Minggu, 25 September 2016

Cerita Cinta Penganut Syiah dan Suni

Romeo dan Juliet atau Layla dan Majnun telah dikenang abadi. Begitu juga dengan Zakia dan Mohammad Ali. Zakia adalah seorang Tajik bermazhab ahlusunah, sementara Ali adalah seorang Hazara bermazhab Syiah. Keluarga Zakia menentang hubungan mereka berdua atas dasar budaya, etnik, dan agama. Ayah, ibu, dan sepupunya rela mengorbankan harta dan nyawa mereka untuk memburu dan membunuh Zakia dan Ali karena kejahatan yang mereka dilakukan: jatuh cinta.

Cerita cinta mereka diangkat oleh jurnalis New York Times yang bertugas di Kabul, Afghanistan, Rod Nordland. Rod yang saat itu sedang memeriksa e-mail spam, mendapati sebuah surat. Surat darurat dari seorang pekerja PBB di kamp penampungan wanita Bamyan. Pekerja PBB itu dimutasi dan tak sanggup lagi menahan wanita yang akan dipanggil paksa oleh keluarga untuk dibunuh.[1] Wanita itu bernama Zakia.

Afghanistan memang satu dari sedikit tempat di dunia ini di mana membunuh demi kehormatan adalah hal lumrah. Hari ini, masih ada wanita yang dibunuh karena dosa kecil, seperti menatap atau berjalan dengan pria asing.

Ali dan Zakia

Malam hari tanggal 20 Maret 2014, Zakia tengah melawan ketakutannya. Memikirkan cara untuk melarikan diri dari kamp. Pelarian yang bukan hanya akan mengubah hidupnya, tapi juga hidup Ali yang menanti di seberang Lembah Bamyan. Jika berhasil, pelarian Zakia juga akan mengubahnya menjadi pahlawan bagi wanita muda Afghanistan sekaligus musuh utama kaum konservatif. Dibantu dua temannya, wanita buta huruf itu menghubungi Ali.[2]

Ali dan Zakia tumbuh bersama di sebuah ladang pertanian milik keluarga. Ketika diminta orang tua untuk menggembalakan domba, mereka melakukannya bersama. Mereka saling mengenal kehidupan masing-masing. Takdir yang telah mereka jalani menggiring mereka pada apa yang akan mereka hadapi di masa depan; salah satunya adalah Taliban.

Dalam budaya Afghanistan, seorang istri adalah properti suaminya; seorang anak perempuan adalah properti ayahnya; seorang wanita adalah properti saudaranya. Prialah yang menentukan kehidupan seorang wanita dengan siapa dia harus menikah. Zakia tidak hanya melawan kehendak mereka, tapi juga mencuri apa yang mereka anggap sebagai hak mereka.

Ali berusia tiga tahun lebih tua dari Zakia. Pamit pada ayahnya, Ali menghubungi seorang teman untuk menyiapkan kendaraan. Mengantarkan mereka menuju tempat persembunyian tertinggi di pegunungan.

Ketika Rod Nordland mengangkat kisah mereka dalam The Lovers, simpati dunia mengalir. Seorang rabi Yahudi asal Amerika Serikat sampai meminta pejabat negaranya untuk membantu mereka. Usaha Zakia dan Ali untuk meminta suaka melalui kedutaan besar negara-negara Barat di Kabul sudah gagal. Mereka justru diharuskan untuk meninggalkan Afghanistan lebih dahulu agar dapat dianggap sebagai pengungsi. “Kami berserah diri pada Allah. Kami mencoba segala hal, tapi tidak membuahkan hasil,” kata Ali.

Akhir tahun 2014, ketika Zakia dan Ali akhirnya tiba di Tajikistan justru berakhir bencana. Mereka dirampok dan dideportasi kembali ke Afghanistan. “Cerita cinta mereka terlanjur menarik perhatian media. Nyawa mereka semakin berbahaya jika terus bertahan di Afghanistan,” kata Manizha Naderi, direktur Women for Afghan Women, sebuah kelompok internasional yang berhasil menyelamatkan mereka.[3]



Women for Afghan Women membantu pengurusan visa Zakia, Ali, dan Ruqia—putri pertama mereka—untuk menuju Amerika Serikat. Pada bulan Mei 2016, keluarga kecil ini telah tiba di kota New York untuk membuka lembar hidup yang baru. Menghadapi tantangan kehidupan dalam bentuk yang berbeda.

Referensi:

[1] ^ Murphy, Beth (12 Februari 2016). “Valentine’s Day with Zakia and Ali, Afghanistan’s Romeo and Juliet”. The Huffington Post. Diakses pada 12 Juli 2016.

[2] ^ Nordland, Rob (26 Januari 2016). “The Lovers: The True Story of Aghanistan’s Romeo and Juliet”. Mashable. Diakses pada 12 Februari 2016.

[3] ^ Mashal, Mujib (25 Mei 2016). “Afghan Lovers Begin an Asylum Odyssey in New York”. The New York Times. Diakses pada 13 Juli 2016.




-- Source : https://ejajufri.wordpress.com/

0 komentar:

Posting Komentar