Siapakah Fatimah RA?
Ayahnya adalah makhluk Allah SWT yang terbaik, Muhammad bin Abdullah. Ibunya adalah Ummul Mukminin, Khadijah binti Khuwailid; salah satu dari empat wanita penghulu surga. Suaminya adalah Ali bin Abi Thalib ra; salah satu dari sepuluh orang Amirul Mukminin yang dijanjikan masuk surga. Dua putranya adalah pemuka pemuda-pemudi surga yakni Hasan ra dan Husain ra. Pamannya adalah pemuka para syuhada bergelar singa Allah dan Rasul-Nya; Hamzah bin Abdul Muttalib ra. Fatimah bergelar az Zahra sebab wajahnya senantiasa cerah lir sekuntum bunga. Kunyah-nya adalah Ummu Abiha sebab ia begitu mirip dengan sang ayah; Rasulullah SAW.
Terlahir di tengah masyarakat jahiliyah yang malu dengan kelahiran anak perempuan, Rasulullah begitu gembira menerima putrinya. Madrasahnya di rumah kenabian. Ia berguru langsung pada Sang Murabbi sepanjang zaman. Fatimah menjelma seorang muslimah yang taat pada Tuhan-Nya. Ketika bundanya tiada, ia menggantikan peran sebagai penyokong habis-habisan dakwah sang ayah.
Pernikahan Fatimah RA dengan Ali bin Abi Thalib RA
Menginjak usia 15 tahun, Fatimah menikah dengan Ali bin Abi Thalib setelah sebelumnya lamaran Abu Bakar dan Umar untuknya ditolak oleh sang ayah. Bersama Ali, Fatimah turut menjalani hidup dalam kemiskinan, kelaparan, keletihan, dan derita kehidupan. Bahkan mahar tak seberapa dari Ali, ia hadiahkan kembali padanya. Fatimah rela tinggal di rumah suaminya yang tak memiliki perabot. Hanya terdapat kulit biri-biri sebagai alas tidur, bantal berisi sabut tamar, penggiling gandum, ayakan, dan sekantung susu. Letaknya pun jauh dari kediaman Rasulullah.[1]
Ketika Rasulullah menikahkan Fatimah, yang beliau persiapkan adalah tempat tidur yang sudah koyak, bantal kulit berisi serat, bejana air dari kulit untuk minum, dan botol.[2]
Fatimah RA dan pembantu rumah tangga
Semua urusan rumah tangga diurus sendiri oleh Fatimah. Ia mengurus anak-anak, menggiling biji-biji gandum lalu mengayaknya untuk membuat adonan roti. Sedangkan sejak kecil Fatimah sakit-sakitan. Badannya pun kurus karenanya. Ia merasa kelelahan hingga tangannya pecah-pecah akibat terkena alat penumbuk gandum.
Suatu ketika, Fatimah mendatangi kediaman sang ayah. Kebetulan, sang ayah mendapatkan seorang budak perempuan. Fatimah berpesan pada Aisyah RA tentang keinginannya mendapatkan pembantu di rumahnya. Aisyah RA pun menyampaikannya. Namun bagaimana jawaban Rasulullah? Beliau mendatangi putrinya, dan berkata dengan perasaan haru. “Maukah kalian kuberi tahu sesuatu yang lebih baik dari yang kamu minta? Bila hendak naik pembaringan, maka bertakbirlah 33 kali, bertasbihlah 33 kali, dan bertahmidlah 33 kali. semuanya itu lebih baik daripada seorang pembantu.”[3]
Sejak saat itu, Ali dan Fatimah mengamalkan dzikir tersebut hingga akhir hayat. Tak pernah lagi Fatimah meminta pembantu. Tak lagi ia mengeluh atas keletihan yang menderanya. Padahal sebagai putri Rasulullah, bisa saja Fatimah ngotot minta pelayan. Toh, siapa yang berani menolak jika Rasulullah memerintahkan seorang budak untuk membantu Fatimah?
Malu pada Sayyidah Fatimah RA
Sebagai seorang muslimah, para shahabiyah adalah uswatun hasanah. Kisah Fatimah RA adalah tauladan mulia tentang perjuangan dan kebersahajaan. Penolakan Rasulullah atas permintaannya adalah bukti kasih sayang seorang ayah yang menginginkan anaknya menempati derajat mulia di sisi-Nya. Sementara Fatimah sendiri adalah anak sekaligus muslimah yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Asalkan Allah dan Rasul-Nya ridha, bergeraklah ia meski bersusah payah sekali pun.
Ukhti,
Dibanding sayyidah Fatimah RA, alangkah nyaman hidup kita sekarang. Tak perlu repot-repot menggiling biji gandum, swalayan bertebaran menyajikan aneka roti yang kita inginkan. Siapalah di antara kita yang masih tidur beralaskan tikar yang koyak? Kasur kapas pun kini terlalu sederhana. Tak perlu repot-repot mencuci gunungan baju kotor, mesin cuci dijual dengan harga yang terjangkau. Pilihan lain? Laundry berdiri di mana-mana, lengkap dengan jasa setrika. Yang tak sempat masak? Catering di mana-mana. Tinggal calling, pesanan pun datang. warung-warung makan pun bersebaran, tinggal pilih mana yang sesuai selera.
Tapi, mengapa kita masih sering mengeluh?
“Ah, bosan banget hidup gini-gini terus ngurus rumah. Kapan keluarnya? Bisa jamuran gue lama-lama.”
“Andai saja gaji suamiku lebih besar, hidupku tak akan semalang ini. Mupeng liat temen-teman pada rutin nge-mall L”
“Pusyiiiinggg! Pembantu mudik, jadi rempong deh. Susah amir jadi wanita!”
Yang di kantor pun mengeluh.
“Hadeh … dasar Kabid tukang nyuruh. Satu belum kelar, tugas dah ditambahin lagi! Tugas mulu tugas mulu, kapan naik gaji?!”
“Duh, gak enak banget kerja di sana. Temenku pada resek, tukang gosip, nyebelin bla bla bla …!”
Yang putus cinta, tak kalah nestapa. Hampir tiap menit status Facebook ter-update dengan kata-kata menyayat seolah dunia runtuh tanpa kinasih. Ia kabarkan pada penghuni jagat maya jika hatinya tengah dirambah gundah gulana lir kepedihan Romeo kehilangan Julianya.
Ukhti,
Terkadang hidup kita rasakan sedemikian berat. Ujian datang silih berganti nirusai. Air mata menjadi teman setia. Hidup kita, berkalang derita. Benarkah? Mari kita bertanya pada nurani, lebih beratkah daripada derita sayyidah Fatimah? Lebih beratkah daripada perjuangan para shahabiyah? Jika mereka sanggup menjalani hidup yang sedemikian berat, maka merekalah tauladan kita. Kekuatan, keteguhan, kebersahajaan, dan segala kebaikan mereka adalah guru abadi sepanjang zaman.
Selama nafas masih di badan, hidup tak akan lepas dari masalah. Masalah berat ataukah tidak, tergantung bagaimana kita memandangnya. Marilah berkaca pada sayyidah Fatimah RA. Ketika beban hidup dipandang sebagai jalan menuju surga atau jalan bagi Allah untuk menaikkan derajat seorang hamba, maka ia tak lagi terasa berat. Kelelahan dan kemiskinan tak berat dirasa manakala tergantikan dengan dzikir yang kelak menjadikan mereka orang-orang yang kaya di surga. Bagi sayyidah Fatimah yang berjiwa besar, derita yang berat dipandangnya ringan dibanding pahala yang diraupnya.
Di mata orang-orang besar masalah besar terlihat kecil. Dan di mata orang-orang kecil, masalah kecil menjadi besar. Kita, pilih yang mana?
—
Catatan Kaki:
[1] Nisa’ Mubassirat bil Jannah : 209
[2] At Thabaqaat alKubra 8/19
[3] H.R Muslim
Ayahnya adalah makhluk Allah SWT yang terbaik, Muhammad bin Abdullah. Ibunya adalah Ummul Mukminin, Khadijah binti Khuwailid; salah satu dari empat wanita penghulu surga. Suaminya adalah Ali bin Abi Thalib ra; salah satu dari sepuluh orang Amirul Mukminin yang dijanjikan masuk surga. Dua putranya adalah pemuka pemuda-pemudi surga yakni Hasan ra dan Husain ra. Pamannya adalah pemuka para syuhada bergelar singa Allah dan Rasul-Nya; Hamzah bin Abdul Muttalib ra. Fatimah bergelar az Zahra sebab wajahnya senantiasa cerah lir sekuntum bunga. Kunyah-nya adalah Ummu Abiha sebab ia begitu mirip dengan sang ayah; Rasulullah SAW.
Terlahir di tengah masyarakat jahiliyah yang malu dengan kelahiran anak perempuan, Rasulullah begitu gembira menerima putrinya. Madrasahnya di rumah kenabian. Ia berguru langsung pada Sang Murabbi sepanjang zaman. Fatimah menjelma seorang muslimah yang taat pada Tuhan-Nya. Ketika bundanya tiada, ia menggantikan peran sebagai penyokong habis-habisan dakwah sang ayah.
Pernikahan Fatimah RA dengan Ali bin Abi Thalib RA
Menginjak usia 15 tahun, Fatimah menikah dengan Ali bin Abi Thalib setelah sebelumnya lamaran Abu Bakar dan Umar untuknya ditolak oleh sang ayah. Bersama Ali, Fatimah turut menjalani hidup dalam kemiskinan, kelaparan, keletihan, dan derita kehidupan. Bahkan mahar tak seberapa dari Ali, ia hadiahkan kembali padanya. Fatimah rela tinggal di rumah suaminya yang tak memiliki perabot. Hanya terdapat kulit biri-biri sebagai alas tidur, bantal berisi sabut tamar, penggiling gandum, ayakan, dan sekantung susu. Letaknya pun jauh dari kediaman Rasulullah.[1]
Ketika Rasulullah menikahkan Fatimah, yang beliau persiapkan adalah tempat tidur yang sudah koyak, bantal kulit berisi serat, bejana air dari kulit untuk minum, dan botol.[2]
Fatimah RA dan pembantu rumah tangga
Semua urusan rumah tangga diurus sendiri oleh Fatimah. Ia mengurus anak-anak, menggiling biji-biji gandum lalu mengayaknya untuk membuat adonan roti. Sedangkan sejak kecil Fatimah sakit-sakitan. Badannya pun kurus karenanya. Ia merasa kelelahan hingga tangannya pecah-pecah akibat terkena alat penumbuk gandum.
Suatu ketika, Fatimah mendatangi kediaman sang ayah. Kebetulan, sang ayah mendapatkan seorang budak perempuan. Fatimah berpesan pada Aisyah RA tentang keinginannya mendapatkan pembantu di rumahnya. Aisyah RA pun menyampaikannya. Namun bagaimana jawaban Rasulullah? Beliau mendatangi putrinya, dan berkata dengan perasaan haru. “Maukah kalian kuberi tahu sesuatu yang lebih baik dari yang kamu minta? Bila hendak naik pembaringan, maka bertakbirlah 33 kali, bertasbihlah 33 kali, dan bertahmidlah 33 kali. semuanya itu lebih baik daripada seorang pembantu.”[3]
Sejak saat itu, Ali dan Fatimah mengamalkan dzikir tersebut hingga akhir hayat. Tak pernah lagi Fatimah meminta pembantu. Tak lagi ia mengeluh atas keletihan yang menderanya. Padahal sebagai putri Rasulullah, bisa saja Fatimah ngotot minta pelayan. Toh, siapa yang berani menolak jika Rasulullah memerintahkan seorang budak untuk membantu Fatimah?
Malu pada Sayyidah Fatimah RA
Sebagai seorang muslimah, para shahabiyah adalah uswatun hasanah. Kisah Fatimah RA adalah tauladan mulia tentang perjuangan dan kebersahajaan. Penolakan Rasulullah atas permintaannya adalah bukti kasih sayang seorang ayah yang menginginkan anaknya menempati derajat mulia di sisi-Nya. Sementara Fatimah sendiri adalah anak sekaligus muslimah yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Asalkan Allah dan Rasul-Nya ridha, bergeraklah ia meski bersusah payah sekali pun.
Ukhti,
Dibanding sayyidah Fatimah RA, alangkah nyaman hidup kita sekarang. Tak perlu repot-repot menggiling biji gandum, swalayan bertebaran menyajikan aneka roti yang kita inginkan. Siapalah di antara kita yang masih tidur beralaskan tikar yang koyak? Kasur kapas pun kini terlalu sederhana. Tak perlu repot-repot mencuci gunungan baju kotor, mesin cuci dijual dengan harga yang terjangkau. Pilihan lain? Laundry berdiri di mana-mana, lengkap dengan jasa setrika. Yang tak sempat masak? Catering di mana-mana. Tinggal calling, pesanan pun datang. warung-warung makan pun bersebaran, tinggal pilih mana yang sesuai selera.
Tapi, mengapa kita masih sering mengeluh?
“Ah, bosan banget hidup gini-gini terus ngurus rumah. Kapan keluarnya? Bisa jamuran gue lama-lama.”
“Andai saja gaji suamiku lebih besar, hidupku tak akan semalang ini. Mupeng liat temen-teman pada rutin nge-mall L”
“Pusyiiiinggg! Pembantu mudik, jadi rempong deh. Susah amir jadi wanita!”
Yang di kantor pun mengeluh.
“Hadeh … dasar Kabid tukang nyuruh. Satu belum kelar, tugas dah ditambahin lagi! Tugas mulu tugas mulu, kapan naik gaji?!”
“Duh, gak enak banget kerja di sana. Temenku pada resek, tukang gosip, nyebelin bla bla bla …!”
Yang putus cinta, tak kalah nestapa. Hampir tiap menit status Facebook ter-update dengan kata-kata menyayat seolah dunia runtuh tanpa kinasih. Ia kabarkan pada penghuni jagat maya jika hatinya tengah dirambah gundah gulana lir kepedihan Romeo kehilangan Julianya.
Ukhti,
Terkadang hidup kita rasakan sedemikian berat. Ujian datang silih berganti nirusai. Air mata menjadi teman setia. Hidup kita, berkalang derita. Benarkah? Mari kita bertanya pada nurani, lebih beratkah daripada derita sayyidah Fatimah? Lebih beratkah daripada perjuangan para shahabiyah? Jika mereka sanggup menjalani hidup yang sedemikian berat, maka merekalah tauladan kita. Kekuatan, keteguhan, kebersahajaan, dan segala kebaikan mereka adalah guru abadi sepanjang zaman.
Selama nafas masih di badan, hidup tak akan lepas dari masalah. Masalah berat ataukah tidak, tergantung bagaimana kita memandangnya. Marilah berkaca pada sayyidah Fatimah RA. Ketika beban hidup dipandang sebagai jalan menuju surga atau jalan bagi Allah untuk menaikkan derajat seorang hamba, maka ia tak lagi terasa berat. Kelelahan dan kemiskinan tak berat dirasa manakala tergantikan dengan dzikir yang kelak menjadikan mereka orang-orang yang kaya di surga. Bagi sayyidah Fatimah yang berjiwa besar, derita yang berat dipandangnya ringan dibanding pahala yang diraupnya.
Di mata orang-orang besar masalah besar terlihat kecil. Dan di mata orang-orang kecil, masalah kecil menjadi besar. Kita, pilih yang mana?
—
Catatan Kaki:
[1] Nisa’ Mubassirat bil Jannah : 209
[2] At Thabaqaat alKubra 8/19
[3] H.R Muslim
0 komentar:
Posting Komentar