Selasa, 27 September 2016

Mengapa Mazhab Syiah Shalatnya Dengan Tangan Terbuka (Tidak Bersedekap) ?

نماز جماعت شيعيان و اهل تسنن در عراق



Islam adalah agama suci yang diturunkan Allah pada ummat manusia melalui Nabinya, Muhammad al-Musthafa Saw. Islam adalah agama yang satu, dan selama Nabi Muhammad Saw hidup, semua ajaran dan syari’at yang dibawa Islam masih murni dan tak memungkinkan untuk diutak-utik. Namun semua berubah ketika penjaga utama syari’at Ilahi ini meninggal dunia.

Syiah Dua Belas Imam mengerjakan shalat mereka dengan tangan terbuka karena mengikuti tata-cara shalat Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As yang merupakan orang terdekat dan paling mengerti tentang kehidupan Rasulullah karena mereka adalah keluarga Rasullah sendiri. Terdapat banyak sekali riwayat-riwayat yang dapat diandalkan yang menukil ihwal tata-cara shalat Nabi Saw semenjak awal hingga akhir dalam tradisi Syi’ah Dua Belas Imam. Yaitu bahwa Rasulullah Saw dan para Imam Maksum menunaikan shalatnya dengan tangan mereka terbuka dan menempelkan kedua tangan tersebut ke pinggang. Ini karena disebutkan bahwa menutup tangan ketika mengerjakan shalat adalah mirip dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang penganut agama lampau di Persia, dan cara ini dilihat ketika terjadi ekspansi ke Persia oleh Khalifah ke-2.

Lebih dari itu, sejarah menyebutkan bahwa sama sekali tidak terdapat riwayat yang menukil tentang Nabi Saw yang menutup tangan tatkala menunaikan shalat. Bagaimanapun, praktik menutup tangan tatkala shalat merupakan sebuah peristiwa yang  terjadi setelah wafatnya Rasulullah Saw pada masa khalifah kedua. Yang mana atas alasan inilah, orang-orang Sunni mengerjakan shalat mereka dengan tangan tertutup. Inipun tidak semua pengikut Ahlusunnah yang melakukannya, ada sebagian dari Ahlusunah yang tidak mengerjakan demikian, yaitu mereka yg mengikuti Malik Bin Annas atau pengikutnya lebih sering disebut penganut Mazhab Maliki.


Meletakkan tangan di atas tangan merupakan sebuah cara yang tidak terdapat pada masa Rasulullah Saw. Adapun Rasululah Saw menunaikan shalatnya dengan tangan terbuka.(1) Dan karena Syiah dalam seluruh shalat mengikuti Nabi Saw dan para Imam Maksum As maka mereka mengerjakan shalat mereka dengan cara seperti ini. Sementara menutup tangan tatkala mengerjakan shalat merupakan sebuah bid’ah yang dilakukan setelah wafatnya Rasulullah Saw; artinya bahwa praktik shalat sedemikian tidak terdapat pada masa Rasulullah Saw dan bermula pada masa khalifah kedua. Semenjak masa khalifah kedua, kondisi seperti ini berlaku(2) dan dewasa ini mayoritas Ahlusunnah mengerjakan shalat mereka mengikut kepada tata-cara shalat khalifah kedua.(3) Bukan mengikuti tatacara shalat yang diajarkan oleh Rasulullah saw.

Dalam sebuah hadis Abi Hamid Sa’idi disebutkan seluruh perbuatan Nabi Saw tatkala menunaikan shalat semenjak takbiratul ihram hingga salam, namun dalam riwayat tersebut tidak disebutkan satu pun hadis tentang praktik menutup tangan dalam shalat Nabi Saw. Abu Hamid Sa’idi menyebutkan bahwa selepas takbir, Rasulullah Saw menurunkan tangannya (lepas terbuka) dan menempelkannya ke dua pinggang beliau.(4) Jika pun disebutkan bahwa bersedekap tangan adalah amalan mustahab, kita sama tahu bahwa Nabi Saw yang mustahil meninggalkan amalan mustahab (dianjurkan) sama sekali tidak menyedekapkan tangannya sewaktu shalat selama masa hidupnya.

Demikian juga Himad bin ‘Isa meminta Imam Shadiq As untuk mengajarkan tata-cara shalat yang benar dan sempurna kepadanya. Saat itu, Imam Shadiq As berdiri menghadap kiblat dan mengerjakan seluruh amalan mustahab. Setelah beliau melakukan takbiratul ihram dan memulai bacaan shalat dan seterusnya, beliau mengerjakan shalat sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Syiah hari ini, dan akhirnya mengucapkan salam untuk menyudahi shalatnya.[5] Dalam riwayat ini, Imam Shadiq As mengajarkan tata-cara shalat Rasulullah Saw kepada Himad bin Isa dan tidak disebutkan kondisi tangan yang tertutup atau tangan di atas tangan. Dan sekiranya praktik sedemikian merupakan sunnah, maka pastilah Imam Shadiq As menjelaskan masalah tersebut.

Demikian juga, banyak riwayat yang dinukil dari para Imam Maksum As dan praktik seperti ini tidak boleh dilakukan. Di sini kita akan menyebutkan beberapa riwayat lain untuk menegaskan hal tersebut:

Diriwayatkan dari Muhammad bin Muslim dari Imam Shadiq As atau Imam Baqir As bersabda: “Aku berkata: Seseorang meletakkan tangannya dalam shalat – dan dikisahkan – tangan kanan di atas tangan kiri? Imam bersabda: “Perbuatan tersebut adalah menutup (al-takfir) dan tidak boleh dilakukan.”[6]
Diriwayatkan dari Zurarah dari Abi Ja’far sesungguhnya beliau bersabda: “Dan hendaklah tangan kalian terbuka dalam shalatmu dan janganlah engkau menutup (tanganmu) karena orang-orang Majusi melakukan hal tersebut (dalam ibadah mereka).[7]
Diriwayatkan dari Shaduq dengan menyandarkannya kepada Ali As sesungguhnya beliau bersabda: “Hendaknya kaum muslim tidak menggabungkan tangannya dalam shalatnya sementara ia berdiri di antara tangan Tuhan dan (perbuatan ini) mirip dengan orang kafir yaitu Majusi.[8][iquest]


Catatan Kaki

  1. Hadis yang berkenaan dengan masalah ini segera akan dijelaskan pada bagian berikutnya.
  2. Bukti dari perkara ini adalah hadis Sahl bin Sa’ad yang diriwayatkan oleh Bukhari: “Dulu orang-orang diperintahkan untuk meletakkan tangan kananya di atas lengan tangan kirinya dalam shalat (Fath al-Bâri fii Syarh Shahîh al-Bukhâri, jil. 2, hal. 224). Sekarang apabila Nabi Saw memerintahkan untuk menutup tangan maka tidak ada maknanya ketika disebutkan (dalam hadis tersebut): “Dulu orang-orang diperintahkan” tapi harus disebutkan: “Dulu Nabi Saw memerintahkan.”
  3. Mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali memandang menutup tangan sebagai sunnah dan mustahab (dianjurkan) akan tetapi tidak dengan Maliki. Al-Fiqh ‘ala al-Madzhâhib al-Khamsah, hal. 110.
  4. Sunan Baihaqî, jil. 2, hal. 72, 73, 101 dan 102; Sunan Abî Daud, jil. 1, hal. 194.
  5. Syaikh Hurr al-Amili, Al-Wasâ’il, jil. 4, bab 1, Min Abwâb Af’âl al-Shalat, hadis pertama.
  6. Syaikh Hurr al-Amili, Al-Wasâ’i, jil. 4, bab 15, Min Abwâb Qawâthi’ al-Shalat, hadis pertama.
  7. Syaikh Hurr al-Amili, Al-Wasâ’il, jil. 4, bab 15, Min Abwâb Qawâthi’ al-Shalat hadis 2, 3, dan 7.
  8. Ja’far Subhani, Fiqh al-Syiah al-Imâmiyah wa Mawâdhi’ al-Khilâf Bainahu wa baina al-Madzhâib al-Arba’, hal. 183.



-- Source : syiahmenurutsyiah.com

0 komentar:

Posting Komentar