Minggu, 25 September 2016

Filosofi Mencontek Dan Memberi Contekan : Demi Kebaikan Yang Lebih Besar

Image result for contek



Perhatian judulnya memang sengaja dibuat menyesatkan, jadi jangan menilai isi dari bungkusnya. Saya hadiahkan tulisan ini bagi para berandalan yang sedang berkeliaran di luar sana. Apa kabar kalian dan semoga “kesesatan” yang ada pada diri kalian membuat kalian terus berjuang untuk mencari jalan yang lurus?.

Dunia cepat sekali berubah masbro, kampus kita sekarang sudah tidak seperti dulu. Generasi baru sekarang tidak seperti generasi kita yang dahulu. Kos-kosan kita dulu sudah lebih megah sekarang. Warung makan kita dulu sudah lebih mewah sekarang. Dan apakah kalian sadar wahai “pejuang” kita yang sekarang sudah tidak seperti dulu. Seperti kata “guru besar” kita : itulah hakikat kehidupan, Perubahan.
Mari mengenang masa kejayaan kita dulu, saat dimana kita melawan dengan cara kita sendiri, saat dimana kita melakukan “hal buruk” demi kebaikan yang lebih besar. Saat kita menunjukkan eksistensi diri dengan membuat kekacauan. Bacalah baik-baik wahai kawan dan mari kita sama-sama berdoa agar tidak ada orang yang disesatkan oleh kita dan tidak pula ada orang yang menyesatkan kita.
.
.
.
Latar Belakang
Mencontek, yah para pembaca sudah pada tahu bahwa ini bukan perbuatan baik. Tidak ada guru yang mengajarkan muridnya untuk mencontek. Sayangnya isu “mencontek” ini di tangan para ahli [baca : mereka yang tidak jelas keahliannya] pernah menjadi kontroversial. Yang saya maksud adalah kejadian di masa saya kuliah dahulu. Ada sekelompok orang di masa itu yang mengatakan haram dan ada pula yang mengatakan “laba’sa bihi” [tidak ada masalah]. Adapun kami “sekumpulan pemikir yang tidak jelas” berijtihad bahwa Mencontek itu boleh ketika ada orang yang Memberi Contekan dengan tujuan demi kebaikan yang lebih besar.
Sufi pertama mengatakan “itu darurat”. Sang Raja mengatakan “mau bagaimana lagi, kasihan kan”. Dan saya mengatakan kepada keduanya “jangan lupa bahwa kita harus bertanggung-jawab”. Apa maksud sebenarnya wahai pembaca?. Dibaca pelan-pelan ya
Mari renungkan, apa yang membuat “mencontek” itu disebut perkara yang buruk?. Mungkin ada banyak sekali alasan yang bisa disebutkan. Diantaranya adalah Itu perbuatan tidak jujur dan membuat orang jadi malas atau tambah bodoh. Lantas mengapa kami bisa begitu naifnya merendahkan diri dengan mengizinkannya. Di masa itu kami berhadapan dengan kondisi khusus demi kebaikan yang lebih besar.
Tidak ada mahasiswa kedokteran yang bodoh. Silakan cek, dahulu untuk bisa lulus masuk kedokteran universitas negri nilainya harus lumayan tinggi. Jadi tidak ada ceritanya mahasiswa kedokteran itu bodoh. Teman-teman saya dari fakultas lain sering menganggap tinggi anak-anak kedokteran. Di mata mereka itu seperti kasta paling atas di universitas. Terus mengapa ada mahasiswa kedokteran yang nilainya jelek? Karena hal-hal berikut
Terkadang kepintaran itu tidak berguna ketika anda berada di tengah semua orang-orang pintar. Juara kelas, nilai tes IQ tinggi, juara olimpiade, atau semua sisa kejayaan masa lalu saat SMU, itu tidak ada gunanya di medan ini. Mungkin disekolah dulu anda adalah orang paling pintar tetapi disini anda bisa jadi paling bodoh. Intinya anda bersaing dengan orang yang sama pintarnya dengan anda atau lebih pintar dari anda.
Sistem pengajaran yang luar biasa bikin stress, tidak hanya beban sks tetapi beban materi kuliah dan ujian yang bisa bikin “naik darah”. Dahulu di masa saya kuliah, secara umum sistem pengajaran masih konvensional dengan kuliah biasa dimana dosen di depan kelas mengajarkan materi kuliah yang terkadang satu buku beratus-ratus halaman diringkas menjadi 30 slide power point. Mereka yang gagal beradaptasi dengan sistem ini bakal punah akibat seleksi alam.
Tidak ada niat dan semangat. Kuliah di kedokteran karena dorongan orang tua. Kekurangan motivasi ditambah tekanan dari pihak keluarga atau tekanan bathin selalu takut gagal. Apalagi jika berasal dari keluarga yang mohon maaf kurang mampu orang tua banting tulang cari uang buat kuliah maka ada tekanan psikis tersendiri. Dalam sistem seperti ini stressor sangat tidak baik. Saya jadi ingat “Raju Rastogi” dalam film 3 idiots.
Waktu yang tidak banyak. Ya saya akui untuk menghadapi semua tekanan kita butuh waktu yang cukup. Untuk mempelajari banyak hal kita butuh waktu yang banyak pula. Bagaimana caranya bisa mempelajari berjilid-jilid buku hanya dalam waktu enam bulan [satu semester]?. Jangan dikira enam bulan itu waktu yang cukup. Dalam satu semester bisa ada lebih kurang sepuluh mata kuliah dan satu mata kuliah bisa ada lebih kurang tiga buku dengan tebal seperti bantal. Anggap tiga puluh buku dalam enam bulan berarti satu bulan lima buku, artinya satu buku harus selesai dalam enam hari. Enam hari cukup?. Ya jangan dihitung waktu kuliah, kuliah dari pagi sampai sore [paling sering sampai rumah jam tiga sore]. Kalau biasa tidur jam Sembilan ya berarti hanya punya waktu enam jam buat belajar. Potong waktu makan dan sholat jadi efektifnya lima jam dalam satu hari. Enam hari satu buku artinya 30 jam satu buku. Mau tahu berapa halaman buku kedokteran?. Tidak banyak, sekitar 900 halaman. Jika 30 jam untuk 900 halaman artinya 1 jam untuk 30 halaman atau dua menit untuk 1 halaman. Cukup untuk dibaca, tetapi cukupkah untuk dihafal atau dipahami?. Jawabannya tidak, rata-rata orang butuh membaca berkali-kali agar bisa hafal dan paham.
Bayangkan keempat hal ini menyerang orang tertentu. Ia yakin bahwa ia pintar tetapi faktanya kepintaran itu tidak bisa menghadapi beban materi yang terlalu banyak dan waktu yang singkat. Ia selalu khawatir dan takut gagal sehingga susah fokus jadinya susah belajar atau zhahirnya nampak belajar tetapi tidak ada yang masuk atau malah “gagal paham”. Pada ujian semester pertama hasil akhir jelek banyak mata kuliah yang tidak lulus. Terus tambah stress, tambah khawatir tambah susah fokus dan tambah susah belajar sampai di ujian semester kedua hasil akhir tetap jelek juga banyak mata kuliah yang tidak lulus. Ini seperti lingkaran setan yang cepat atau lambat bakal membuat yang bersangkutan punah.
.
.
Kami menyadarinya, kami melihat dirinya sebagai teman yang baik, akhlaknya luar biasa jauh lebih baik dari saya. Kami bisa melihat beban yang menggantung di lehernya walaupun ia tidak menceritakannya dan tidak berkeluh kesah tentangnya [ya pasti tahulah nilai akhir mata kuliah kan selalu ditempel di papan keramat].
Tentu kami sendiri masing-masing juga berusaha keras untuk bertahan dalam sistem ini tetapi kondisinya jelas parah sekali dibanding kami. Salah seorang dari kami seringkali menggerutu “alangkah jeleknya sistem ini, sistem ini tidak membuat orang menjadi pintar tetapi hanya menyaring mana orang pintar yang layak dan mana orang pintar yang tidak layak”. Saya awalnya bukan orang yang pedulian, jujur saja awal masuk kuliah saya dikenal sebagai orang pendiam, kurang bersosialisasi dan tidak pedulian. Tetapi melihatnya saya tidak ingin dia terus-terusan dalam kondisi seperti itu.
“Sufi Pertama” adalah orang yang paling dekat dengannya diantara kami. Ia berusaha membantu mengajarkan tetapi hasilnya tidak jauh berbeda. Ada juga sebab lain yang tersembunyi disini. Sebagian orang pintar ternyata mengidap penyakit “gengsian”. Tidak paham tetapi malu bertanya dengan teman. Ketika teman mengajarkan dan apa yang diajarkan teman susah dipahami malu untuk memintanya menjelaskan ulang. Takut kalau dianggap teman bodoh atau membosankan. Itulah sebabnya bantuan “sufi pertama” tidak efektif.
Sebenarnya saya melihat usaha “sufi pertama” itu tidak akan banyak membantu walaupun orang itu tidak gengsian. Akar masalah disini terletak pada sistem pengajaran dan penilaian. Semakin seseorang paham dengan sistem tersebut maka ia akan mencari cara agar bisa bertahan akan tetapi jika ia sendiri tidak paham dengan sistem tersebut maka berbagai cara yang dipakai tidak akan berguna. Tidak ada gunanya memanah, menembak, bahkan mengebom jika arah sasarannya salah.
.
.
.
Akar Masalah
Sistemnya yang bermasalah, yang dimaksud disini adalah sistem pengajaran materi kuliah dan sistem penilaian. Sistem pengajaran yang konvensional dimana dosen mengajarkan poin-poin materi tidak efektif untuk materi yang terlalu banyak. Hasilnya adalah sengaja diringkas terlalu banyak atau hanya mengajarkan yang pokok-pokok saja tetapi celakanya yang diuji tidak hanya yang pokok-pokok saja. Dari awal sang dosen sudah menuntut agar mahasiswa tidak hanya mengandalkan materi slide power point saat kuliah. Dengan gampangnya dosen tersebut tinggal menyebutkan buku-buku tebal yang harus kami baca. Mau tidak mau, suka tidak suka ya harus dibaca.
Sistem Penilaian juga agak mengganggu. Soal-soal ujian dibuat dalam dua bentuk yaitu soal yang menguji pemahaman dan soal yang menguji hafalan. Yang mengecewakan adalah soal yang menguji hafalan jauh lebih banyak dibanding soal yang menguji pemahaman. Anda paham ilmunya tidak menjamin anda bisa lulus kalau anda tidak hafal. Dan betapa hebatnya sang dosen ketika ia membuat soal-soal yang hanya bisa dijawab jika anda telah membaca buku-buku tebal yang ia tuntut harus dibaca oleh mahasiswanya. Anda membaca setengah buku maka anda tidak akan bisa menjawab soal-soal yang berasal dari setengahnya yang belum anda baca.
.
.
Bagaimana cara belajar yang benar agar bisa bertahan dalam sistem ini?. Orang-orang pintar yang idealis biasanya dalam kepala mereka tertanam konsep “belajar untuk ilmu”. Standar yang biasanya dipakai adalah pemahaman terhadap materi kuliah yang disampaikan dosen. Walaupun sebenarnya standar ini kurang karena apa yang disampaikan dosen biasanya hanya hal-hal yang pokok atau umum saja. Detail penjelasannya anda harus merujuk pada textbook yang kalau dilempar ke kepala bisa bikin pingsan. Kalau mahasiswa kedokteran ingin menjadi dokter yang berilmu maka mereka harus belajar dengan konsep “belajar untuk ilmu”.
Hanya saja konsep “belajar untuk ilmu” tidak menjamin anda bisa lulus karena ada porsi besar dari soal yang dibuat dosen dengan tujuan menguji hafalan. Seolah-olah sang dosen ingin memastikan mahasiswanya telah menyelesaikan membaca buku-buku tebal yang ia rekomendasikan. Mau tidak mau muncul konsep belajar yang lain yaitu “belajar untuk nilai”.
Idealnya adalah membaca dan menghafal semua bahan yang mungkin dijadikan dosen untuk membuat soal termasuk materi kuliahnya beserta textbook rujukannya. Tetapi karena hal ini menyulitkan hanya segelintir “orang gila” yang mau dan bisa melakukannya.
Cara lain yang dipakai adalah mengira-ngira soal yang dibuat dosen atau soal yang akan keluar saat ujian. Bagaimana caranya?  Yah para dosen juga manusia, punya kecenderungan atau gaya masing-masing. Mereka sudah bertahun-tahun mengajar dan menguji mahasiswa. Kebiasaan selalu membentuk pola. Untuk mengetahui jenis soal yang biasa dikeluarkan oleh dosen-dosen tertentu mau tidak mau anda harus merujuk pada salafus shalih, pendahulu sebelum anda alias kakak-kakak tingkat yang mulia yang telah berhasil melewati mata kuliah tersebut. Anda tahu polanya maka anda tahu apa yang harus anda pelajari atau anda hafalkan. Cara ini dinilai lebih waras untuk rata-rata mahasiswa kedokteran dibanding membaca seluruh textbook.
Tentu namanya mengira-ngira bisa jadi benar dan bisa jadi tidak tetapi kebanyakan benar tergantung masing-masing dosen. Ada yang memang pola soalnya selalu sama setiap tahunnya dan ada juga yang memang polanya sebagian besar sama dan sebagian kecil berubah bahkan ada juga dosen rajin kreatif dan inovatif sehingga sebagian besar pola soalnya berubah setiap tahun hanya sebagian kecil yang sama.
Dengan konsep “belajar untuk nilai” maka sangat besar untuk membantu anda lulus. Perbedaannya tergantung dengan usaha masing-masing orang yaitu apakah lulus dengan nilai pas-pasan atau lulus dengan nilai memuaskan. Kalau mahasiswa kedokteran ingin lulus mata kuliah agar bisa menjadi dokter maka dalam sistem ini mereka harus menerapkan belajar dengan konsep “belajar untuk nilai”.
.
.
Agar para pembaca mengerti perbedaan kedua konsep tersebut berikut akan saya contohkan. Contoh perbedaan ekstrim antara “belajar untuk ilmu” dan “belajar untuk nilai” adalah sistem peredaran darah manusia. Secara sederhana sistem ini mencakup jantung yang memompa darah ke pembuluh darah nadi besar terus ke pembuluh darah nadi kecil ke seluruh tubuh kemudian lewat pembuluh darah balik kecil terus ke pembuluh darah balik besar akhirnya kembali ke jantung. Untuk konsep “belajar untuk ilmu” pemahaman ini cukup tetapi kadang yang diuji bukan itu tetapi yang diuji adalah nama-nama pembuluh darah yang terlibat dalam sistem tersebut dan bisa terjawab dengan konsep “belajar untuk nilai” yaitu menghafal nama-nama pembuluh darah tersebut.
Tidak semua orang pintar bisa beradaptasi dengan sistem ini. Apalagi jika orang tersebut sudah terbiasa belajar dengan konsep “belajar untuk ilmu”. Termasuk teman kita yang kondisinya parah tadi. Beliau tidak terbiasa menghafal hal-hal yang seharusnya dihafalkan untuk bisa menjawab soal.
Di dunia nyata mungkin kasusnya seperti ini, anda mungkin saja bisa dan tahu pasti rumah salah satu teman anda karena anda sudah pernah pergi langsung kerumahnya. Ini saya sebut paham. Tetapi anda mungkin tidak hafal secara detail hal-hal yang terkait untuk menuju sampai kesana. Ketika ada yang menguji anda dengan detail tersebut bukan berarti anda tidak paham. Misalkan pertanyaannya adalah berapa persimpangan jalan yang akan anda temui dari rumah anda ke rumah teman anda? Atau berapa rumah yang akan anda lewati dari perjalanan menuju rumah teman anda?. Atau berapa ukuran jaraknya dalam meter atau km dari rumah anda ke rumah teman anda tersebut? . Ya mungkin saja anda tidak tahu tetapi ketidaktahuan itu tidak menunjukkan bahwa anda tidak bisa ke rumah teman anda.
Begitulah ilustrasinya, salah seorang diantara kami yang suka menggerutu berkata “seberapa penting sih detail tersebut untuk menjadi dokter yang baik, toh kalau kita lupa sebagian detail itu ya wajar saja dan tidak ada manfaat langsungnya bagi seorang dokter”. Saya sih simple saja jawabnya “kalau mau lulus ya detail itu penting”.
.
.
.
Solusi Kreatif Dan Inovatif
Cara belajar yang saya jelaskan itu adalah solusi standar yang bisa digunakan agar bertahan dalam sistem ini. Tetapi ada lagi solusi lain yang bermunculan. Diantaranya sadar ataupun tidak, mahasiswa kedokteran itu membentuk geng-geng atau kelompok atau klub untuk saling mengisi kekurangan. Beruntung kalau satu geng dengan “orang-orang gila” yang melihat textbook seperti melihat wanita pujaannya. Orang-orang gila ini tidak banyak jumlahnya dan mereka memiliki tingkat kewarasan yang berbeda-beda.
Ada yang pelit tidak mau berbagi dan ada yang murah hati suka berbagi bahkan ada yang murahan suka membuat kekacauan. Bayangkan saja orang yang sudah membaca berbagai materi kuliah dan textbook ketika ujian mau saja memberi contekan kepada orang lain sampai 80 % jawaban soal ujian. Tidak susah untuk melihat aksinya, jika soal ujian ada seratus, ia akan menuliskan jawaban 80 soal pada kertas kecil yang akan ia tinggalkan di toilet. Maka orang yang meminta contekan bisa melihatnya dengan tinggal pergi ke toilet saja.
Awalnya sih banyak yang pesimis atau tidak percaya. Masa’ sih sebanyak itu, murahan sekali, kok bisa ya kan sudah capek-capek belajar kesannya tidak menghargai usaha kerasnya sendiri atau jangan-jangan bohong, ia sengaja kasih jawaban yang salah. Memang apakah orang itu memberikan jawaban yang benar atau tidak ya dia sendiri yang tahu tetapi ada juga orang yang “cukup bodoh” untuk taklid buta pada jawaban-jawaban tersebut dan hasil akhir nilai ujiannya memuaskan. Ketika melihat nilai ujian di papan keramat itu suara-suara sumbang mendadak bungkam. Ternyata “orang gila” itu memang memberi contekan jawaban yang benar. 80 % cukup untuk mendapat nilai A kalau jawabannya benar semua.
.
.
Beberapa orang pernah mendiskusikan “orang gila ini” secara khusus. Alasan orang itu ternyata sederhana yaitu sekedar mau tahu siapa orang yang percaya dengannya. Kemudian orang yang percaya dengannya akan ia jadikan teman dekat. Ia akan membantu orang yang ia beri contekan agar pemahamannya tidak tersesat. Ia rela mengajaknya belajar bersama. Ia rela mengajarkan ilmu yang dengan “susah payah” ia dapatkan dan dengan senang hati ia akan memberi contekan pada saat ujian.
Bagi orang yang ketiban rezeki menjadi teman dekat, maka orang gila tersebut seperti juru selamat yang akan membimbingnya melalui jalan terjal dalam sistem ini. Tetapi ada sekelompok kecil orang lain yang melihat tingkah orang gila ini keterlaluan dan dianggap membuat kekacauan. Ada yang cukup berani untuk mengajaknya bicara empat mata agar ia menghentikan ulahnya. Banyak orang lain yang memberi contekan tetapi tidak mereka permasalahkan. Yang dipermasalahkan sih agak lucu yaitu jangan memberi contekan banyak-banyak dan benar semua. [Hee apa ini maksudnya mau nyuruh kasih contekan yang salah]. Pada akhirnya seiring waktu berjalan, sekelompok kecil orang yang protes akhirnya sadar bahwa ini adalah realita yang mau tidak mau harus diterima.
.
.
Saya melihat cara yang dilakukan “orang gila” tersebut adalah solusi untuk permasalahan teman kami yang parah itu. Entah kapan pastinya dimulai, yang jelas kami mulai memberi contekan dan mulai lebih dekat membimbing teman kami yang parah itu. Saya juga menggandeng “sufi pertama” dan “sang raja” untuk ikut andil. Kami serius mengajaknya belajar bersama. Meluruskan pemahaman ilmunya yang salah dengan cara yang sesuai dengan karakternya yang gengsian.
Yah orang yang gengsian itu terkadang suka pura-pura paham padahal sebenarnya tidak. Jadi ya kami terpaksa harus berpura-pura atau bersandiwara. Terkadang “sufi pertama” mendadak bego dan saya dengan pura-pura serius mengajarkan seperti orang bodoh, orang gengsian itu ikut mendengarkan dan akhirnya ia benar-benar paham. Terkadang kami dengan terpaksa memburuk-burukkan sistem ini di depannya dengan tujuan memberi kesan padanya bahwa sistem ini hanya untuk orang yang super pintar. Orang-orang biasa seperti kita kalau tidak saling membantu dalam sistem ini ya tidak bisa bertahan [kira-kira begitu bisikannya]. Terkadang saya, “sufi pertama” dan “sang raja” juga pura-pura saling mencontek dan memberi contekan dengan tujuan agar orang gengsian ini tidak malu untuk mencontek dari kami atau merasa rendah diri ketika kami memberi contekan. Di saat-saat tertentu kami mendadak pura-pura lupa dan meminta contekan darinya. Jadi ia tidak merasa sekedar mencontek tetapi juga memberi contekan. Hasilnya nilai akhir orang itu berangsur-angsur membaik, beban berkurang, makin percaya diri dan sudah tahu cara belajar yang benar.
Inti dari mencontek dan memberi contekan ini adalah tanggung jawab. Filosofi yang dibangun adalah kita bersama-sama “belajar untuk ilmu” dan “belajar untuk nilai”. Kita saling membantu, saling menjaga, saling mengisi dan kita bertanggung jawab agar membuat orang yang kita beri contekan menjadi orang yang paham. Saya dengan serius meluangkan waktu untuk mengajarinya bersama beberapa teman lain. Saya tidak ragu untuk berbagi ilmu dari buku atau textbook yang sudah saya baca. Kami membantu orang pintar yang biasa-biasa saja agar layak bertahan dalam sistem ini. Modal utama seorang dokter bukan “super pintar” tetapi “jiwa yang baik” dan orang baik seperti Beliau tidak layak punah dari sistem ini. Berani memberi contekan maka harus berani bersusah-susah untuk membuat orang yang kita beri contekan menjadi orang yang berilmu. Semua ini demi kebaikan yang lebih besar.
Mungkin dengan melihat hal inilah, sebagian teman yang awalnya beranggapan bahwa mencontek itu haram pada akhirnya tidak mempermasalahkan ulah kami walaupun ia sendiri tetap tidak mau mencontek atau memberi contekan. Oh iya tidak setiap yang anti mencontek mengatakan mencontek itu haram lho seperti teman saya Mr Cool yang satu ini. 
.
.
.
Penutup
Tidak ada yang bilang kalau kisah ini nyata dan tidak ada juga yang bilang kalau kisah ini fiktif belaka. Bukan itu yang penting dan sebenarnya saya juga tidak tahu apa yang penting dari kisah ini. Selamat bingung dan bagi yang tidak bingung maka selamat tercerahkan.
.
.
Note :
Teman yang kondisinya parah itu sekarang sudah jadi dokter yang hebat, hidup bahagia nan jauh disana, btw dia bukan termasuk salah seorang dalam klub SP karena orangnya tidak terlalu suka diskusi serius. Oh iya saya pernah membuat tulisan yang memuat tentang salah satu kisah cintanya, baca disini dan Beliau adalah orang korban pertama.
“Sufi Pertama” dan “Sang Raja” adalah orang yang akhirnya menjadi bagian dari klub SP. Ehem akhir bulan ini konon kabarnya ada reuni masbro tetapi saya ragu kalian bisa ikut.
Sekarang sistem pengajaran dan penilaian di kampus tecinta sudah berubah, konon kabarnya sudah jadi lebih baik.




0 komentar:

Posting Komentar