Sudahkah Anda Bershalawat???

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: مَن صلَّى عليَّ صلاةً واحدةً ، صَلى اللهُ عليه عَشْرَ صَلَوَاتٍ، وحُطَّتْ عنه عَشْرُ خَطياتٍ ، ورُفِعَتْ له عَشْرُ دَرَجَاتٍ

“Barangsiapa yang mengucapkan shalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat baginya sepuluh kali, dan digugurkan sepuluh kesalahan (dosa)nya, serta ditinggikan baginya sepuluh derajat/tingkatan (di surga kelak)” HR an-Nasa’i (no. 1297)

Keutamaan Shalawat Kepada Nabi

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman: إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا {56}

Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QS. 33:56)

Ahlul Bait

مَثَلُ أَهْلِ بَيْتِي مَثَلُ سَفِيْنَةِ نُوْحٍ مَنْ رَكِبَهَا نَجَا وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرِقَ

“Perumpamaan Ahlul baitku seperti kapal nabi Nuh, barangsiapa yang menaikinya maka dia akan selamat dan barangsiapa yang enggan maka dia akan tenggelam (binasa).”

Rabu, 28 September 2016

Apakah Anak-Anak Nabi Adam As Dikawinkan Dengan Saudara Sekandungnya?

kabel


Berkenaan dengan pernikahan anak-anak Adam terdapat dua pandangan di kalangan ulama Islam:


  1. Pada waktu itu, karena hukum keharaman pernikahan antara saudara dan saudari belum lagi diturunkan dari sisi Tuhan dan juga lantaran generasi manusia tidak dapat dipertahankan dan lestari kecuali melalui jalan ini maka pernikahan berlangsung di  antara saudara dan saudari, putra dan putri Adam.
  2. Pandangan lainnya adalah karena pernikahan dengan saudara/i yang mahram (saudara/i seibu-seayah, sesusuan) merupakan sebuah perbuatan tercela dan tidak terpuji, pernikahan anak-anak Adam antara satu dengan yang lain tidak mungkin terlaksana. Dan anak-anak Adam menikah dengan gadis-gadis dari bangsa dan generasi yang lain yang ada di muka bumi. Setelah menikah, anak-anak mereka menjadi paman atas yang lainnya, mereka melakukan hubungan suami-istri dan melalui jalan ini generasi manusia berkembang.



Dari dua pandangan ini pandangan pertama yang mendapatkan dukungan dari Allamah Thabathabai penulis Tafsir al-Mizan.

Mengenai pertanyaan semacam ini telah mengemuka semenjak dulu kala yang ingin mencari tahu bahwa dengan siapakah anak-anak Adam menikah? Apakah mereka menikah dengan saudari-saudari mereka sendiri? Apakah mereka menikah dengan istri-istri yang berasal dari kalangan malaikat atau jin? Apakah mereka menikah dengan manusia-manusia lainnya? Apabila mereka menikah dengan saudari-saudarinya sendiri bagaimana perbuatan ini dapat dibenarkan sementara pernikahan di antara saudara dan saudari diharamkan pada seluruh agama dan syariat?

Berkenaan dengan hal ini di antara ulama Islam terdapat dua pendapat dan masing-masing untuk menyokong pendapat mereka mengemukakan dalil-dalil al-Qur’an.

Sekarang mari kita simak secara global masing-masing dari dua pendapat ini:

Pertama, Mereka menikah dengan saudari-saudari mereka sendiri. Mengingat pada masa itu (awal penciptaan) hukum keharaman pernikahan antara saudara dan saudari belum lagi diturunkan oleh Allah Swt dan dari sisi lain tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melestarikan generasi manusia kecuali melalui jalan ini, maka pernikahan antara sesama mereka terlaksana. Karena yang berhak menetapkan aturan dan hukum merupakan hak prerogatif Tuhan sebagaimana hal ini termaktub dalam al-Qur’an,“Inilhukuma illa Allah” (Tiada hukum kecuali hukum Allah Swt, Qs. Yusuf [10]:40)

Allamah Thabathabai Ra dalam hal ini berkata, “Pernikahan berlangsung pada tingkatan awal setelah penciptaan Adam dan Hawa; artinya pada anak-anak pertama Adam dan Hawa terdapat saudara-saudari. Dan putri-putri Adam menikah dengan putra-putranya. Karena pada masa itu, seluruh generasi manusia terbatas pada anak-anak Adam ini. Karena itu, tidak ada masalah (kendati pada masa kita sekarang ini boleh jadi pernikahan antara saudara dan saudari merupakan sesuatu yang mengagetkan) tapi masalah ini terkait dengan sebuah masalah penetapan hukum dan tugas untuk menetapkan hukum merupakan hak prerogatif Tuhan karena itu Dia dapat menghalalkan sebuah perbuatan pada suatu masa tertentu dan mengharamkanya pada masa lain.[1]

Menurut Ayatullah Makarim Syirazi dalam Tafsir Nemune bahwa meyakini pandangan semacam ini bukan merupakan sesuatu yang aneh, “Tidak ada masalah untuk sementara waktu karena sifatnya emergensi, pernikahan semacam ini tidak memiliki halangan dan hukumnya boleh bagi sebagian orang dan haram abadi bagi sebagian lainnya.[2]

Pendukung pendapat ini juga menyodorkan dalil-dalil al-Qur’an untuk menguatkan pandangan mereka bahwa Allah Swt berfirman: “Dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.“[3] (Qs. Al-Nisa [4]:1)

Di samping itu, terdapat dua riwayat yang dinukil oleh Thabarsi dalam “Ihtijâj” dari Imam Sajjad As yang menyokong pandangan ini.[4]


Kedua, Pendapat lainnya yang menegaskan kemustahilan pernikahan di antara anak-anak Adam antara satu dengan yang lain. Alasannya adalah karena pernikahan dengan mahram (saudara/i seibu-seayah, sesusuan) merupakan sebuah perbuatan tercela dan tidak terpuji serta dalam pandangan syariat adalah haram hukumnya. Anak-anak Adam menikah dengan gadis-gadis yang berasal dari jenis manusia akan tetapi dari bangsa dan generasi lain yang merupakan keturunan dari generasi-generasi sebelumnya yang hidup di muka bumi. Kemudian anak-anak mereka menjadi kemenakan, setelah itu pernikahan terjadi di antara mereka.

Pendapat ini mendapat sokongan dari sebagian riwayat; karena keturunan Adam bukan merupakan manusia pertama di muka bumi, melainkan terdapat manusia-manusia lainnya yang hidup di muka bumi. Namun ucapan ini tidak sebangun dengan ayat-ayat al-Qur’an secara lahir. Lantaran sesuai dengan ayat al-Qur’an keturunan manusia hanya berasal dari dua manusia ini. Karena itu pada hakikatnya riwayat-riwayat semacam ini berseberangan dengan penegasan al-Qur’an dan kita tidak dapat menerima riwayat-riwayat semacam ini.

Dari penalaran-penalaran ini dapat disimpulkan bahwa sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an pandangan bahwa Habil dan Qabil menikah dengan istri-istri dari kalangan malaikat atau jin juga tidak dapat diterima. Karena secara lahir ayat ini menyatakan bahwa keturunan manusia hanya melalui dua orang ini (Adam dan Hawa).[5] Dan apabila melalui orang lain keturunan Adam dapat dilestarikan maka redaksi ayat harusnya berkata, “Dari keduanya (Adam dan Hawa) dan selain keduanya…”

Allamah Thabathabai Ra dalam hal ini berkata, “Keturunan manusia yang ada sekarang ini hanya berujung pada Adam dan istrinya. Dan selain keduanya tiada lagi campur tangan manusia lain dalam melestarikan keturunan anak manusia.”[6] Karena itu, kita harus menerima riwayat-riwayat yang sejalan dan selaras dengan ayat-ayat al-Qur’an dan pandangan yang sejalan dengan al-Qur’an adalah pandangan dan pendapat pertama. [IQuest]


Catatan Kaki

  1. Tafsir Al-Mizân, jil. 4, hal. 216.
  2. Tafsir Nemune, jil. 3, hal. 247.
  3. “Wabattsa minhumâ rijalân katsiran wa nisâan.” (Qs. Al-Nisa [4]:1)
  4. Al-Ihtijâj, jil. 2, hal. 314.
  5. “Wabattsa minhumâ rijalân katsiran wa nisâan.” (Qs. Al-Nisa [4]:1)
  6. Tafsir Al-Mizân, jil. 4, hal. 216.

Selasa, 27 September 2016

Siapakah Tuhan itu? Dan dengan dalil apa Tuhan dapat dibuktikan?

who_is_god_main_titles



Tuhan Maha Kuasa adalah Wujud mutlak dan Kesempurnaan mutlak yang sama sekali tidak memiliki aib dan cela. Wujud-Nya tiada duanya. Dia memiliki kemampuan untuk melakukan setiap perbuatan dan mengetahui segala sesuatu kapan pun dan apa pun kondisinya, Maha Mendengar dan Maha Melihat, memiliki kehendak dan ikhtiar, Hidup dan Pencipta segala sesuatu, Sumber segala kebaikan, Mencintai dan Pengasih kepada seluruh makhluk.

Konsep Tuhan merupakan konsep yang paling umum dan sederhana. Demikian sedernahanya sehingga dapat dipahami oleh seluruh manusia, bahkan oleh mereka  yang menafikan wujud Tuhan. Kendati pengenalan esensi dan hakikat Zat Tuhan mustahil bagi manusia namun masih banyak jalan untuk memperoleh keyakinan terhadap wujud Tuhan. Jalan-jalan untuk mengenal Tuhan dalam sebuah klasifikasi umum dapat dibagi menjadi beberapa bagian:


  1. Jalan rasional (Burhan Imkan dan Wujub)
  2. Jalan empirik (Argumen Keteraturan)
  3. Jalan hati (Argumen Fitrah)


Jalan terbaik dan termudah adalah melalui argumen fitrah (mengenal Tuhan melalui hati). Melalui argumen fitrah ini, manusia kembali kepada dirinya, ia tidak lagi memerlukan argumentasi rasional atau observasi empirik untuk dapat menemukan Tuhannya dan dengan melalui jalan hati ini ia sampai kepada Tuhan.

Konsep tentang Tuhan merupakan sebuah konsep yang dapat dipahami dengan mudah oleh setiap manusia bahkan oleh mereka yang mengingkari wujud Tuhan. Konsep ini terdapat dalam benak mereka sendiri. Lantaran semuanya tahu bahwa Tuhan adalah Pencipta seluruh entitas dan eksisten, Maha Kuasa untuk melakukan seluruh perbuatan, Maha Mengetahui atas segala sesuatu, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Hidup dan seterusnya, kendati mereka tidak menerima wujud Tuhan seperti ini.

Meski konsep Tuhan merupakan konsep yang paling umum, namun mengenal hakikat dan esensi Zat Tuhan mustahil bagi manusia. Karena Zat Tuhan adalah nir-batas dan tanpa ujung. Di samping itu, juga karena zat dan tipologi manusia terbatas sehingga tidak mungkin baginya memahami hakikat Tuhan yang tidak terbatas. “Laa yuhithuna bihi ‘Ilman.” (sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya, Qs. Thaha [20]:110) Boleh jadi atas dalil ini, al-Qur’an dalam memperkenalkan Tuhan menjelaskan sifat-sifat jamal dan jalal seperti Maha Kaya, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Tinggi, Maha Besar, Maha Sayang, Maha Kasih, Maha Pencipta dan sebagainya. Di samping itu, melalui media empirik manusia dapat membina interaksi dengan benda-benda luaran dan memperoleh pengetahuan baginya sementara tidak ada yang semisal dan serupa dengan Tuhan Yang Mahakuasa, laisa kamtislihi syai..” (Tiada sesuatu apa pun yang menyerupainya, Qs. Syura [26]:11)

Meski hakikat Zat Tuhan tidak dapat dikenal secara sempurna akan tetapi manusia melalui banyak jalan dapat memperoleh keyakinan terhadap wujud Tuhan Yang Mahakuasa yang dapat dibagi menjadi beberapa jalan:

  1. Jalan rasional seperti burhân imkan dan wujub
  2. Jalan empirik dan indrawi seperti argumen keteraturan (burhân nazhm)[1]
  3. Jalan hati atau argumen fitrah.[2]
  4. Jalan termudah dan terbaik untuk mengenal wujud Tuhan adalah jalan hati atau melalui argumen fitrah. Artinya pada lubuk hati manusia yang paling dalam terpendam pengenalan, kecenderungan dan kecintaan kepada Tuhan. Dalam diri manusia senantiasa terdapat poin nurani dan satu daya magnetis yang kuat dalam hati manusia yang merajut hubungan dengan dunia metafisika dan merupakan sedekat-dekat jalan menuju kepada Tuhan.[3]
  5. Kendati mengenal Tuhan dan kecendrungan terhadap-Nya dan cahaya tauhid senantiasa terpendam dalam jiwa setiap manusia akan tetapi dengan adanya adab dan tradisi khurafat, pengajaran yang salah, kelalaian dan kesombongan, khususnya tatkala merasa sehat bugar dan sejahtera, maka terbentang tirai yang tebal dan lebar bagi manusia. Namun tatkala badai persoalan datang menghantam, tatkala manusia memutuskan seluruh harapannya pada segala sebab-sebab lahir dan memotong harapan dari segalanya, pada saat seperti ini seluruh tirai tebal dan lebar itu akan tersingkap dan cahaya hati akan memendar. Semakin pikiran yang terkontaminasi dengan kesyirikan teramputasi dari hati dan menjadi murni dengan pelbagai kejadian ini[4] maka mau-tak-mau manusia tergiring menuju dunia metafisika.
Atas dasar ini, terdapat banyak ayat dalam al-Qur’an yang menandaskan bahwa melalui jalan ini, manusia akan mengingat nikmat fitrah dalam mencari Tuhan.[5]

Para pendahulu Islam juga merupakan orang-orang yang acapkali tenggelam dalam keraguan dalam masalah pengenalan kepada Tuhan dengan jalan ini mereka akan terbimbing sebagai contoh perisitwa sejarah berikut ini:

Seseorang yang bingung dalam masalah makrifatullah mengalami keraguan dan sangsi, datang kepada Imam Shadiq As dan berkata, “Wahai Putra Rasulullah! Bimbinglah Aku untuk mengenal siapa Tuhan itu? Lantaran was-was telah menguasai dan mencengkram diriku. Imam bersabda, “Wahai hamba Allah! Apakah engkau pernah menaiki bahtera? Katanya, Iya, Pernah. Imam kemudian melanjutkan, “Apakah bahtera (yang pernah engkau naiki) itu rusak dan ketika itu tiada satu pun bahtera yang dapat menyelamatkanmu dan engkau tidak mampu berenang? Katanya, “Iya.” “Dalam kondisi seperti itu apakah hatimu tidak bersandar pada satu entitas yang dapat menyelamatkanmu dari kebinasaan?” sabda Imam Shadiq As. Kata orang itu, “Iya.” Imam Shadiq As bersabda, “Dialah Tuhan yang mampu menyelamatkanmu tatkala tiada satu pun yang mampu menyelamatkanmu atau mendengar suaramu meminta pertolongan.[6]

Kesimpulannya bahwa setiap manusia memiliki makrifat, pengetahuan dan kecondongan kepada wujud Tuhan Yang Maha Kuasa, Berilmu, Pencipta, Hidup dan Pengasih dan seterusnya melalui jalan hati dan fitrah. Dan apabila ia lalai dari wujud Tuhan lantaran pelbagai pengaruh, namun ia tidak dapat mengingkari dalam kehidupannya sebuah peristiwa tidak terjadi dan seluruh harapannya terputus dari segala sesuatu, dan perhatiannya tidak jatuh kepada wujud Tuhan.[7]

 

Terkadang seseorang dengan observasi akurat dan pemikiran teliti dalam sifat-sifat dan hubungan-hubungan pelbagai fenomena empirik maka ia akan terbimbing kepada wujud Tuhan dan sifat-sifat-Nya seperti ilmu, hikmah, kudrah. Jalan ini, yang berpijak pada penyaksian alam natural dan telaah empirik seluruh fenomena natural disebut sebagai jalan empirik. Dengan memperhatikan beberapa keutamaan tipikal jalan ini, al-Qur’an memberikan perhatian khusus terhadap masalah observasi emprik dan dalam banyak ayat al-Qur’an menyeru manusia untuk merenungi fenomena-fenomena semesta yang ada di sekelilingnya, yang sekedudukan dengan tanda-tanda dan ayat-ayat takwini Tuhan. Sebagian periset Muslim, dengan bersandar pada salah satu tipologi alam natural yaitu desain dan keteraturan, mengemukakan sebuah argumentasi atas wujud Tuhan. Argumentasi seperti ini umumnya disebut sebagai argumen keteraturan (argument from design). Atas dasar itu, kita dapat menjadikan argumen keteraturan sebagai contoh nyata untuk mengenal Tuhan melalui jalan empirik.

 

Mengenal “Ayat“dalam al-Qur’an dan Riwayat

Pada beberapa tempat al-Qur’an, kita dapat menjumpai beberapa ayat (tanda-tanda) yang menjelaskan tentang fenomena-fenomena natural. Fenomena-fenomena tersebut merupakan tanda-tanda dan ayat-ayat atas wujud Tuhan dan mengajak manusia untuk memikirkan dan merenunginya. Mengenal Tuhan melalui fenomena merupakan pengenalan tanda-tanda takwini di alam penciptaan yang merupakan contoh nyata jalan empirik terkadang disebut sebagai “pengenalan ayat danafaqi.”[8]

Sekelompok ayat-ayat lainnya, menyeru manusia untuk memikirkan ayat-ayat takwini Ilahi dan keteraturan yang berlaku pada alam keberadaan dan pada wujud manusia, merupakan dalil dan pedoman yang akan membimbing orang-orang yang berakal kepada Sumber Transendental:“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Qs. Ali Imran [3]:190); Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan? (Qs. Al-Dzariyat [51):20-21)[9]

Banyak ayat al-Qur’an yang menyinggung tentang fenomena tertentu dan hal itu dipandang sebagai ayat dan tanda atas keberadaan, ilmu dan kekuasaan Tuhan. Ayat-ayat ini sedemikian banyak sehingga menyebutkan ayat-ayat tersebut memerlukan ruang dan waktu yang lain.[10]

Para pemimpin agama juga menekankan metode al-Qur’an pada “pengenalan ayat” Ilahi. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis kompleks dari Imam Shadiq As yang bertutur-kata kepada salah seorang sahabatnya.“Wahai Mufaddhal! Pelajaran dan dalil pertama atas eksistensi Sang Pencipta adalah pembentukan, pengumpulan bagian-bagian dan keteraturan penciptaan di alam ini. Oleh karena itu, jika engkau berfikir dengan baik dan benar mengenai alam ini, engkau akan dapatkan segala sesuatunya seperti Anda mendapatkan rumah dan istana yang didalamnya telah tersedia seluruh kebutuhan-kebutuhan hamba Tuhan. Langit seperti atap, yang diletakkan dengan tingginya, bumi seperti permadani yang telah dihamparkan, bintang-bintang seperti lampu-lampu yang telah disiapkan, mutiara-mutiara seperti cadangan yang tertimbun di dalamnya, dan segala sesuatunya terletak dalam tempatnya sendiri secara sempurna. Kita  juga seperti orang yang diberikan rumah ini, dan segalanya diserahkan dalam ikhtiar kita. Segala jenis tumbuhan dan hewan disiapkan untuk kita untuk memenuhi kebutuhan dan kemaslahatan.” Segala hal di atas adalah dalil bahwa alam keberadaan ini telah diciptakan dengan ukuran yang sangat jitu, penuh hikmah, teratur, sesuai dan harmonis. Pencipta sesuatu itu adalah satu, Dialah yang Maha Pengatur, Pencipta keteraturan dan mengharmonisasikan bagian-bagian ciptaan-Nya.[11]

Jalan Akal

Pada jalan ini, keberadaan Tuhan ditetapkan dengan premis-premis, kaidah dan metode yang murni rasional.[12] Argumen-argumen dan dalil-dalil filosofis merupakan contoh-contoh nyata analisa-analisa akal dalam menetapkan wujud Tuhan. Jalan ini dibandingkan dengan dua jalan yang telah disebutkan di atas memiliki beberapa tipologi dan karakteristik tersendiri sebagaimana berikut ini:

  1. Kebanyakan argumentasi dan elaborasi rasional untuk menetapkan wujud Tuhan, lantaran berjalin berkelindan dengan pembahasan-pembahasan pelik dan jeluk filosofis sehingga tentu tidak terlalu berguna bagi mereka yang tidak familiar dengan pembahasan filsafat.[13]
  2. Salah satu keunggulan jalan akal adalah dapat digunakan sebagai jawaban ilmiah atas pelbagai keraguan yang dilontarkan oleh kaum atheis dan juga pada tingkatan ekspostulasi (ihtijaj) dan debat, jalan akal ini dapat membongkar kelemahan dan kerapuhan argumen-argumen para pengingkar,serta menjawab pelbagai tantangan rasionalitas yang tidak dapat dijawab kecuali dengan argumen-argumen rasional.
  3. Jalan rasional untuk menetapkan keberadaan Tuhan dapat berfungsi konstruktif dalam proses penguatan iman seseorang; karena bilamana akal seseorang tunduk di hadapan kebenaran maka qalbu dan hati juga akan mengikuti. Dari sisi lain, peran argumentasi dan inferensi rasional sangat signifikan dalam menguatkan iman seseorang dan juga dalam mengeliminir sangsi dan keraguan.[14]
 

Dengan memperhatikan performa tipikal jalan rasional dari satu sisi dan dengan memperhatikan kecenderungan fitrawi pikiran kuriositas manusia terhadap pembahasan-pembahasan jeluk rasional dan filosofis dari sisi lainnya, karena itu cendekiawan Muslim melakukan riset-riset mendalam pada bidang teologi rasional dimana sebagian dari riset tersebut berujung pada pendirian argumen-argumen baru untuk menetapkan keberadaan Tuhan atau menyempurnakan argumen-argumen sebelumnya. Salah satu argumen rasional yang paling kokoh dalam menetapkan keberadaan Tuhan adalah argumen yang dikenal sebagai burhan wujub dan imkan. Argumen ini telah diulas dalam beberapa model yang akan kita sebutkan salah satu dari ulasan tersebut di sini.

Argumen wujub dan imkan (sesuai dengan salah satu ulasan yang ada) dapat dijelaskan sebagai berikut:

“Di alam luaran (khârij) sudah barang tentu dan niscaya terdapat sebuah entitas (realitas). Apabila entitas ini Wâjib al-Wujûd maka ideal kita tertetapkan (dimana Wajib al-Wujud ini adalah wujud Tuhan itu sendiri) dan apabila entitas tersebut  adalah mumkin al-wujud (contigen being), mengingat kebutuhannya terhadap sebab dan kemustahilan tasalsul (infinite circle) dan daur (circular reasoning), maka ia membutuhkan entitas yang wujudnya bukan merupakan akibat dari entitas lainnya dan entitas semacam ini adalah Wâjib al-Wujûd (baca: Tuhan).

 

Untuk diketahui bahwa terkait dengan pertanyaan yang Anda ajukan bersifat buram, lantaran pertanyaan ini boleh jadi berkisar tentang wujud Tuhan? Dan juga boleh jadi bertalian dengan pelbagai tipologi dan sifat Tuhan, dari jawaban yang diberikan lebih mengarah pada penetapan dan pembuktian wujud Tuhan. Sekiranya Anda masih ingin mengetahui lebih jauh ihwal sifat-sifat Tuhan, kami persilahkan Anda melayangkan kembali surat ke meja redaksi. [IQuest]

 

Catatan Kaki

  1. Nashir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 14, hal. 161.
  2. Metode ini disebut sebagai metode empirik tidak bermakna tiadanya inferensi dan penalaran rasional sama sekali, melainkan menitikberatkan pada fakta bahwa salah satu pendahuluan-pendahuluan asasinya adalah observasi empirik pelbagai fenomena natural.
  3. Taqi Misbah Yazdi, Ma’ârif Islâmi, jil. 1, hal. 41.
  4. Nashir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 16, hal. 341-342.
  5. Ibid, hal. 418-423.
  6. Seperti, “Maka apabila mereka naik kapal, mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; tetapi tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” (Qs. Al-Ankabut [29]:65); “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), sebagai fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus.”  (Qs. Rum (30): 30);”Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri. Dia-lah Tuhan yang menjadikan Kamu dapat berjalan di daratan dan (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, tiba-tiba datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpa mereka, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan dengan tulus hati (sembari berkata), “Sesungguhnya jika engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.” Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar.” (Qs.Yunus [10]:12, 22 dan 23); “Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkanmu ke daratan, kamu berpaling.” (Qs. Isra [17]:67); “Dan apabila manusia itu ditimpa kemudaratan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhan-nya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya, lupalah dia akan kemudaratan yang pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu.” Apabila manusia ditimpa bahaya, ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami, ia berkata, “Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku.” Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.” (Qs. Al-Zumar [39]: 8 dan 49).
  7. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 3, hal. 41.
  8. Disebutkan bahwa dalam tafsir “mengenal ayat” yang diadopsi dari al-Qur’an terdapat beberapa pandangan: Sekelompok periset “mengenal ayat” ini sebagai premis untuk membuat satu inferensi dan penalaran rasional – serupa dengan apa yang dijelaskan pada argumen keteraturan – atas keberadaan, ilmu dan kebijaksanan Tuhan. Namun berdasarkan pada penafsiran lainnya, ayat-ayat al-Qur’an yang menyeru manusia untuk berpikir dan berkontemplasi tentang fenomena-fenomena natural, semata-mata mengingatkan adanya pengetahuan fitrawi dalam diri manusia kepada Tuhannya, tidak lain hanya mengingatkan. Pandangan ketiga, ayat-ayat yang menjadi pembahasan pada tataran jadal ahsan (berdialog dengan lebih baik) dengan orang-orang musyrik; mereka dengan keliru berpandangan bahwa berhala-berhala dan sesembahan lancung mereka berperan pada sebagian pengaturan urusan dunia dan tidak memahami dengan baik tauhid rububi. Silahkan lihat, al-Mizân, Allamah Thabathabai, jil. 18, hal. 154; Âmuzesy ‘Aqâid (Iman Semesta), jil. 1-2, hal. 68 dan Tabyin-e Barâhin-e Itsbât-e Wujud-e Khudâ, Jawadi Amuli, hal. 43.
  9. Dan juga silahkan lihat, Qs. Al-Baqarah (2):164; Qs. Al-Jatsiyah (45):3-6; Qs. Yunus (10):100-101; Qs. Ibrahim (14):10.
  10. Ayat-ayat yang menegaskan bahwa fenomena-fenomena tipikal semesta adalah tanda-tanda keberadaan Tuhan dapat dibagi menjadi beberapa klasifikasi umum. Ayat-ayat yang berkenaan dengan ranah kehidupan manusia seperti, Pertama, sistem umum penciptaan manusia, Jatsiya (45):4; Rum (30):20. Kedua, sistem pembentukan sperma dalam rahim, Ali Imran (3):6; Infithar (82):6-7; Taghabun (64):3; Hasyr (59):24; Nuh ():13-14. Ketiga, sistem epistemologi, Nahl (16):78. Keempat. Sistem perbedaan bahasa dan warna kulit, Rum (30):22; Fathir (35):27-28. Kelima, Sistem distribusi rezeki Ghafir (40):64; Isra (17):70; Jatsiyah (45):5 & 20; Fathir (35):3; Rum (30):4; Saba ():24; Yunus (10):31; Naml (27):64; Mulk (67):21; Anfal (6):26; Baqarah (2):22 & 172; Ibrahim (14):22 dan Dzariyat (51):58. Keenam, sistem tidur, Rum (30):23; Naml (27):86; Furqan (25):47; Naba ():9; Zumar (39):42. Ketujuh, sistem sandang, A’raf (7):26; Nahl (16):14 & 81. Kedelapan, sistem perumahan, Nahl (16):80. Kesembilan, sistem pernikahan, Rum (30:21; Syura (26):11; Fathir (35):11;Najm (53):45; Qiyamah (75):39; Nahl (16):72; Lail (92):3; Naba (78):8 dan A’raf (7):189.
  11. Silahkan lihat juga Nahj al-Balâghah, Khutbah 186; Al-Tauhid, Syaikh Shaduq, bab 2, hadis 2 dan Bihâr al-Anwâr, Allamah Majlisi, jil. 3, hal-hal.61, 82, 130 dan 152.
  12. Metode ini disebut sebagai metode rasional tidak bermakna bahwa yang digunakan dalam metode ini semata-mata akal, melainkan cukup dengan menggunakan premis-premis dan metode-metode rasional.
  13. Makna ini dengan tidak berseberangan dengan keumuman jalan akal. Karena yang dimaksud dengan keumuman di sini adalah keumuman relatif sebagai kebalikan dari “kekhususan.” Artinya metode rasional tidak terkhusus pada seseorang tertentu, melainkan banyak orang yang dapat mendapatkan manfaat dari metode ini.
  14. Metode rasional sangat bermanfaat bagi mereka yang belum mencapai penyaksian batin Tuhan dan penyaksian dengan mata hati. Menyitir Rumi, Jangan datang dengan keadaan buta jika engkau memiliki mata lantaran engkau harus menggunakan tongkat untuk berjalan, tongkat itu adalah argumen dan penalaran Karena engkau tak memiliki penglihatan maka ikutilah para cendekia

Makna Dari Seluruh Gerakan Sholat

Hasil gambar untuk gerakan sholat




Diriwayatkan dari Jabir, Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib as melihat orang sholat, lalu beliau berkata, “Tahukah engkau Ta’wil Sholat?”

Kemudian beliau melanjutkan dengan memberikan rincian sebagai berikut:

1. Saat Takbiratul Ihram:
Maha besar Allah dari disifati, duduk, berdiri, diam, berbadan atau punya anggota tubuh, sakit, berbentuk, pindah, disentuh panca indra.
2. Saat Ruku:
Aku beriman kepada Allah SWT. walau leherku di tebas (menyerah pasrah total, seolah menyodorkan leher kepada Tuhan).
3. Bangun dari Ruku’ (I’tidal):
Dia yg menciptakanku dari ketiadaan.
4. Sujud Awal:
Yakin, dari tanah kami Engkau ciptakan.
5. Bangun dari sujud:
Dan kami dibangkitkan dari tanah.
6. Sujud kedua:
Ke tanah kami akan dikembalikan lagi.
7. Bangun kedua:
Dari tanah lagi kami dibangkitkan.
8. Makna duduk di antara dua sujud:
Saat kaki kanan menginjak yang kiri (atau cara duduk yg berbeda pada detail gerakan menurut aliran yg lain): Ya Allah ! Akan ku tegakkan kebenaran dan kuhancurkan kebatilan.
9. Tasyahhud (membaca syahadat) saat duduk:
Pembaharuan iman dan islam, serta yakin adanya hari Pembangkitan.
T10. ahiyyat:
Pengagungan Allah Swt dan penyucian dari apa yang dikatakan orang dzalim, kafir dan ateis.
11. Salam:
Mengharap Rahmat Allah SWT (menyebar rasa keimanan) hingga selamat dari api neraka.


Lalu Imam Ali as berkata : “Barang siapa yang tidak tahu Ta’wil sholat, dia kurang dalam sholatnya.”



Bihar Al-Anwar, jus 84 hal 254




-- Source : syiahmenurutsyiah.com

Dialog Khalifah Umar Bin Khaththab Dengan Abdullah Bin Abbas Tentang Hak Kekhalifahan

kisah-abdullah-bin-abbas


Diriwayatkan bahwa terjadi dialog antara Umar bin Khaththab dan Ibnu Abbas tentang masalah kekhalifahan. Umar berkata, Ketahuilah, Demi Allah! Sesungguhnya temanmu (Ali bin Abi Thalib) adalah orang yang paling layak menjadi khalifah setelah Rasulullah. Sayangnya, kami mengkhawatirkan dua perkara pada dirinya. Ibnu Abbas bertanya, Apakah kedua perkara tersebut, wahai amirulmukminin?
Umar menjawab, آKekhawatiran pertama tentang umurnya yang masih muda, dan yang kedua kecintaannya kepada keluarga Abdul-Muththalib.
Di sebagian acara, Umar bin Khaththab duduk bersama orang-orang. Salah satunya adalah Abdullah bin Abbas. Umar berkata kepadanya, Tahukah engkau wahai Ibnu Abbas! mengapa orang-orang tidak setuju bila kalian (Bani Hasyim) menjadi khalifah? Ibnu Abbas menjawab, Tidak, wahai amirul-mukminin. Umar melanjutkan, Akan tetapi aku tahu. Ibnu Abbas balik bertanya, Apa itu? Umar menjawab, Quraisy tidak suka kenabian dan kekhalifahan, kedua-duanya berada pada Bani Hasyim.
Untuk itu, Quraisy menyiapkan manusia di sekelilingnya dan umat untuk berpolimik dan kemudian memilih mereka. Akhirnya, kebenaran dan kesuksesan memihak mereka.
Mendengar itu, Ibnu Abbas langsung balik bertanya, Apakah bila aku menjawab amirul-mukminin akan marah kepadaku? Umar menjamin keselamatannya dengan ucapannya, Katakan apa yang kau inginkan!
Ibnu Abbas memulai ucapannya, Ihwal ucapanmu bahwa Quraisy tidak suka kenabian dan kekhalifahan berkumpul pada Bani Hasyim, sesungguhnya Allah berfirman kepada sekelompok manusia, ‘Demikianlah karena mereka benci dengan apa yang diturunkan oleh Allah sehingga amal perbuatan mereka menjadi sirna dan sia-sia.’ Adapun ucapanmu bahwa kami (Quraisy) menyiapkan orang orang di sekeliling kami. Seandainya kami menyiapkan diri untuk menjadi khalifah, itu karena kedekatan kami dengan Nabi. Akan tetapi, itu tidak kami lakukan, karena kami berakhlak dengan akhlak Rasulullah saw yang dipuji oleh Allah Swt, ‘Dan engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang agung.’ Dan Allah berfirman kepada Nabi, ‘Rendahkan hatimu di hadapan orang-orang Mukmin yang mengikutimu.’ Sementara ucapanmu tentang Quraisy bahwa akhirnya mereka memilih khalifah untuknya dan sukses, maka aku ingin menukil ayat yang berbunyi, ‘Dan Tuhanmu menciptakan sesuatu sesuai keinginan-Nya dan memilih buat manusia apa yang terbaik.’ Wahai amirulmukminin! Engkau tahu bahwa Allah telah memilih yang terbaik dari hamba-Nya. Seandainya Quraisy melihat dan memilih sesuai dengan pilihan Allah, mereka baru disebut berhasil dan sukses.
Mendengar penjelasan Ibnu Abbas, untuk sementara Umar bin Khaththab terdiam (karena ucapan Ibnu Abbas membuatnya sangat tidak nyaman) kemudian berkata, Wahai Ibnu Abbas! Terima-kasih atas petunjukmu. Wahai Bani Hasyim! Hati kalian mengingkari kenyataan ini (masalah Quraisy) dengan cara menipu, namun kekhalifahan yang ada di tangan Quraisy tidak akan dilepaskan. Hati kalian tidak menerima karena kebencian yang tidak pernah hilang.
Ibnu Abbas dengan sigap berkata, Sebentar wahai amirul-mukminin! Jangan engkau menyifati hati Bani Hasyim sebagai penipu. Hati Bani Hasyim adalah hati Rasulullah saw yang telah disucikan. Mereka adalah Ahlulbait yang telah diberi jaminan oleh Allah dengan firman-Nya, ‘Sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan kekejian dari diri kalian wahai Ahlulbait dan menyucikan kalian sesuci-sucinya.’
Ibnu Abbas mengimbuhkan, Adapun ihwal kebencian; bagaimana mereka tidak benci bila hak mereka dirampas dan dengan mata kepalanya sendiri melihat hak itu berada di tangan orang lain?
Mendengar ucapan terakhir ini, Umar bin Khaththab langsung naik pitam dan berteriak, meski pada saat itu ada sesuatu yang terjadi tapi disembunyikan, Siapa kau wahai Ibnu Abbas! Aku betul-betul benci mendengar ucapanmu. Sekarang, kuberitahu engkau sesuatu yang dapat membuat martabat dan kehormatanmu hilang dari sisiku.
Ibnu Abbas bertanya, Apa itu wahai amirul-mukminin? Beritahu aku bila itu merupakan kebatilan, maka tugas orang sepertiku adalah menyingkap dan menghilangkannya dari diriku. Bila itu adalah kebenaran, niscaya martabatku tidak akan turun dari sisimu.
Umar bin Khaththab berkata, Aku mendengar kabar bahwa engkau sering mengulang-ulang kata ini, Kekhalifahan telah dirampas dari kami karena kedengkian dan secara zalim.
Ibnu Abbas tidak bergeming dari tempatnya, bahkan dengan penuh keberanian berkata, Betul, karena kedengkian-Kedengkian Iblis terhadap Adam mengakibatkannya dikeluarkan dari surga. Dan betul, secara zalim. Engkau tahu wahai amirul-mukmnin, siapa pemilik sah dari kekhalifahan ini. Wahai amirul-mukminin! Siapa dia? Bukankah Arab berargumentasi terhadap Ajam dengan kedekatan mereka dari Rasulullah saw, dan Quraisy berargumentasi di hadapan seluruh masyarakat Arab dengan kedekatan mereka kepada Rasulullah saw? Kami lebih dekat dengan Rasulullah saw dibandingkan seluruh Quraisy dan Arab lainnya.
Umar bin Khaththab tidak mampu menahan dirinya lagi. Ia berkata, Pergi dari sini, wahai Ibnu Abbas! Saat Umar melihat Ibnu Abbas tengah berdiri untuk menyelamatkan diri karena khawatir Umar berbuat buruk terhadapnya, ia segera berkata lembut kepadanya, Duduk kembali wahai Ibnu Abbas! Aku masih memegang janjiku untuk melindungi hakmu.
Untuk memastikan apakah Umar serius atau tidak dengan ucapannya, Ibnu Abbas menatapnya dan berkata, Wahai amirul-mukminin! Aku memiliki hak atasmu dan seluruh kaum Muslim karena hubungan mereka dengan Rasulullah saw. Siapa yang menjaga hak itu pada dirinya, ia telah menjaganya dengan sebaik-baiknya. Dan siapa yang menghilangkannya, ia telah menghilangkan kewajibannya dari Rasulullah saw. (Ibn Abil Hadid Almutaazili, Syarh Najh Balalaghah)



-- Source : syiahmenurutsyiah.com

Empat Puluh Hadits Tentang Keutamaan Ummu Abiha Sayidah Fatimah Az Zahra AS

images (1)



Berikut ini kami tuliskan empat puluh hadits tentang Ummu Abiha. Hadis-hadis ini datang dari lisan Ummul Mu’minin berdasarkan sumber-sumber kitab dua mazhab besar dalam Islam. Saya terjemahkan dari www.imamreza.net/arb/imamreza.php?id=2907. Semoga memperkuat barisan persatuan Kaum Muslimin.

  • Berkata ‘Aisyah: “Sesungguhnya Nabi Saw jika kembali dari bepergian, beliau akan mencium leher Fathimah dan berkata, ‘darinya aku mencium wewangian surgawi.” (Yanabi’ al-Mawaddah, 2:60, hadits 46, dan halaman 322, hadits 934; Syaikh Sulaiman al-Qanduzi al-Hanafi).

    • Berkata ‘Aisyah: “Nabi Saw banyak sekali mencium Fathimah.” (Al-Jami’ al-Shaghir 2:294, Imam al-Suyuthi al-Syafi’i dan; Al-Fath al-Kabir, 2:368, Al-Nabhani).
    • Diriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa jika Fathimah mendatangi (majelis) Rasulullah Saw, beliau akan berdiri dari tempat duduknya, mencium kepala Fathimah dan (mempersilakan) mendudukan Fathimah di tempat duduk Nabi. Begitu pula bila Nabi Saw datang menemui Fathimah. Fathimah akan berdiri, mencium Nabi dan mempersilakan Nabi di tempat duduknya. (Manaqib Ali abi Thalib, Ibn Syahr Asub 3:113)
    • Berkata ‘Aisyah: “Rasulullah Saw berkata kepadaku, ‘Ya ‘Aisyah, sesungguhnya ketika aku diperjalankan ke langit pada malam isra, malaikat Jibrail as memasukkan aku ke surga. Ia memberikan bagiku satu buah. Aku pun memakannya. Jadilah ia benih dalam sulbiku. Dan ketika aku turun (ke bumi) aku menemui Khadijah sa. Sesungguhnya Fathimah dari buah surgawi itu. Ialah bidadari dalam rupa manusia. Setiap kali aku merindukan surga, aku mencium Fathimah. (Tarikh Baghdad, 5:87, Al-Khatib al-Baghdadi).
    • Diriwayatkan pula dari ‘Aisyah, ketika Nabi Saw menjawab pertanyaannya mengapa ia sering mencium Fathimah, “…sesungguhnya bila aku merindukan wewangian surgawi aku mencium wewangian itu dari Fathimah.  Ya Humaira! Sesungguhnya Fathimah tidak seperti perempuan lainnya.” (Maqtal al-Husain as, 1:63-64, Al-Khawarizmi al-Hanafi).
    • Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata, “’Aisyah menemui Nabi Saw dan ia melihat beliau mencium kening Fathimah. ‘Aisyah bertanya, “Engkau mencintainya ya Rasulallah?” Kemudian Nabi Saw menjawabnya. Di akhir kalimatnya Nabi bersabda, “…Jibrail membawa aku ke surga, dan aku berada di depan sebuah pohon dari cahaya. Aku bertanya kepadanya, “Kekasihku Jibrail, bagi siapakah pohon ini?” Ia menjawab, “Bagi saudaramu, Ali.” Kemudian aku berjalan hingga sebuah pohon kurma, yang sangat lembut, lebih harum dari wewangian misk, lebih manis dari madu. Aku ambil satu dan memakannya. Maka jadilah buah itu dalam sulbiku. Dan ketika aku turun, aku menemui Khadijah. Ia pun mengandungkan Fathimah. Maka, Fathimah adalah bidadari dalam rupa manusia (al-hawra al-insiyyah). Kalau aku merindukan surga, aku mencium harumnya Fathimah. (‘Ilal al-Syara’i, 2:184, bab 147, Syaikh Al-Shaduq).
    • Dari Masruq, dari ‘Aisyah, ia berkata: “Fathimah berjalan kaki. Seakan-akan langkah kakinya seperti langkah kaki Rasulullah Saw.” Shahih al-Muslim, 4:1905, hadits nomor 99).
    • Berkata ‘Aisyah, “Kalau Fathimah berjalan, ia menyerupai Rasulullah Saw.” (Akhbar al-Duwal wa Atsaar al-Uwal, 87, Al-Qirmani).
    • Dari Masruq, dari ‘Aisyah, ia berkata: “Fathimah berjalan kaki. Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia. Tidaklah Fathimah berjalan kecuali seperti Rasulullah Saw. Kalau beliau melihatnya, Nabi Saw akan berkata: ‘Marhaban ya bintii, selamat datang wahai putriku.” Beliau sebut itu dua kali. Kemudian Nabi Saw berkata, “Tidakkah engkau ridha, datang pada hari Kiamat sebagai Sayyidah (penghulu perempuan) kaum Mu’minin, dan perempuan umat ini?” (Amaali al-Thusi, 9:496 bab 12; Bihar al-Anwar, 23:43, hadits nomor 19, Allamah al-Syaikh al-Majlisi).
    • Seperti riwayat di atas, kecuali pada bagian akhirnya Nabi Saw bersabda pada Fathimah, “Sesungguhnya engkaulah Ahlul Baitku yang pertama menyusulku. Sebaik-baiknya kebahagiaan bagiku adalah kedatanganmu.” Fathimah menangis setelah itu kemudian Nabi bersabda tentang Fathimah sebagai penghulu perempuan umat ini dan kaum Mukminin. (Musnad Imam Ahmad bin Hanbal 6:286).
    • Dari ‘Aisyah binti Thalhah dari ‘Aisyah, ia berkata, “Tidaklah aku melihat seseorang yang sangat menyerupai Nabi Saw dalam pembicaraan dalam perkataan selain Fathimah. Dan kalau ia datang menemui Nabi Saw, Nabi Saw akan menyambutnya. Beliau berdiri, mengambil tangan Fathimah dan menciumnya kemudian mendudukannya di tempat duduk Nabi Saw.” (Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, 3:154, al-Hakim al-Nisyaburi al-Syafi’i).
    • Dari Minhal bin ‘Amr, dari ‘Aisyah dalam sebuah hadis yang panjang awalnya, ia berkata, “Tidaklah aku melihat orang yang paling mirip Nabi Saw dari sosok lahiriahnya, dari santun dan pekertinya, dari berdiri dan duduknya selain Fathimah putri Rasulullah Saw.” (al-Jami’ al-Shahih, 5:700, hadits 3872, Al-Turmudzi).
    • Dari ‘Aisyah, “Aku tidak melihat orang yang paling menyerupai Nabi Saw dalam ucap dan tutur kata seperti Fathimah…” (Basyarat al-Mushtafa li Syi’at al-Murtadha li Abi Ja’far Muhammad ibn Ali al-Thabari al-Imami:311)
    • Dari Shafiyyah binti Syaibah, ia berkata, “Berkata ‘Aisyah: satu hari Nabi Saw membawa selimut jubah yang tebal dan besar (mirthun murajjal) lalu datang al-Hasan, dan Nabi memasukkan al-Hasan ke dalam selimut itu bersamanya. Lalu datang al-Husain, dan Nabi menggabungkannya bersamanya. Lalu datang Fathimah, dan Nabi menggabungkannya bersamanya. Lalu datang Ali, dan Nabi menggabungkannya bersamanya. Kemudian Nabi Saw membaca ayat, “Sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan segala nista dari kalian wahai Ahlul Bait dan mensucikan kalian sesuci-sucinya.” (Shahih Muslim, kitab Fadhail Shahabah. Diriwayatkan pula oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak 3:147, menurut Al-Hakim sesuai sanad dua Syaikh Bukhari dan Muslim; Al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra 2:149; Ibn Jarir al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan 22:5; dan Jalaluddin al-Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsur; dan al-Zamakhsyari dalam al-Kasyaaf).
    • Dari ‘Aisyah, Nabi Saw bersabda, “Wahai Fathimah, berbahagialah. Sesungguhnya Allah telah memilihmu di antara perempuan semesta, di antara perempuan Islam, dan Islamlah sebaik-baik agama.” (Manaqib Ali Abi Thalib 3:104-105; Bihar al-Anwar 43:36, hadits nomor 39).
    • Dari ‘Aisyah, ia berkata pada Fathimah, “Maukah kau kuberi kabar gembira? Sungguh aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Sayyidah, penghulu perempuan di surga ada empat: Maryam binti Imran, Fathimah binti Rasulillah, Khadijah binti Khuwailid, dan Asiyah.” (Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, 2:61; Jalaluddin al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, 2:23; al-Ardabily, Kasyf al-Ghummah, 1:45).
    • Bertanya Mu’adz bin Jabal pada ‘Aisyah, “Bagaimana kaulihat Nabi Saw pada saat sakit hingga wafat beliau?” Ia menjawab, “Ya Mu’adz, aku tidak melihatnya pada wafatnya. Tapi di dekatmu ada Fathimah putrinya. Tanyalah dia.” (Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Ishabah 4:360).
    • Dari ‘Aisyah, “Rasulullah Saw meminta Fathimah agar mendekat. Nabi berbisik kepadanya, dan Fathimah menangis. Kemudian Nabi menyampaikan lagi, dan Fathimah tersenyum. Aku bertanya pada Fathimah, ‘apa yang disampaikan Rasulullah Saw hingga kau menangis? Lalu apa yang disampaikannya hingga kau tertawa?’ Fathimah menjawab, “Nabi Saw mengabarkan kepadaku saat wafatnya, maka aku menangis. Kemudian Nabi sampaikan padaku akulah yang pertama menyusulnya. Maka aku tersenyum.” (Shahih Muslim 4:1904 hadits nomor 97)
    • Seperti hadits sebelumnya, dengan penjelasan yang lebih rinci. Tentang pembicaraan ‘Aisyah dengan Fathimah putri al-Husain. (Al-Baihaqi, Dalail al-Nubuwwah 7:165-166).
    • Diriwayatkan oleh al-Bazzar (dalam musnadnya) melalui ‘Aisyah bahwa Nabi Saw berdabda tentang Fathimah, “Ia sebaik-baiknya putriku. Ia diuji karenaku.” (Al-Suhaili, al-Raudh al-Anif 1:280).
    • Dari ‘Aisyah, Nabi Saw berkata pada Fathimah, “Sesungguhnya Jibrail mengabarkan kepadaku bahwa tidak ada perempuan kaum Muslimin yang penderitaannya lebih besar darimu.” (Ibn-Hajar al-Asqalani, Fath al-Baari 8:111).
    • Dari ‘Aisyah, “Aku tidak melihat seorang pun yang lebih utama dari Fathimah kecuali ayahnya.” (Al-Ishabah 4:378, Majma’ al-Zawaaid dari Al-Haitsami al-Syafi’I 9:201, al-Sirah al-Nabawiyyah dari Ibn Hisyam 2:107).
    • Dari ‘Amr bin Dinar, berkata ‘Aisyah, “Aku tidak melihat orang yang lebih shidq (tulus, benar, jujur) dari Fathimah selain ayahnya. “ (Abu Nu’aim al-Isfahani, Hilyat al-Awliya 2:41).
    • Dari Yahya bin ‘Ubadah dari ayahnya dari ‘Aisyah, “Aku tidak melihat orang yang paling tulus tutur katanya dari Fathimah melainkan ayahnya. Tentu saja, karena darinya ia lahir ke dunia.” (Yusuf Abdullah bin Abdullah, yang lebih dikenal dengan Abdul Barr, al-Isti’ab 4:377).
    • Masih dengan nash yang sama, dalam Manaqib Ali Abi Thalib 3:119.
    • Dari Jami’ bin ‘Umair bahwa ‘Aisyah gelisah ketika bibinya bertanya kepadanya (pada hari perang Jamal), “(katakan padaku) dalam Allah…engkau berangkat menghadapi Ali. Apa perkaranya?” ‘Aisyah menjawab, “…sesungguhnya tiada lelaki yang sangat dicintai Rasulullah Saw seperti Ali dan tiada perempuan yang dicintainya melebihi Fathimah.” (Amaali al-Thusi 383, bab 9, hadits 31).
    • Dalam riwayat lain dengan nash yang sama, “Aku tidak melihat laki-laki yang lebih dicintai oleh Rasulullah selain Ali. Dan tidak perempuan kecuali perempuannya (isteri Ali).” (Ibn ‘Asakir al-Syafi’i, Tarikh Dimasyq 2:164).
    • ‘Aisyah ditanya, “Siapakah yang paling dicintai Rasulullah Saw?” Ia menjawab “Fathimah.” Orang bertanya lagi kepadanya, “Dari kaum lelaki?” Ia menjawab, “Suaminya. Sungguh, aku tahu puasanya dan shalatnya.” (Al-Isti’ab 2:751, Al-Shawaiq al-Muhriqah 72).
    • ‘Aisyah berkata, “Aku sedang bersama Nabi Saw lalu aku sebut nama Ali. Nabi Saw bersanda, “Ya ‘Aisyah, tak seorang pun di dunia lebih Allah (dan aku) cintai daripada Ali dan istrinya Fathimah putriku dan kedua putranya Al-Hasan dan Al-Husain. Tahukah kau ya ‘Aisyah apa yang kulihat dari putriku Fathimah dan suaminya?” ‘Aisyah berkata, “aku berkata: kabari aku ya Rasulallah” Nabi Saw bersabda, “Ya ‘Aisyah, sesungguhnya putriku adalah penghulu perempuan di surga. Sesunguhnya suaminya tiada bandingannya dari manusia. Sesungguhnya kedua putranya adalah wewangian surgawiku di dunia dan akhirat. Ya ‘Aisyah, aku dan Fathimah, dan putra pamanku Ali, dan Al-Hasan dan Al-Husain berada disebuah ruangan putih yang dasarnya adalah rahmat Allah Ta’ala, sekitarnya adalah keridhoanNya, dan ia berada di bawah ‘Arasy Allah Ta’ala.” (Ibn Sadzan, Al-Fadhail 169; Al-Kulayni, Al-Kafi 8:156).
    • Dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah, mereka berdua berkata, “Rasulullah Saw memerintahkan kami untuk membantu mempersiapkan Fathimah hingga ia diantarkan ke rumah Ali…sungguh kami tidak melihat pengantin seindah pengantin Fathimah.” (Sunan Ibn Majah 1:616, hadits 1911).
    • Ibn Syahr Asub dalam Manaqib Ali Abi Thalib 3:130 bahwa ‘Aisyah menyenandungkan beberapa bait pada malam pengantin Fathimah.
    • Dari ‘Aisyah, ia berkata sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda, “Fathimah bagian diriku. Siapa saja menyakitinya, ia menyakitiku.” (Al-Hamadani, Mawaddah al-Qurba: 103).
    • Dari ‘Aisyah sesungguhnya Fathimah mengutus seseorang pada Abu Bakar untuk mempertanyakan warisan yang diperolehnya dari Rasulullah Saw yang diperintahkan Allah Ta’ala (sebagai fa`i) dari tanah di Madinah dan Fadak, dan apa yang tersisa dari khumus Khaibar. Abu Bakar menolaknya. Fathimah menolak untuk bicara dengan Abu Bakar hingga wafatnya. Ketika Fathimah meninggal, Ali suaminya mengebumikannya di malam hari dan tidak memberi kabar pada Abu Bakar (tentang wafatnya). (Shahih al-Bukhari 5:177).
    • Dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah bahwa Fathimah dan ‘Abbas keduanya datang pada Abu Bakar meminta warisan Rasulullah Saw. Mereka meminta hak dari Fadak dan Khaibar… Fathimah mendiamkannya dan tidak berbicara dengannya hingga Ali memakamkannya pada malam hari dan Abu Bakar tidak diberitahu. (Tarikh Thabari 3:208; Al-Baihaqi, Sunan al-Kubra 6:300; Al-Sayyid al-Murtadha, Al-Syaafi 3:131).
    • Dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah, dalam kabar yang seperti hadits di atas kecuali di dalamnya ada khutbah Fadakiyyah Fathimah dalam Syarh Nahj al-Balaghah dari Ibn Abi al-Hadid 6:210, 249, dan 252).
    • Dari ‘Aisyah bahwa Ali mengebumikan Fathimah malam hari dan Fathimah tidak mengizinkan Abu Bakar diberitahu. (Al-Shan’ani, Al-Mushannaf 3:251).
    • Berkata ‘Aisyah, “Fathimah hidup enam bulan setelah Rasulullah Saw. Ketika ia wafat, Ali yang menshalatkan dan mengebumikannya.” (Manaqib Ali Abi Thalib 3:173).
    • Dari ‘Aisyah, Rasulullah Saw bersabda, “Kelak di hari kiamat, seorang akan menyeru: Wahai makhluk seluruhnya. Rendahkan kepala kalian, akan berlalu di hadapan kalian, Fathimah putri Rasulullah Saw.” (Al-Hafiz al-Suyuthi al-Syafi’i, Musnad Fathimah halaman 51, hadits nomor 109).
    • Berkata ‘Aisyah, “Berkata Rasulullah Saw: Kelak di hari kiamat, terdengar seruan dari ‘Arasy, ‘Wahai manusia. Tutuplah pandanganmu hingga Fathimah masuk ke surga.” (Musnad Fathimah 48, hadits nomor 91).
    • Dari Utsman bin Basyir ia berkata, “Abu Bakar meminta izin untuk bertemu Rasulullah Saw ketika ia mendengar ‘Aisyah dengan suara tinggi berkata, “Demi Allah, aku sudah tahu Ali dan Fathimah lebih kaucintai dariku dan ayahku!” Ia mengulangnya dua atau tiga kali. Kemudian Abu Bakar menemui Nabi Saw. Ia menghadap ke arah ‘Aisyah dan berkata, “Wahai putri… tidakkah aku dengar engkau meninggikan suara di hadapan Rasulullah Saw?!” (Al-Nasa’i, Khashais Amirul Mu’minin Ali 108).


    Demikianlah hadits-hadits dan riwayat tentang Sayyidah Fathimah salaamullah ‘alaiha. Ia penghulu perempuan di surga. Ia penghulu perempuan kaum Mu’minin. Dan ia penghulu perempuan semesta. Selayaknyalah kita memanggilnya “Sayyidah” sebagaimana ia diberi gelar oleh Nabi Saw. Orang-orang Indonesia kemudian menyederhanakannya menjadi Siti, kependekan dari Sayyidati, junjunganku.




    -- Source : syiahmenurutsyiah.com

    Mengapa Mazhab Syiah Shalatnya Dengan Tangan Terbuka (Tidak Bersedekap) ?

    نماز جماعت شيعيان و اهل تسنن در عراق



    Islam adalah agama suci yang diturunkan Allah pada ummat manusia melalui Nabinya, Muhammad al-Musthafa Saw. Islam adalah agama yang satu, dan selama Nabi Muhammad Saw hidup, semua ajaran dan syari’at yang dibawa Islam masih murni dan tak memungkinkan untuk diutak-utik. Namun semua berubah ketika penjaga utama syari’at Ilahi ini meninggal dunia.

    Syiah Dua Belas Imam mengerjakan shalat mereka dengan tangan terbuka karena mengikuti tata-cara shalat Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As yang merupakan orang terdekat dan paling mengerti tentang kehidupan Rasulullah karena mereka adalah keluarga Rasullah sendiri. Terdapat banyak sekali riwayat-riwayat yang dapat diandalkan yang menukil ihwal tata-cara shalat Nabi Saw semenjak awal hingga akhir dalam tradisi Syi’ah Dua Belas Imam. Yaitu bahwa Rasulullah Saw dan para Imam Maksum menunaikan shalatnya dengan tangan mereka terbuka dan menempelkan kedua tangan tersebut ke pinggang. Ini karena disebutkan bahwa menutup tangan ketika mengerjakan shalat adalah mirip dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang penganut agama lampau di Persia, dan cara ini dilihat ketika terjadi ekspansi ke Persia oleh Khalifah ke-2.

    Lebih dari itu, sejarah menyebutkan bahwa sama sekali tidak terdapat riwayat yang menukil tentang Nabi Saw yang menutup tangan tatkala menunaikan shalat. Bagaimanapun, praktik menutup tangan tatkala shalat merupakan sebuah peristiwa yang  terjadi setelah wafatnya Rasulullah Saw pada masa khalifah kedua. Yang mana atas alasan inilah, orang-orang Sunni mengerjakan shalat mereka dengan tangan tertutup. Inipun tidak semua pengikut Ahlusunnah yang melakukannya, ada sebagian dari Ahlusunah yang tidak mengerjakan demikian, yaitu mereka yg mengikuti Malik Bin Annas atau pengikutnya lebih sering disebut penganut Mazhab Maliki.


    Meletakkan tangan di atas tangan merupakan sebuah cara yang tidak terdapat pada masa Rasulullah Saw. Adapun Rasululah Saw menunaikan shalatnya dengan tangan terbuka.(1) Dan karena Syiah dalam seluruh shalat mengikuti Nabi Saw dan para Imam Maksum As maka mereka mengerjakan shalat mereka dengan cara seperti ini. Sementara menutup tangan tatkala mengerjakan shalat merupakan sebuah bid’ah yang dilakukan setelah wafatnya Rasulullah Saw; artinya bahwa praktik shalat sedemikian tidak terdapat pada masa Rasulullah Saw dan bermula pada masa khalifah kedua. Semenjak masa khalifah kedua, kondisi seperti ini berlaku(2) dan dewasa ini mayoritas Ahlusunnah mengerjakan shalat mereka mengikut kepada tata-cara shalat khalifah kedua.(3) Bukan mengikuti tatacara shalat yang diajarkan oleh Rasulullah saw.

    Dalam sebuah hadis Abi Hamid Sa’idi disebutkan seluruh perbuatan Nabi Saw tatkala menunaikan shalat semenjak takbiratul ihram hingga salam, namun dalam riwayat tersebut tidak disebutkan satu pun hadis tentang praktik menutup tangan dalam shalat Nabi Saw. Abu Hamid Sa’idi menyebutkan bahwa selepas takbir, Rasulullah Saw menurunkan tangannya (lepas terbuka) dan menempelkannya ke dua pinggang beliau.(4) Jika pun disebutkan bahwa bersedekap tangan adalah amalan mustahab, kita sama tahu bahwa Nabi Saw yang mustahil meninggalkan amalan mustahab (dianjurkan) sama sekali tidak menyedekapkan tangannya sewaktu shalat selama masa hidupnya.

    Demikian juga Himad bin ‘Isa meminta Imam Shadiq As untuk mengajarkan tata-cara shalat yang benar dan sempurna kepadanya. Saat itu, Imam Shadiq As berdiri menghadap kiblat dan mengerjakan seluruh amalan mustahab. Setelah beliau melakukan takbiratul ihram dan memulai bacaan shalat dan seterusnya, beliau mengerjakan shalat sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Syiah hari ini, dan akhirnya mengucapkan salam untuk menyudahi shalatnya.[5] Dalam riwayat ini, Imam Shadiq As mengajarkan tata-cara shalat Rasulullah Saw kepada Himad bin Isa dan tidak disebutkan kondisi tangan yang tertutup atau tangan di atas tangan. Dan sekiranya praktik sedemikian merupakan sunnah, maka pastilah Imam Shadiq As menjelaskan masalah tersebut.

    Demikian juga, banyak riwayat yang dinukil dari para Imam Maksum As dan praktik seperti ini tidak boleh dilakukan. Di sini kita akan menyebutkan beberapa riwayat lain untuk menegaskan hal tersebut:

    Diriwayatkan dari Muhammad bin Muslim dari Imam Shadiq As atau Imam Baqir As bersabda: “Aku berkata: Seseorang meletakkan tangannya dalam shalat – dan dikisahkan – tangan kanan di atas tangan kiri? Imam bersabda: “Perbuatan tersebut adalah menutup (al-takfir) dan tidak boleh dilakukan.”[6]
    Diriwayatkan dari Zurarah dari Abi Ja’far sesungguhnya beliau bersabda: “Dan hendaklah tangan kalian terbuka dalam shalatmu dan janganlah engkau menutup (tanganmu) karena orang-orang Majusi melakukan hal tersebut (dalam ibadah mereka).[7]
    Diriwayatkan dari Shaduq dengan menyandarkannya kepada Ali As sesungguhnya beliau bersabda: “Hendaknya kaum muslim tidak menggabungkan tangannya dalam shalatnya sementara ia berdiri di antara tangan Tuhan dan (perbuatan ini) mirip dengan orang kafir yaitu Majusi.[8][iquest]


    Catatan Kaki

    1. Hadis yang berkenaan dengan masalah ini segera akan dijelaskan pada bagian berikutnya.
    2. Bukti dari perkara ini adalah hadis Sahl bin Sa’ad yang diriwayatkan oleh Bukhari: “Dulu orang-orang diperintahkan untuk meletakkan tangan kananya di atas lengan tangan kirinya dalam shalat (Fath al-Bâri fii Syarh Shahîh al-Bukhâri, jil. 2, hal. 224). Sekarang apabila Nabi Saw memerintahkan untuk menutup tangan maka tidak ada maknanya ketika disebutkan (dalam hadis tersebut): “Dulu orang-orang diperintahkan” tapi harus disebutkan: “Dulu Nabi Saw memerintahkan.”
    3. Mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali memandang menutup tangan sebagai sunnah dan mustahab (dianjurkan) akan tetapi tidak dengan Maliki. Al-Fiqh ‘ala al-Madzhâhib al-Khamsah, hal. 110.
    4. Sunan Baihaqî, jil. 2, hal. 72, 73, 101 dan 102; Sunan Abî Daud, jil. 1, hal. 194.
    5. Syaikh Hurr al-Amili, Al-Wasâ’il, jil. 4, bab 1, Min Abwâb Af’âl al-Shalat, hadis pertama.
    6. Syaikh Hurr al-Amili, Al-Wasâ’i, jil. 4, bab 15, Min Abwâb Qawâthi’ al-Shalat, hadis pertama.
    7. Syaikh Hurr al-Amili, Al-Wasâ’il, jil. 4, bab 15, Min Abwâb Qawâthi’ al-Shalat hadis 2, 3, dan 7.
    8. Ja’far Subhani, Fiqh al-Syiah al-Imâmiyah wa Mawâdhi’ al-Khilâf Bainahu wa baina al-Madzhâib al-Arba’, hal. 183.



    -- Source : syiahmenurutsyiah.com

    Dimanakah Allah?

    Lafadz-Allah-Hijau


    Hukum kausalitas (sebab-akibat) merupakan hal yang aksiomatis di alam semesta ini. Dengan hukum ini pula alam semesta tercipta. Hukum ini terdiri dari dua hal; ‘sebab’ dan ‘akibat’. Dalam kajian filsafat disebutkan beberapa kekhususan yang dimiliki oleh hukum ini termasuk bahwa; ‘sebab’ harus ‘ada’ (eksis) terlebih dahulu dari ‘akibat’. Dan, segala kesempurnaan eksistensial ‘akibat’ harus dimiliki oleh ‘sebab’, bahkan ‘sebab’ harus memilikinya dengan bentuk yang lebih sempurna dari apa yang dimiliki oleh ‘akibat’.

    Dalam kajian teologi falsafi telah disebutkan bahwa, mata rantai penciptaan alam harus berakhir pada satu titik dimana tiada lagi esensi lain yang menjadi pencipta titik tersebut. Jika tidak, niscaya akan berakhir pada terjadinya dua kemungkinan; ‘mata rantai penciptaan yang tiada berakhir’ (tasalsul) dan atau ‘perputaran mata rantai penciptaan’ (daur) dimana kedua hal tersebut –dengan berbagai argumen yang telah dijelaskan secara terperinci dalam berbagai buku teologi dan filsafat- dinyatakan sebagai hal yang mustahil terjadi. Titik akhir dari mata rantai penciptaan itulah yang dalam bahasa agama disebut dengan Tuhan, atau dalam agama Islam biasa disebut dengan Allah SWT.

    Allah SWT adalah kausa prima, prima dalam arti yang sesungguhnya. Oleh karenanya, segala atribut kesempurnaan eksistensial makhluk di alam semesta yang merupakan obyek ciptaan-Nya harus pula dimiliki oleh esensi-Nya, bahkan dengan bentuk yang lebih sempurna. Karenanya, semua atribut kesempurnaan Allah SWT selalu didahului dengan kata ‘Maha’. Kata itu (Maha) meniscayakan ketiadaan segala bentuk ‘kekurangan’ pada esensi sejati-Nya. Sekecil apapun kekurangan yang akan disematkan pada Allah SWT maka akan meniscayakan ketidaklayakan-Nya untuk menyandang titel ‘Maha’. Salah satu bentuk kekurangan adalah memiliki ‘sifat-sifat kekurangan’ yang dimiliki oleh hasil ciptaan-Nya (makhluk), termasuk sifat ‘membutuhkan kepada selain-Nya’ dan atau ‘memiliki sifat kekurangan makhluk-Nya’.

    Salah satu hasil ciptaan (makhluk) Allah SWT adalah tempat. Pertanyaan tentang tempat selalu dimulai dengan ‘dimana’. Jika ditanya tentang dimana Allah SWT maka hal itu sama dengan menyatakan bahwa Allah SWT membutuhkan tempat dan atau esensi diri-Nya memerlukan sesuatu yang lain yang bernama ‘tempat’. Padahal tempat adalah salah satu makhluk-Nya. Apakah mungkin Allah SWT Pemilik segala bentuk kesempurnaan dan Yang dijauhkan dari segala bentuk kekurangan lantas memerlukan terhadap selain-Nya, padahal segala sesuatu selain Allah SWT adalah makhluk dan hasil ciptaan-Nya? Dengan kata lain, apakah mungkin Allah SWT memerlukan terhadap makhluk-Nya? Tentu jawabannya adalah, mustahil Allah SWT memerlukan terhadap selain-Nya. Itu kemungkinan pertama.


    Kemungkinan kedua adalah, Allah SWT memiliki sifat kekurangan, persis seperti makhluk-Nya (padahal dalam ayat al-Quran disebutkan bahwa, “Tiada satupun yang menyamai-Nya”). Bagaimana tidak? Sewaktu Allah ada di suatu tempat maka hal itu meniscayakan bahwa Ia seperti makhluk-Nya; perlu terhadap tempat, bisa di tunjuk dalam arti berada di suatu arah tertentu dan dalam waktu yang sama tidak ada di arah lain dimana hal itu memberikan konsekuensi bahwa Allah SWT tersusun dan memiliki anatomi tubuh (jisim), persis keyakinan anthromorpisme Yunani klasik.

    Kemungkinan ketiga adalah, jika Allah SWT bertempat maka hal itu meniscayakan ketidak-aksiomatisan hukum kausalitas yang telah disinggung di atas. Karena bagaimana mungkin Allah SWT harus bertempat sedang tempat adalah hasil ciptaan-Nya yang pastinya ‘ada’ (eksis) pasca keberadaan Allah SWT? Lantas sebelum Allah SWT menciptakan tempat, dimanakah Allah bertempat?

    Oleh karenanya, pertanyaan “Dimanakah Allah?” adalah pertanyaan salah yang tidak perlu terhadap jawaban, bahkan tidak memiliki jawaban sama sekali. Pertanyaan yang salah harus diluruskan terlebih dahulu, bukan dijawab. Karena memaksaan diri untuk memberi jawaban dari pertanyaan yang salah akan mengarah kepada jawaban yang salah pula. Ini pun merupakan salah satu bukti akan keotentikan hukum kausalitas.

    Atas dasar itu, para Imam Ahlul Bayt menjelaskan bahwa ‘tempat’ adalah makhluk Allah SWT yang Allah tidak akan pernah membutuhkan selain-Nya (makhluk). Dalam menjawab pertanyaan “Dimanakah Allah?”, Imam Ahlul Bayt -seperti yang disinyalir dalam kitab tauhid as-Shoduq- mengatakan: “Allah adalah Dzat yang menjadikan dimana sebagai dimana. Lantas apakah mungkin Allah disifati (ditanya tentang) dengan kata dimana?”. Yang benar adalah, Allah tidak menempati sesuatu apapun dan Dia Maha meliputi atas segala sesuatu, sebagaimana yang dinatakan dalam al-Quran dengan ayat “Wa Kaanallahu bikulli Syai’in Muhiith” (Dan Allah melingkupi segala sesuatu. QS an-Nisaa:126). Adapaun ayat-ayat yang menjelaskan bahwa Allah SWT dalam mengatur alam semesta duduk di atas Arsy (singgasana), maka ayat-ayat itu harus ditakwil – spt: singgasana sebagai simbol kekuasaan- sehingga tidak bertentangan dengan ayat “Tiada apapun yang menyamai-Nya” (Laisa Kamistlihi Syai’) dan ayat yang telah disinggung di atas tadi. Jika ayat al-Quran harus ditakwil agar tidak bertentangan dengan ayat lainnya, apalagi hadis-hadis yang menjelaskan tentang hal itu, lebih utama untuk ditakwil. Jika tidak mampu untuk ditakwil maka kita singkirkan jauh-jauh hadis tersebut dari file kita, walaupun hadis tersebut terdapat dalam kitab standart dan pustaka agama kita, karena bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran. (isw)




    -- Source : syiahmenurutsyiah.com

    Menjawab Tuduhan Konyol Syiah Menuhankan dan Menabikan Ali

    Hand indicating at you. Selective focus
    Salah satu tuduhan konyol yang dilemparkan para pensesat dan pengafir Syiah adalah tuduhan bahwa Syiah menganggap Imam Ali sebagai nabi, namun karena Jibril kurang cermat, maka Muhammad yang diberi tugas kenabian.

    Kami sebenarnya merasa terlalu mulia untuk membantah tuduhan bodoh ini. Namun karena itu bukan sekadar isu yang berkembang di kalangan awam, namun merasuki pikiran sebagian orang yang mendeklarasikan diri sebagai ulama, maka dipandang perlu klarifikasi yang tegas, logis dan konstruktif.
    Konsep ketuhanan dalam Syiah lebih radikal dari konsep teologi apa pun dengan ciri khas sebagai berikut:
    1. Tuhan berbeda dengan apa pun. Oleh karena itu, semua ciri khas kemakhlukan termasuk Nabi, Ali dan siapa pun tidak ada pada Tuhan. Jadi, sekedar mengutip isu Syiah menuhankan Ali adalah tindakan bodoh. Kalau pun ada orang yang mengaku Syiah dan menuhankan Ali, maka dia lebih najis dari babi dan anjing. Para ulama Syiah dahulu dan kontemporer sepakat dengan kenajisan mereka. Lihat semua kumpulan fatwa para ulama Syiah di antaranya, karya Imam Khomeini, TahrirAl-Wasîlah, juz 1, h. 107.
    2. Tuhan tidak dapat dipredikasi dengan apa pun. Dengan demi-kian, penyebutan frase menuhankan Ali niscaya invalid menurut logika bahasa.
    3. Orang Syiah rela dianggap berbeda bahkan dikucilkan karena mengikuti Nabi yang memerintahkan untuk menaati Ali. Adalah mustahil menuhankan orang yang diperintahkan untuk ditaati, sedangkan ketaatan kepadanya adalah konsekuensi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
    Lebih jauh lagi, Tuhan merupakan Wujud Mutlak yang Maha Tak Terbatas, oleh karenanya kekuatan akal dengan konsep-konsepnya setiap kali hendak memberikan sifat (dengan konsep-konsep) tidak akan mampu menyifatkan Tuhan dengan sempurna dan yang seharusnya. Karena setiap konsep dari satu sifat berbeda dengan konsep dari sifat lain, maka ia sangat terbatas untuk menyifatkan Zat yang Tak Terbatas. Artinya, kalau kita memberikan sifat kepada-Nya berarti kita telah membandingkan satu sifat dengan yang lain atau antara zat dengan sifat. Ketika kita telah membandingkan Tuhan berarti kita menduakan-Nya, ketika kita menduakan-Nya berarti kita membagi-bagi-Nya, ketika kita membagi-bagi-Nya berarti kita tidak mengenal-Nya, dan seterusnya sebagaimana diuraikan dalam khutbah Imam Ali.(1)
    Kemudian tuduhan bahwa Syiah menabikan Ali lagi-lagi tidak dapat dibenarkan karena Imam Ali sendiri pernah mengaku Nabi.
    Seseorang bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, “Wahai Amirul Mukminin! Apakah Anda seorang nabi?” Jawabnya, ‘Celakalah engkau! Aku hanyalah salah satu hamba Muhammad Saw.’”(2)
    Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa Ali berkata, “Pastilah Anda tahu akan kekerabatan saya yang dekat dan hubungan saya yang khusus dengan Rasulullah Saw. Ketika saya masih kanak-kanak, beliau mengasuh saya. Beliau biasa menekankan saya ke dada beliau dan membaringkan saya di sisi beliau, di tempat tidur beliau, mendekatkan tubuh beliau kepada saya dan membuat saya mencium bau beliau. Beliau biasa mengunyah se-suatu kemudian menyuapi saya dengannya. Beliau tidak mendapatkan kebohongan dalam pembicaraan saya, tak ada pula kelemahan dalam suatu tindakan saya. Sejak waktu penyapihannya, Allah telah menempatkan seorang malaikat yang kuat bersama beliau untuk membawa beliau sepanjang jalan akhlak yang luhur dan perilaku yang baik, siang dan malam, sementara saya biasa mengikuti beliau seperti seekor anak unta mengikuti jejak kaki induknya. Setiap hari beliau menunjukkan kepada saya beberapa dari akhlaknya yang mulia dan memerintahkan saya untuk mengikutinya seperti panji. Setiap tahun beliau pergi menyendiri ke bukit Hira’, yang saya melihat beliau tetapi tak seorang pun lainnya melihat beliau. Di hari-hari itu, Islam hanya ada di rumah Rasulullah Saw dan Khadijah, sementara saya adalah orang ketiga dari keduanya. Saya biasa melihat dan memperhatikan sinar cahaya dari wahyu dan risalah Ilahi, dan menghirup nafas kenabian. Ketika wahyu turun kepada Nabi Allah Saw, saya mendengar bunyi keluhan Iblis.’ Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, keluhan apakah itu?’ dan beliau menjawab, ‘Ini Iblis yang telah kehilangan segala harapan untuk disembah. Ya, ‘Ali, engkau melihat apa yang saya lihat dan engkau mendengar apa yang saya dengar, kecuali bahwa engkau bukan nabi; tetapi engkau adalah seorang wazir dan sesungguhnya engkau pada (jalan) kebajikan dan amir (pemimpin) bagi kaum mukminin.’”(3)
    Dari keterangan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa Imam Ali tidak pernah mengaku sebagai seorang Nabi bahkan Imam Ali hanya menganggap dirinya sebagai salah satu hamba Nabi Muhammad. Selain itu, Nabi sendiri menegaskan bahwa Imam Ali hanyalah seorang wazir dan amir bagi kaum beriman. Bagaimana dengan Syiah Ali? Tentu saja orang-orang yang mengikuti jalan Ahlul Bait menjauhkan dirinya dari menuhankan Ali dan menabikan Ali. Na’udzu billah min dzalik. Jika Imam Ali mengaku sebagai hamba Muhammad, maka para Imam menyifatkan para Syiah Ali dengan beberapa karakteristik sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadis berikut:
    Imam Ali berkata kepada Nauf Bakali, “Tahukah engkau wahai Nauf siapakah Syiahku?” Nauf menjawab, ‘Tidak, demi Allah.’ Lalu Imam Ali menjelaskan, ‘Syiahku adalah orang-orang yang bibirnya kering dan perutnya kosong. Mereka adalah orang-orang yang dikenali dengan kezuhudan di wajahnya. Mereka adalah orang-orang yang banyak beribadah di malam hari dan seperti singa di siang hari.’”(4)
    Imam Muhammad Al-Baqir berkata kepada Jabir bin Abdullah, “Wahai Jabir, tidaklah cukup seseorang mengaku Syiah dengan hanya mencintai kami Ahlul Bait. Demi Allah Syiah kami hanyalah orang-orang yang bertakwa kepada Allah dan mematuhi-Nya. Mereka dikenal karena kerendahhatian, kekhusyukan, menjaga amanat, banyak berzikir kepada Allah, berpuasa, menunaikan salat, berbakti kepada orang tua, memperhatikan tetangga yang fakir dan miskin, berhutang, dan anak-anak yatim. Mereka adalah orang-orang jujur, senang membaca Alquran, dan berkata baik kepada manusia…”(5)
    Imam Ja’far Al-Shadiq berkata, “Jauhilah merendahkan orang lain. Syiah Ali hanyalah orang yang menjaga perut dan kemaluannya, kuat jihadnya, beramal untuk pencipta-Nya, mengharapkan pahala-Nya dan takut kepada siksa-Nya. Maka jika engkau melihat mereka itu, mereka itulah Syiah Ja’far.”(6)
    Imam Ali Al-Ridha berkata, “Syiah kami hanyalah orang-orang yang sesuai antara perkataan dan perbuatannya.”(7)
    Imam Ja’far Al-Shadiq pernah bertanya kepada seorang laki-laki tentang orang-orang yang dia tinggalkan di kotanya (yang dianggap sebagai pengikut Syiah), lalu laki-laki itu menjawab dengan san-jungan yang baik, penyucian dan pujian. Lalu Imam Ja’far bertanya, “Bagaimana kunjungan orang-orang kaya mereka kepada orang-orang miskinnya?” dijawab laki-laki itu, ‘Jarang sekali.’ Lalu Imam Ja’far bertanya lagi, ‘Bagaimana kehadiran orang-orang kaya mereka di tengah- tengah orang miskinnya?’ dijawab, ‘Jarang sekali.’ Selanjutnya Imam Ja’far bertanya lagi, ‘Bagaimana pemberian orang-orang kaya mereka kepada orang-orang miskinnya?’ Laki-laki itu kemudian menjawab, ‘Anda telah menyebutkan perilaku yang jarang kami lakukan.’ Maka Imam Ja’far berkata, ‘Kalau begitu, bagaimana bisa kamu mengatakan bahwa mereka adalah Syiah kami?’”(8)
    Imam Ja’far Al-Shadiq berkata, “Wahai seluruh pengikut Syiah, jadilah kalian sebagai penghias bagi kami. Janganlah kalian memberikan aib kepada kami. Berbicaralah kepada orang lain dengan perkataan yang baik. Jagalah lidah kalian, hindarkanlah dari mencampuri urusan orang lain dan cegahlah dari perkataan yang buruk.”(9)
    Imam Ja’far Al-Shadiq berkata, “Syiah kami adalah orang-orang yang selalu berzikir kepada Allah di kala sendiri.”(10)
    Imam Ja’far Al-Shadiq berkata, “Tidak termasuk Syiah kami yang tidak mendirikan salat malam.”(11)
    Imam Ja’far Al-Shadiq berkata, “Syiah itu ada tiga macam; yang mencintai dan bersahabat dengan kami, mereka adalah golongan kami; yang menampakkan kebaikan kami, dan tentu saja kami berlaku baik kepada mereka yang menampakkan kebaikan kami; dan yang mencari makan kepada orang lain dengan mengatasnamakan kami, dan sesiapa yang mencari makan de-ngan mengatasnamakan kami, dia akan menjadi miskin.”(12)

    Dari penjelasan di atas sungguh sulit menganggap bahwa Syiah Ali adalah orang-orang yang menuhankan Ali dan menganggapnya sebagai seorang Nabi. Apalagi dengan kriteria dan karakteristik yang sulit untuk menjadi seorang Syiah Ali.



    *catatan kaki
    1. Ibnu Abi Al-Hadid, Syarh Nahj Al-Balâghah, juz 1, Khutbah 1, h. 35 dan 45, cet. 1, Dar Al-Amira, Beirut, Lebanon, 2007 M (1428 H). Selain khutbah tersebut, Imam Ali banyak memuji Allah dalam khutbah-khutbahnya, di antaranya Khutbah 49, 54, 82, 89, 94, 108 dan sebagainya.)
    2. Al-Kulaini, Ushûl Al-Kâfî, Kitab Al-Tauhid, Bab Al-Kaun wa Al Makan, juz 1, h. 145, hadis 5, cet. 2, Dar Al-Ta’aruf, Beirut, Lebanon, 2009 M (1430 H).
    3. Nahj Al-Balâghah, Khutbah 192 (Khutbah Qâshi’ah)
    4. Bihâr Al-Anwar, juz 78, hadis 95.
    5. Al-Kulaini, Ushûl Al-Kâfî, juz 2, h. 79-80, bab Taat dan Takwa, hadis 3.
    6. Al-Kulaini, Ushûl Al-Kâfî, juz 2, h. 234, bab iman, alamat dan sifat-sifatnya, hadis 9.
    7. Al-Kulaini, Ushûl Al-Kâfî, juz 8, h. 228, hadis Jakjuj Makjuj, hadis 290.
    8. Al-Kulaini, Ushûl Al-Kâfî, juz 2, h. 179, kitab Al-Iman dan Al-Kufr, bab Haq Mukmin atas Saudaranya, hadis 10.
    9. Syaikh Al-Shaduq, آmâlî Al-Shadûq, h. 292, Majelis 62, hadis 17, Muassasah Al-A’lami, Beirut, Lebanon, cet. 1, 2009 M (1430).
    10. Syaikh Al-Hurr Al-Amili, Wasâil Al-Syî’ah, juz 3, h. 81, hadis 8998, cet. 1, Al-Amira, Beirut, Lebanon, 2010 M (1431 H).
    11. Ibid., hadis 10312.
    12. Al-Fattal Al-Naisaburi,Rawdhah Al-Wâi’zhin, h. 293, Syarif Al-Radhi, Qum, Iran

    Khotbah Imam Ali Zainal Abidin Di Istana Yazid Bin Muawiyah

    imam sajjad



    Khutbah Imam Sajjad as di hadapan Yazid setelah peristiwa yang menimpa keluarga Nabi SAW di Karbala

    وَقَالَ الامام علي زين العابدين (ع): اَيُّهَا النَّاسُ أُحَذِّرُكُمْ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

    Imam Ali Zainal Abidin as berpidato ” Wahai manusia aku ingatkan kalian akan dunia beserta isinya

    فَإِنَّهَا دَارَ الزَّوَالِ وَالإِنْتِقَالِ
    Sesungguhnya dunia adalah negeri yang akan hilang dan akan berpindah

    تَنْتَقِلُ بِأَهْلِهَا مِنْ حَالٍ إِلَي حَالٍ
    Penghuninya akan pindah dari satu negeri menuju negeri yang lain

    قَدْ أَفْنَتِ الْقُرُوْنَ الْخَالِيَةَ وَالأُمَمَ الْمَاضِيَةَ
    Sungguh dunia telah memusnahkan abad-abad yang lampau serta umat-umat terdahulu

    اَلّذِيْنَ كَانُوا أَطْوَلَ مِنْكُمْ اَعْمَارًا وَاَكْثَرَ آثَارًا
    mereka memiliki umur yang lebih panjang dari kalian dan lebih banyak (harta) peninggalannya

    اَفْنَتْهُمْ اَيْديْ الزَّمَانَ وَاحْتَوتْ عَلَيْهِمُ الأفَاعِي وَالدَّيْدَانُ
    zaman telah membuat mereka punah lalu memenuhi mereka dengan ular dan ulat

    اَفْنَتْهُمُ الدُّنْيَا قَكَأَنَّهُمْ مَاكَانُوا لَهَا اَهْلاً وَلاَ سُكَّانًا
    dunia telah membuat mereka punah seolah-olah mereka tidak pernah menjadi keluarga maupun penghuninya

    قَدْ اَكَلَ التُّرَابَ لُحُومَهُمْ وَاَزَالَ محَاسِنَهُمْ
    tanah telah memakan mereka dan menghilangkan keindahannya

    وَبَدَّدَ أَوْصَالَهُمْ وَشَمَائِلَهُمْ وَغَيَّرَ اَلْوَانَهُمْ وَطَحَنَتْهُمْ أَيْدِيْ الزَّمَان
    mencerai beraikan sendi-sendi dan watak mereka, dan merubah
    warna mereka, zaman telah melumat habis mereka

    أَفَتَطْمَعُونَ بَعْدَهُمْ بِالْبَفَاءِ.. هَيْهَاتَ.. هَيْهَاتَ
    apakah kalian akan tenang dengan kekekalan kalian setelah apa yang terjadi pada mereka ……sungguh teramat jauh …

    لاَبُدَّلَكُمْ مِنَ اللُّحُوْقِ بِهِمْ
    kelak kalian pasti akan menyusul mereka

    فَتَدَارَكُوا مَا بَقِيَ مِنْ اَعْمَارِكُمْ بِصَالِحِ الأَعْمَا لِ
    perbaikilah sisa umur kalian dengan amal perbuatan yang baik

    وَكَأَنَّيْ بِكُمْ وَقَدْ نُقِلْتُمْ مِنْ قُصُوْرِكُمْ اِلَي قُبُوْرِكُمْ
    seolah-olah aku melihat kalian telah dipindahkan dari istana-istana kalian menuju kubur-kubur kalian

    فَارِقِيْنَ غَيْرَ مَسْرُوْرِيْنَ
    dalam keadaan takut dan tidak menyenangkan

    وَكَمْ وَاللهِ مِنْ قَرِيْحٍ قَدِ اسْتَكْمَلَتْ عَلَيْهِ الْخَسَارَاتِ
    Demi Allah berapa banyak dari luka yang semakin bertambah parah

    حَيْثُ لاَيُقَالُ نَادِم وَلاَيُغَاثُ ظَالِم
    dimana penyesalan tidak berguna dan yang zalim tidak mendapat pertolongan

    قَد وَجَدُوْا مَا اَسْلَفُوا وَاُحْضِرُوا مَا تَزَوَّدُوْا
    mereka telah mendapatkan apa yang mereka perbuat dan telah dihadirkan bekal-bekal mereka ( selama didunia )

    وَوَجَدُوْا مَا عَمِلُوْا حَاضِرًا وَلاَيَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
    dan mereka telah mendapatkan apa-apa yang mereka kerjakan hadir dihadapannya dan Tuhanmu sekali-kali tidak berbuat zalim kepada siapa pun

    وَهُمْ فِيْ مَنَازِلِ الْبَلْوَي هُمُوْد
    dan mereka kesepian di tempat yang penuh dengan kesulitan

    وَفِي عَسَاكرِي الْمَوْتَي خُمُود
    dan merasa sunyi di perkemahan orang-orang mati

    يَنْتَظِرُوْنَ صَيْحَةَ الْقِيَامَةِ وَحُلُوْلَ يَوْمَ الطَّامَّةِ
    menunggu datangnya teriakan hari kiamat dan tibanya hari yang penuh musibah

    لِيَجْزِيَ الَّذِيْنَ أَسَاؤُوْا بِمَا عَمِلُوا
    untuk kemudian Dia membalas siapa yang berbuat buruk

    وَيَجْزِيَ الَّذِيْنَ اَحْسَنُوا بِالْحُسْنَي
    dan memberikan pahala kepada yang berbuat baik

    ثُمَّ قَالَ : اَيُّهَا النَّاسُ اُعْطِيْنَا سِتًا وَفُضِّلْنَا بِسَبْعٍ،
    kemudian beliau(as) melanjutkan “Wahai manusia Allah telah memberikan kami enam
    karunia dan telah mengutamakan kami dengan tujuh keutamaan

    اُعْطِيْنَا : اَلْعِلْمَ وَالْحِلْمَ وَالسَّمَاحَةَ وَالْفَصَاحَةَ وَالشَّجَاعَةَ
    Kami telah diberikan karunia pengetahuan, ketabahan, kemurahan hati, kebesaran hati,
    Kefasihan, keberanian

    وَالْمَحَبَّةَ فِيْ قُلُوبِ الْمُؤْمِنِيْنَ
    dan cinta di hati orang-orang yang beriman

    وَفُضِّلْنَا بِأَنَّا مِنَّا النَّبِيُّ المُخْتَارُ وَمِنَّا الصِّدِّيْقُ وَمِنَّا الطَّيَّار
    dan kami diberi keutamaan bahwa dari kamilah Nabi terpilih (Muhammad saw), dan
    dari kami as-Shiddiq (Ali) dan dari kami at-Thayyar (Ja’far)

    وَمِنَّا أَسَدُ اللهِ وَأَسَدُ رَسُوْلِهِ
    Dan dari kami singa Allah dan Rasul-Nya (Hamzah)

    وَمِنَّا سِبْطَا هَذِهِ الأَمَّةِ وَمِنَّا مَهْدِيُّ هَذِهِ الأَمَّةُ
    Dan dari kami dua cucu umat ini (al-Hasan dan al-Husain) dan dari kami kelak al –Mahdi

    مَنْ عَرَفَنِي فَقَدْ عَرَفَنِي وَمَنْ لَمْ يَعْرِفْنِي أَنْبَأْتُهُ بِحَسَبِيْ وَنَسَبِيْ
    siapa saja yang pernah mengenalku-telah mengenalku.Bagi mereka yang belum
    mengenalku aku akan mengenalkan diri dengan menyebut keluarga dan nasabku

    أَيُّهَا النَّا سُ ‘ أَنَا ابْنُ مَكَّةَ وَمِنَى‘
    “Wahai manusia, akulah Putra Mekkah dan Mina (Rasulullah saw)

    أَنَا ابْنُ زَمْزَمَ وَالصَّفَى‘
    akulah Putra Zamzam dan Sofa (Rasulullah saw)

    أَنَا ابْنُ مَنْ حَمَلَ الزَّكَاةَ بِاَطْرَافِ الرِّدَى
    akulah putra seorang yang setelah mengangkat Hajar al-Aswad dengan ujung jubahnya (Rasulullah saw)

    أَنَا ابْنُ خَيْرِ مَنِ اتَّزَرَ وَارْتَدَى
    akulah putra dari orang yang paling baik dalam berbusana dan bersurban
    (Rasulullah saw)

    أَنَا ابْنُ خَيْرِ مَنٍ انْتَعَلَ وَاحْتَفَي
    akulah Putra dari orang yang paling baik bersandal dan bertelanjang kaki
    (Rasulullah saw)

    أَنَا ابْنُ خَيْرِ مَنْ طَافَ وَسَعَي
    akulah putra dari orang yang paling baik melakukan Thawaf dan Sa’I (Rasulullah saw)

    أَنَا ابْنُ خَيْرِ مَنْ حَجَّ وَلَبَّى
    akulah putra dari orang yang paling baik dalam mengerjakan Haji dan ber-Talbiah (Rasulullah saw)

    أَنَا ابْنُ مَنْ حُمِلَ عَلَيَّ البُرَاقِ فِي الهَوَاءِ
    akulah Putra dari orang yang dinaikkan dengan Buraq di angkasa (Rasulullah saw)

    أَنَا ابْنُ مَنْ اُسْرِيَ بِهِ مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلى الْمَسْجِدِ الأَقْصَي ‘
    akulah Putra dari yang telah diperjalankan dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsa (Rasulullah saw)

    أَنَا ابْنُ مَنْ بَلَغَ بِهِ جِبْرَائِيْلَ اِلَى سِدْرَةِ الْمُنْتَهَي
    akulah putra seorang yang telah di bawa oleh Jibril ke Sidrah al-Muntaha
    (Rasulullah saw)

    أَنَا ابْنُ مَنْ دَنَي فَتَدَلَّي فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ اَدْنَي‘
    akulah putra seorang yang telah mencapai batas terdekat keberadaan Tuhan-Nya (Rasulullah saw)

    أَنَا ابْنُ مَنْ صَلَّي بِمَلاَئِكَتِهِ السَّمَاءِ مَثْنًا مَثْنًا‘
    akulah Putra dari seorang yang para Malaikat dilangit berselawat untuk-Nya
    (Rasulullah saw)

    أَنَا ابْنُ مَنْ اَوْحَي اِلَيْهِ الجَلِيْلُ مَا اَوْحَي
    akulah Putra dari seorang yang Allah telah menurunkan wahyu atasnya

    اَنَا ابْنُ مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَي‘ اَنَا ابْنُ عَلِيِّ الْمُرْ تَضَي
    akulah Putra Muhammad al-Mustafa dan Ali al-Murtadha

    اَنَا ابْنُ مَنْ ضَرَبَ خَرَاطِيْمَ الْخَلْقِ حَتَّي قَالُوا لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله
    akulah Putra dari seorang yang memukul batang hidung (yang kafir) sampai mereka mengucapkan Tiada Tuhan Selain Allah (imam Ali)

    اَنَا ابْنُ مَنْ ضَرَبَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ بِسَيْفَيْنِ
    Akulah Putra dari seorang yang berperang di samping Nabi dengan dua pedang (imam Ali)

    وَطَعَنَ بِرُمْحَيْنِ وَهَاجَرَ الْهِجْرَتَيْنِ وَبَايَعَ الْبَيْعَتَيْنِ
    yang menikam dengan dua tombak, yang berhijrah dua kali dan yang mengambil
    sumpah kesetiaan (baiat) dua kali (imam Ali)

    وَقَاتَلَ بِبَدْرٍ وَحُنَيْنِ وَلَمْ يَكْفُرْ بِاللهِ طَرْفَةً عَيْنِ
    yang turut berperang pada waktu perang Badr dan Hunain,dan tidak pernah kafir kepada Allah walaupun sekejap mata (imam Ali)

    أَنَا ابْنُ صَالِحِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَوَارِثِ النَّبِيّيْنَ
    akulah Putra seorang saleh yang mukmin dan putra pelanjut para Nabi (imam Ali)

    وَقَامِعِ الْمُلْحِدِيْنَ وَيَعْسُوبِ الْمُسْلِمِيْنَ
    Penghancur berhala dan lebah jantan kaum muslimin (imam Ali)

    وَنُوْرِالْمُجَاهِديْنَ ‘ وَتَاجِ الْبُكَّائِيْنَ
    cahaya para Mujahidin, hiasan bagi para orang yang menangis ( karena takut kepada Allah ) (imam Ali)

    وَزَيْنِ الْعَابِدِيْنَ وَاَصْبَرِ الصَّابِرِيْنَ
    yang paling tekun ibadahnya dan orang yang paling sabar di antara orang-orang yang sabar (imam Ali)

    وَاَفْضَلِ الْقَائِميْنَ مِنْ آلِ طَهَ وَيَاسِيْنَ رَسُولِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ‘
    Yang paling utama dalam shalatnya dari keluarga Thaha dan Yasin Rasul Tuhan seluruh alam

    أَنَا ابْنُ الْمُؤَيَّدِ بِجِبْرَائِيْلَ ‘ اَلْمَنْصُوْرِ بِمِكَائِيْلَ
    akulah putra dari seorang yang di dukung oleh Jibril dan dibantu oleh Mikail (imam Ali)

    أَنَا ابْنُ الْمُحَامِيْ عَنْ حُرَمِ الْمُسْلِمِيْنَ
    Akulah Putra orang yang membela kehormatan Islam (imam Ali)

    وَقَاتِلِ الْمَارِقِيْنَ وَالنَّاكِثِيْنَ وَالْقَاسِطِيْنَ
    Dan yang memerangi Al-Mariqun (pasukan jamal),an Nakitsun (Mu’awiyah), dan al-Qasithun (Khawarij) (imam Ali)

    وَالْمُجَاهِدِ اَعْدَاءَهُ الْغَاصِبِيْن ‘َ
    Dan yang memerangi musuh-musuhnya para perampas hak (imam Ali)

    وَاَفْخَرِ مَنْ مَشَى مِنْ قُرَيْشٍ أَجْمَعِيْنَ
    Dan yang paling mulia dari seluruh keturunan Quraisy (imam Ali)

    وَاَوَّلِ مَنْ اَجَابَ وَاسْتَجَابَ لِلَّهِ وَلِرَسُوْلِهِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
    Dan yang pertama dari kaum mukminin yang menjawab panggilan Allah dan Rasulnya (imam Ali)

    وَاَوَّلِ السَّابِقِيْنَ وَقَاصِمِ الْمُعْتَدِيْنَ وَمُبِيْدِ الْمُشْركِيْنَ
    Dan yang pertama masuk Islam dan yang merobohkan musuh-musuh Allah serta menghancurkan kaum musyrikin (imam Ali)

    وَسَهْمٍ مِنْ مَرَامِيْ اللهِ عَلَى الْمُنَافِقِيْنَ
    dan panah Allah yang diarahkan kepada kaum munafik (imam Ali)

    وَلِسَانِ حِكْمَةِ الْعَابِدِيْنَ
    lisan hikmah kaum ahli ibadah

    وَنَاصِرِ دِيْنِ اللهِ ‘ وَوَلِيِّ اَمْرِاللهِ
    penolong agamaAllah dan pengemban perintah-Nya (imam Ali)

    وَبُسْتَانِ حِكْمَةِ اللهِ وَعَيْبَةِ عِلْمِه ‘ِ
    taman kebijaksanaan dan pembawa pengetahuan Allah (imam Ali)

    سَمِحٌ سَخِيٌّ بَهِيٌّ بُهْلُوْلٌ زَكِيٌ
    berani , penuh kasih sayang , baik sifatnya , ceria , cerdas (imam Ali)

    أَبْطَحِيٌّ رَضِيٍّ مِقْدَامٌ هُمَامٌ
    singa, yang selalu ridha, pemberani (imam Ali)

    صَابِرٌ صَوَّامٌ مُهَذَّبٌ قَوَّامٌ
    sabar, selalu melaksanakan puasa, suci dari segala dosa, melalukan banyak salat (imam Ali)

    قَاطِعُ الأَصْلاَبِ وَمُفَرِّقُ الأّحْزَابِ ‘
    memotong tali keturunan (musuh Allah) dan mencerai-beraikan kelompok musuhnya (imam Ali)

    وَارِثُ الْمَشْعَرَيْنِ وَاَبُوْ السِبْطَيْنِ ‘ الحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ ‘
    Pewaris dua Mash’ar (Arafah dan Muzdalifah), ayah dari al-Hasan dan al-Husain

    ذَاكَ جَدِّي عَلِيٌّ بْنُ اَبِيْ طَالِبْ
    itulah kakekku ‘Ali Ibn Abi Thalib

    ثُمّ َ قَالَ : اَنَا ابْنُ فَاطِمَةِ الزَّهْرَاء اَنَا ابْنُ سَيِّدَةِ النِّسَاء
    Kemudian dia melanjutkan, akulah putra Fatimah az-Zahra penghulu kaum wanita

    اَنَا ابْنُ خَدِيْجَةِ الْكُبْرى
    akulah putra Khadijah al-Kubra

    اَنَا ابْنُ الْمَقْتُولِ الظُّلْمَةِ
    akulah putra dari orang yang terbunuh secara Zalim

    اَنَا ابْنُ مَذْبُوْح الرَّأْسِ مِنَ القَفَاء
    akulah putra yang kepalanya terpenggal dari tengkuknya

    اَنَا ابْنُ العَطْشَانَهْ حَتَّى الْقَوَاء
    akulah putra seorang yang dahaga hingga mati

    اَنَا ابْنُ طَرِيْحِ كَرْبَلاَء
    akulah putra seseorang yang terkapar di padang Karbala

    اَنَا بْنُ مَسْلُوْبِ الْعِمَامَةِ وَالرِّدَاء
    akulah putra yang terampas surban dan jubahnya

    اَنَا ابْنُ مَنْ بَكَتْ عَلَيْهِ مَلاَئِكَةُ السَّمَاء
    akulah putra orang malaikat langit menangisi (kematiannya)

    اَنَا ابْنُ مَنْ نَاحَتْ عَلَيْهِ الْجِنُّ فِي الأَرْضِ وَالطَّيْرِ فِي الْهَواء
    akulah putra orang yang golongan Jin dan burung-burung meratapi (kematiannya)

    اَنَا ابْنُ مَنْ رَأْسُهُ عَلَى السَّنَانِ يُهْدَى
    akulah putra kepala yang ditancapkan pada ujung tombak untuk dihadiahkan

    اَنَا ابْنُ مَنْ حُرَمُهُ مِنَ الْعِرَاقِ اِلَى الشَّامِ تُسْبَى
    akulah putra dari orang yang wanita-wanitanya dibawa dari Iraq hingga ke Syam sebagai tawanan

    فَلَمْ يَزَلْ يَقُولُ : أَنَا.. أَنَا ‘ حَتَّى ضَجَّ النَّاسُ بِالْبُكَاءِ وَالنَّحِيْبِ ‘
    Dan beliau terus meneruskan Khotbahnya….sampai kerumunan masa di sekitarnya menangis dan meratap

    وَخَشِيَ يَزِيْدُ اَنْ تَكُوْنَ الْفِتْنَةُ فَأَمَرَ الْمُؤَذِّنُ فَقَطَعَ عَلَيْهِ الْكَلاَمِ
    Yazid pun merasa takut akan terjadi fitnah maka ia memerintahkan muadzin untuk memotong khutbah (beliau as) dengan azan

    فَلَمَّا قَالَ الْمُؤَذِّنُ..” اللهُ اَكْبَرُ.. !”
    Ketika muadzin mengumandangkan azan..”Allahu Akbar…!”

    قَالَ عَلِيُّ ابْنُ الْحُسَيْن: لاَ شَيْءَ اَكْبَرُ مِنَ اللهِ كَبَّرْتَ كَبِيْرًا لاَ يُقَاس ‘
    Berkata Ali bin Husain (as) :”Tidak ada yang lebih besar dari Allah

    فَلَمَّا قَالَ الْمُؤَذِّنُ..” أَشْهَدُ أَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ..!”
    Ketika muadzin sampai pada kalimat “Asyhadu alla ilaha ilallah….!”

    قَالَ عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنُ : شَهِدَ بِهَا شَعْرِيْ وَبَشَرِيْ وَعَظَمِيْ وَلَحْمِيْ وَدَمِيْ ‘
    Berkata Ali bin Husain (as):”Rambutku,kulitku,tulangku,dagingku,serta darahku
    turut bersaksi ke-Esaan-Nya

    فَلَمَّا قَالَ الْمُؤَذِّنُ..” أَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ..!”
    Ketika muadzin sampai pada kalimat ” Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah..”!

    اِلْتَلَفَتَ مِنْ فَوْقِ الْمِنْبَرِ اِلَى يَزِيْدِ وَقَالَ :
    “مُحَمَّدٌ هَذَا جَدِّيْ اَمْ جَدُّكَ يَا يَزِبْدُ
    Dari atas mimbar beliau(as) menoleh kea rah Yazid seraya berkata:” Wahai Yazid,Muhammad itu kakekku atau kakekmu?

    فَأِنْ زَعَمْتَ أَنَّهُ جَدُّكَ فَقَدْ كَذِبْتَ وَكَفَرْتَ
    Jika engkau mengaku bahwa dia (Muhammad saw) adalah kakekmu maka engkau telah berdusta dan menjadi kafir

    وَاِنْ قُلْتَ اِنَّهُ جَدِّيْ فَبِمَا قَتَلْتَ عِتْرَتَهُ ؟
    Dan jika engkau mengakuinya sebagai kakekku, lalu mengapa engkau bantai keluarganya?”

    فَنَزَلَ زَيْنُ الْعَابِدِيْنَ مِنَ الْمِنْبَرِ‘
    …… Kemudian Zain al-Abidin (as) turun dari mimbar

    وَقَدْ تَفَرَّقَ مَنْ كَانَ فِيْ الْمَسْجِدِ وَالتَّقُوْا حَوْلَ الإِمَامِ زَيْنَ الْعَابِدِيْنَ
    Kerumunan masa didalam mesjid berhamburan dan mendekat kearah Imam Zainal al-Abidin (as)

    وَلَمَّا خَشِيَ يَزِيْدُ الْفِتْنَةَ وَانْقِلاَبَ الأَمْرِ
    Ketika Yazid takut peristiwa ini akan menjadi fitnah dan hilangnya dukungan
    untuknya

    عَجَّلَ بِإِخْرَاجِ الإِمَامِ زَيْنَ الْعَابِدِيْنَ
    Maka Yazid pun mempercepat jadwal pemulangan Imam beserta keluarganya

    مِنَ الشَّامِ اِلَى وَطَنِهِمْ وَمَقَرِّهِمْ وَمَكَّنَهُمْ مِمَّا يُرِيْدُوْنَ
    Dari Syam menuju kampung halaman dan menempatkan mereka sesuai yang diinginkan mereka

    وَاَمَرَ نُعْمَانَ بِنْ بَشِيْرِ وَالْجَمَاعَةِ يَسِيْرُ مَعَهُمْ اِلَى الْمَدِيْنَةِ
    Dan menugasi Nu’man bin Basyir serta sekelompok yang lain untuk membawanya ke Madinah

    وَلَمَّا عَرَفَ زَيْنُ الْعَابِدِيْنَ الْمُوَافَقَةَ مِنْ يَزِيْدِ
    Dan ketika Imam a.s mengetahui adanya izin dari Yazid

    طَلَبَ مِنْهُ الرُّؤُوْسَ كُلِّهَا لِيَدْفُنْهَا فِيْ مَحَلِّهَا
    Beliau (as) meminta seluruh kepala untuk dibawa dan dikuburkan pada tempatnya

    فَلَمْ يَتَبَاعَدْ يَزِيْدُ عَنْ رَغْبَتِهِ
    Dan Yazid tidak menolak permintaan tersebut

    فَدَفَعَ اِلَيْهِ رَأْسَ الْحُسَيْن مَعَ رُؤُوْسِ أَهْلِ بَيْتِهِ وَصَحْبِهِ فَأَلْحَقَهَا بِالأَبْدَانِ

    Lalu memberikan kepala suci al-Husain (as) beserta kepala keluarganya dan sahabatnya yang lain kemudian menyatukan dengan badannya




    -- Source : syiahmenurutsyiah.com