Rabu, 15 Juli 2015

Mereka Dituduh Syi’ah (Mereka Yang Di Maksud Adalah Ahlus Sunnah Bukan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Buatan Muawiyyah Dan Bukan Pula Khawarij)

 



Ditulis Oleh: Prof. Dr. Jalaluddin Rakhmat

Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang pemuka mazhab Ahlus Sunnah yang besar. Ia terkenal sebagai muhaddits (periwayat hadis). Kedalaman ilmunya dan keluasan pengaruhnya di kalangan kaum Muslimin sangat disegani Khalifah Al-Mutawakkil.

Imam Ahmad sering dimintai nasihat dalam menunjukkan hakim-hakim (qadhi) kerajaan. Ketika Al-Mutawakkil hendak mengangkat Al-Tsalji sebagai qadhi, Imam Ahmad merasa keberatan. “Jangan angkat dia, karena dia pembuat bid’ah dan penurut hawa nafsu,” kata Imam Ahmad. Al-Mutawakkil memperhatikan sarannya.

Karena ketinggian martabatnya di hadapan raja, para ulama lain merasa irihati terhadapnya (Ah, betapa sering orang menutupi kerendahan akhlak dengan jubah ulama!). Mereka mencari jalan untuk mendiskreditkan Imam Ahmad.

Dikatakan kepada Al-Mutawakkil bahwa Imam Ahmad itu Syi’ah, membaiat pengikut Ali, dan melindungi seorang ‘Alawi di rumahnya. Waktu itu, tidak ada tuduhan yang lebih berat daripada itu. Al-Mutawakkil mengirim tentara.

Rumah Imam Ahmad dikepung. “Tuduhan ini dibuat-buat. Aku tidak tahu-menahu,” kata Imam Ahmad, “Aku menaati raja dalam suka dan duka.” Lalu ia disuruh bersumpah bahwa ia tidak melindungi pengikut Ali di rumahnya.

Rumah Imam Ahmad kemudian digeledah — kamar anak-anak, kamar wanita, bahkan sumur. Tidak ada bukti apa pun tentang ke-Syi’ah-an Imam Ahmad.

Sejarah, memang, tidak pernah mencatat Imam Ahmad sebagai Syi’ah. Ia pemuka mazhab Hambali. Lalu apa salah beliau? “Salah”-nya sedikit: di dalam Musnad Ahmad-nya, ia banyak meriwayatkan hadis-hadis tentang keutamaan Ahlul-Bait dan Ali bin Abi Thalib (karramallahu wajhah). Abdullah, putra Imam Ahmad, pernah berkata: Aku mendengar ayahku (Imam Ahmad) berkata: “Tidak ada seorang pun di antara para Sahabat yang memiliki fadha’il (keutamaan) dengan sanad-sanadnya yang shahih seperti Ali bin Abi Thalib.”
Menganggap Ali bin Abi Thalib sebagai sahabat paling utama adalah keyakinan Syi’ah. Begitu anggapan umum, waktu itu. Orang membuktikan ke-Syi’ahan seseorang dengan menanyakan siapa yang paling utama di antara para sahabat.

Ahlus-Sunnah akan menyebut dengan urutan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan seterusnya. Sedangkan Syi’ah akan memulai urutan pertama sahabat itu dari Ali.

Pada suatu kali, Abdullah bin Ahmad bin Hambal menanyai ayahnya, “Bagaimana pendapat Anda tentang tafdhil (urutan keutamaan) sahabat?” Ahmad bin Hambal menjawab, “Dalam khilafah: Abu Bakar, Umar, Utsman.”
“Lalu bagaimana dengan Ali?” tanya Abdullah.
“Wahai anakku,” kata Ahmad bin Hambal, “Ali bin Abi Thalib termasuk Ahlul-Bait dan orang tidak dapat diperbandingkan dengan mereka!”
Pada kali yang lain, serombongan orang datang menyelidik, “Hai Abu Abdullah, bagaimana pendapat Anda tentang hadis – Ali pembagi neraka?”
Ahmad, “Lalu apa yang kalian tolak? Bukankah Nabi saw pernah berkata kepada Ali: ‘Tidak mencintaimu kecuali mukmin, dan tidak membencimu kecuali munafik.’…”
Orang-orang, “Betul (Nabi saw berkata begitu).”
Ahmad, “Dimana orang mukmin menetap?”
Orang-orang, “Di surga.”
Ahmad, “Di mana orang munafik menetap?”
Orang-orang, “Di neraka.”
Ahmad, “Kalau begitu, Ali adalah pembagi neraka.”

Pernyataan-pernyataan Imam Ahmad inilah yang memperkuat tuduhan Syi’ah kepadanya. Bukankah Syi’ah adalah mazhab yang mengikuti Ahlul-Bait — dengan Ali sebagai rujukannya. Lagi pula Ahmad bin Hambal banyak meriwayatkan hadis dari perawi-perawi yang bermazhab Syi’ah. Salah seorang gurunya yang dihormatinya adalah Abdurrahman bin Shalih, seorang Syi’ah. Ahmad bin Hambal diperingatkan untuk tidak bergaul dengannya. Tetapi ia membentak, “Subhanallah, kepada orang yang mencintai keluarga suci Nabi kita berkata — jangan mencintainya? Abdurrahman bin Shalih adalah tsiqat (orang yang dapat dipercaya).”
Tuduhan Syi’ah terhadap Ahmad bin Hambal ini untungnya tidak berakibat parah. Rumahnya digeledah dan ditinggalkan. Ahmad bin Hambal tetap mengajar seperti biasa. Lain dengan Imam Syafi’i. Beliau beserta 300 orang Quraisy diseret dalam keadaan terbelenggu dari Yaman (menurut suatu riwayat, dari Makkah) ke Baghdad. Mereka dihadapkan kepada Harun Al-Rasyid. Seorang demi seorang dipancung di depan Khalifah.

Imam Syafi’i selamat, setelah ia mengucapkan salam kepada Harun Al-Rasyid. Ia sempat menasihati raja dan membuatnya menangis. Begitu, kata sahibul-hikayat. Kita tidak tahu apa yang sebetulnya terjadi karena riwayat mihnah Imam Syafi’i ini bermacam-macam. Yang disepakati ialah kenyataan bahwa salah satu tuduhan kepada Imam Syafi’i ialah bahwa ia Syi’ah. Sebagian penyair mengejek Imam Syafi’i:
“Mati Syafi’i dan ia tak tahu. Apakah Tuhannya Ali, atau Allah”

Imam Syafi’i tentu saja tidak menganggap Ali sebagai Tuhan. Kalau Syi’ah diartikan sebagai mazhab yang menganggap khilafah adalah hak Ali, maka Imam Syafi’i bukanlah Syi’ah. “Jika Syi’ah berarti mencintai keluarga Muhammad,” kata Imam Syafi’i dalam salah satu bait syairnya, “maka hendaknya kedua kelompok menjadi saksi bahwa aku ini Syi’ah.” Imam Syafi’i menggunakan kata “Rafidhi” untuk menyebut Syi’ah – gelaran yang lazim diberikan orang di zaman itu bagi pengikut Syi’ah.

Imam Syafi’I banyak menulis syair yang mengungkapkan kecintaannya kepada Ahlul-Bait. Beberapa di antaranya kita kutipkan di sini:

    Kalau kulihat manusia
    Mazhab mereka tenggelam dalam samudera kesesatan dan kebodohan
    Dengan nama Allah aku naiki perahu keselamatan
    Yakni keluarga al-Musthafa, penutup para rasul
    Kupegang tali Allah tempat bergantung mereka
    Sebagaimana kita pun diperintah berpegang pada tali itu
    Hai keluarga Rasulullah
    Kecintaan kepadamu diwajibkan Allah
    Dalam Al-Quran yang diturunkan
    Cukuplah bukti ketinggian sebutanmu
    Tidak sempurna shalat tanpa shalawat bagimu

Inilah sebagian syair Imam Syafi’i, yang menyebabkannya dituduh Syi’ah. Ahli jarh hadis, Ibn Mu’in, ketika ditanya oleh Imam Ahmad mengapa ia menuduh Imam Syafi’i sebagai Syi’ah, menjawab: “Aku memperhatikan tulisannya tentang ahlul-baghiy (kaum pemberontak), dan aku melihat ia berhujjah dari awal sampai akhir dengan Ali bin Abi Thalib.” Rupanya, ini juga sebabnya mengapa di tempat lain – menurut Al-Khathib – Yahya bin Mu’in berkata, “Syafi’i tidak tsiqat!”

Celaan-celaan demikian tidak mengurangi kecintaan Imam Syafi’i kepada Ahlu-Bait. Suatu hari ia mengemukakan masalah agama.
Seseorang berkata, “Engkau bertentangan dengan Ali bin Abi Thalib.” Imam Syafi’i berkata, “Buktikan ucapanmu dari Ali bin Abi Thalib, supaya aku ratakan pipiku di atas tanah dan aku berkata aku telah salah.” Begitu cintanya Imam Syafi’i kepada Ali bin Abi Thalib, sehingga ia tidak mau berbicara di dalam suatu majelis yang di situ ada keturunan Ali (Lihat Fihrist Ibn Al-Nadim, halaman 295).

Kita tidak ingin menguraikan lebih lanjut kecintaan para imam Ahlus-Sunnah kepada Ahlul-Bait. Tidak perlu juga kita sebut bagaimana Abu Hanifah (Imam Hanafi) membantu pemberontakan Ahlul-Bait yang dipimpin Imam Zaid bin Ali; sehinga para ulama mengatakan, “Secara fiqh Abu Hanifah Sunni; secara politik, ia Syi’ah.”
Tentu saja, label (gelaran) Syi’ah lebih sering digunakan untuk mendiskreditkan orang ketimbang mendiskripsikannya.

Indikator yang dipergunakan seringkali sangat sederhana: kecintaan kepada keluarga Rasulullah saw.
Al-Hakim, penulis Al-Mustadrak, dituding oleh Al-Dzahabi sebagai Syi’ah, karena meriwayatkan keutamaan Ali dan hadis Ghadir Khum.

Abdur-Razzaq bin Hamam, ahli hadis, dituduh Syi’ah karena mencintai Ali dan membenci pembunuhnya.
Ibn Jarir Al-Thabari penulis sejarah Islam abad ketiga, menurut Ibn Atsir (Al-Kamil 8:49), dilempari dengan batu dan dikuburkan malam-malam. Ia juga dituduh Syi’ah karena dalam tarikhnya ia meriwayatkan hadis Ali bin Abi Thalib sebagai washiy (pembawa wasiat) dan khalifah Nabi saw.

Yang paling menarik, Ibn Abdul-Barr, yang sangat memusuhi Ahlul-Bait dituding oleh Ibn Katsir sebagai Syi’ah karena meriwayatkan hadis yang mengecam Mu’awiyah.

Buku ini, Teladan Suci Keluarga Nabi, terjemahan dari Is’af Al-Raghibin, ditulis oleh seorang ‘alim yang bermazhab Syafi’i, dan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Dalam buku ini ia meriwayatkan keutamaan keluarga Rasulullah saw. dari hadis-hadis yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Ahlus-Sunnah.

Boleh jadi ia, dan juga penulis pengantar ini, akan didiskreditkan sebagai Syi’ah: hanya karena meriwayatkan Ahlul-Bait. Namun, kita yakin, zaman ini adalah zaman ilmu pengetahuan, zaman keterbukaan. Hanya orang-orang yang sempit pikirannya yang akan menyederhanakan persoalan dalam prasangka dan fanatisme mazhab.

Kecintaan pada Ahlul-Bait bukan monopoli Syi’ah. Seluruh kaum Muslimin diperintahkan untuk itu – apapun mazhabnya. Seperti diriwayatkan Muslim – dan dituliskannya juga dalam buku ini – keluarga Rasulullah saw adalah pusaka yang kedua (setelah Al-Quran) yang ditinggalkan Rasulullah saw untuk kaum Muslimin.
Rasulullah saw bersabda, “Tidak akan bergeser telapak kaki anak Adam pada hari kiamat sampai ia ditanya tentang 4 hal: dari usianya, untuk apa ia habiskan, dari tubuhnya, untuk apa ia rusakkan; dari hartanya, dari mana ia peroleh dan ke mana ia infaq-kan; dan dari kecintaan kepada kami Ahlul-Bait.” (Kanzul-Ummal 7: 212); diriwayatkan oleh Al-Thabrani dalam Al-Kabir dan Al-Ausath).

Ibn Khalliqan dalam Wafiyat Al-A’yan bercerita tentang Al-Nasa-i, penulis kitab hadis Sunan Al-Nasa-i. Al-Nasa-i tiba di Damaskus. Ia didesak orang untuk meriwayatkan keutamaan Mu’awiyah. Kata Al-Nasa-i, “Aku tidak menemukan keutamaan Mu’awiyah kecuali sabda Rasul tentang dirinya – “Semoga Allah tidak mengenyangkan perutnya.” Banyak orang marah. Mereka mengeroyoknya, memukulinya sampai babak-belur Dalam keadaan parah, ia dibawa ke Al-Ramlah dan meninggal dunia di sana.

Ibnu Hajar di dalam Tandzib Al-Tandzib bercerita tentang Nashr bin Ali. Ia meriwayatkan hadis tentang keutamaan Hasan dan Husein: “Siapakah yang mencintai aku, mencintai keduanya, mencintai kedua orangtua mereka, ia bersamaku dalam derajat yang sama di hari kiamat.” Al-Mutawakkil mencambuknya 1.000 kali.
Ja’far bin Abdul-Wahid berulang kali mengingatkan Khalifah: “Hadza min Ahlis-Sunnah” (Dia ini dari Ahlus Sunnah). Barulah Khalifah menghentikan hukuman cambuknya.

Hari ini, umat Islam telah demikian maju dan terbuka, sehingga – saya (Jalaluddin Rakhmat) berharap – penulis pengantar, penerbit, dan pembaca buku ini tidak mengalami nasib, seperti Al-Nasa-i dan Nashr bin Ali.

0 komentar:

Posting Komentar