahuan universal tersebut dikategorikan sebagai pengetahuan hushuli.[21]
Referensi:
[1] . Alfarabi, Fushûlul Muntaza’ah, hal. 52. Dan Ihshâul ‘Ulum, hal. 79-80.
[2] . Ibid, Fushûlul Muntaza’ah, hal. 52.
[3] . Alfarabi, Mantiqiyât, jilid pertama, hal. 35.
[4] . Allamah Thabathabai, Ushul-e Falsafe wa Realism, jilid kedua, hal. 158-159.
[5] . Kasyful Murâd, hal. 45-46.
[6] . Ibid, hal. 46.
[7] . Uyûn Masâil al-nafs, hal. 495-496.
[8] . Muhaqqiq Lahiji, Syawâriq al-Ilhâm, hal. 122.
[9] . Muhaqqiq Qusyaji, Syarh Tajrid al-‘Itiqad, hal. 56. Mulla Hadi Sabzawari, Syarh Manzumah, jilid satu, hal. 214-215.
[10] . Mir Damad, Qabasât, hal. 38-39.
[11] . Mulla Sadra, Hikmah al-Muta’aliyah, jilid keenam, hal. 270.
[12] . Ibn Turkah, Tamhid al-qawâ’id, hal. 30 dan 146.
[13] . Hakim Mudarris Zanuzy, Badâyi’ al-Hikam, hal. 146.
[14] . Muhammad Husain Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, hal. 15.
[15] . Ta’liqat Hikmah Muta’aliyah, jilid keenam, hal. 261, 261. Jilid ketujuh, hal. 27.
[16] . Syahid Murtadha Muthahhari, Syarh-e Mukhtashar, jilid pertama, hal. 191, 193, 194, 195. Syarh-e Mabsûth, jilid kedua, hal. 413. Dan Taqi Mishbah, hal. Ta’liqah ‘ala Nihâyah al-Hikmah, hal. 36, 37.
[17] . Taqi Mishbah Yazdi, Omuzesy-e Falsafah, jilid pertama, hal. 224.
[18] . Muhammad Husain Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, hal. 15 dan 16.
[19] . Kemustahilannya adalah karena keyakinan itu sendiri bermakna: penghukuman yang pasti dan tidak mungkin berubah tentang hubungan sesuatu dengan sesuatu. Dengan demikian, kalau kita yakin terhadap suatu pernyataan bahwa “segala berita adalah bohong” (kebohongan mutlak) maka keyakinan kita akan mengalami suatu kontradiksi, yakni pada satu sisi kita yakin kepada pernyataan bahwa “segala berita adalah bohong”, sementara pada sisi yang lain pernyataan itu sendiri adalah suatu berita. Dan karena semua berita adalah bohong (termasuk pernyataan itu sendiri), maka pernyataan tersebut harus diingkari karena termasuk suatu kebohongan. Dengan demikian, kebohongan mutlak ialah tidak benar dan keyakinan padanya akan berujung pada kontradiksi. Oleh karena itu, kebohongan mutlak sama sekali tidak tergolong ke dalam makrifat dan pengetahuan hakiki.
[20] . Ali Syariatmadary, Falsafeh, hal. 368.
[21] . Ibid, jilid pertama, 255, 265, 259, 264, 266, 269, 270, 272- 274, 323, 325, 326, 328, 350.
==========================================================================
Source : http://ahlulbaitnabisaw-sejarah.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar