Sudahkah Anda Bershalawat???

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: مَن صلَّى عليَّ صلاةً واحدةً ، صَلى اللهُ عليه عَشْرَ صَلَوَاتٍ، وحُطَّتْ عنه عَشْرُ خَطياتٍ ، ورُفِعَتْ له عَشْرُ دَرَجَاتٍ

“Barangsiapa yang mengucapkan shalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat baginya sepuluh kali, dan digugurkan sepuluh kesalahan (dosa)nya, serta ditinggikan baginya sepuluh derajat/tingkatan (di surga kelak)” HR an-Nasa’i (no. 1297)

Keutamaan Shalawat Kepada Nabi

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman: إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا {56}

Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QS. 33:56)

Ahlul Bait

مَثَلُ أَهْلِ بَيْتِي مَثَلُ سَفِيْنَةِ نُوْحٍ مَنْ رَكِبَهَا نَجَا وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرِقَ

“Perumpamaan Ahlul baitku seperti kapal nabi Nuh, barangsiapa yang menaikinya maka dia akan selamat dan barangsiapa yang enggan maka dia akan tenggelam (binasa).”

Minggu, 31 Juli 2016

Keistemawaan air hujan di bulan april

Rasulullah saww bertanya :


“ Apakah kalian mau aku ajari satu pengobatan yang telah diajarkan Jibril as padaku sehingga aku tidak butuh kepada pengobatan dokter ? ”

Para Sahabat pun bertanya : “ Pengobatan apa itu ya Rasul ? ”

Nabi Bersabda :

“Ambilah air Hujan di bulan Naisan (April) dan Bacalah Al-Fatihah, ayat kursi, alIkhlas, an-Nas, al-Falaq & al-Kafirun masing-masing 70x”.
Riwayat lain ditambahkan Al-Qadr, Allahu Akbar, Lailahaillallah, shalawat, subhanallah walhamdulillah wa la ilaha illallah allahu akbar 70x.

Lalu Minumlah air itu di waktu pagi & malam selama 7 hari berturut-turut. Demi Tuhan Yang telah mengutusku sebagai Nabi, sungguh Jibril as berkata : “Sesungguhnya Allah SWT akan menyembuhkan orang yang minum air ini dari setiap penyakit & Mengeluarkan penyakit itu dari badannya, tulangnya & semua anggota tubuhnya serta Allah SWT akan menghapus penyakit yang sudah tertulis baginya di Lauhul Mahfuzh..

Jika orang tersebut tidak dikaruniai anak, Allah SWT akan memberikan anak kepadanya walaupun ia seorang wanita mandul. Allah juga akan memenuhi Cahaya & ilham-Nya, Ilmu & pengetahuan, karamah-karamah, menurunkan ribuan ampunan & Rahmat. Mengeluarkan sifat curang, Khianat, iri, dengki, congkak, kikir & sifat Tamak. Menyelamatkan dari Kejahatan permusuhan Masyarakat serta Menyembuhkan dari Semua penyakit”

(Riwayat dari Imam Ja’far Shadiq cucunda Rasul, Mafatih al Jinan jilid 2)

Dari Amirul Mukminin Ali berkata :

“Minumlah air Hujan karena air itu bϊsa membersihkan Badan-badan kalian & Menyembuhkan Penyakit, seperti Firman Allah SWT :

"Dan Allah Menurunkan kepadamu Hujan dari Langit untuk menyucikan kamu dengan Hujan itu & Menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan setan & untuk menguatkan hatimu & memperteguh dengannya telapak kakimu.”.(Qs al-Anfal 8:11)


- Source : allaboutahlulbait.blogspot.sg/

Sabtu, 30 Juli 2016

12 Dirham yang penuh Berkah !

Rasulullah Saw senantia memakai pakaian sederhana. Dengan demikian, orang-orang miskin tidak merasa berbeda dan terhina berada di dekat beliau. Melihat pakaian sederhana Nabi Saw, mereka akan merasa beliau merupakan bagian dari kalangan mereka sendiri. Selain itu, pakaian sederhana membuat beliau lebih akrab dengan masyarakat. Nabi Saw memanfaatkan pakaiannya semaksimal mungkin, sehingga ketika tidak bisa lagi digunakan barulah memikirkan untuk membeli yang baru.



Hari itu Rasulullah Saw memberikan sejumlah uang kepada Ali as dan berkata, “Wahai Ali! Pergilah ke pasar dan belikan aku pakaian.”

Ali as menerima uang dari beliau dan langsung menuju pasar. Di sana Ali as membelikan pakaian seharga 12 dirham dan kembali menemu Nabi Saw. Menerima pakaian itu, beliau mengucapkan terima kasih dan berkata, “Seandainya engkau membelikan aku baju yang lebih murah harganya dari ini.”

Ketika itu beliau bertanya, “Apakah penjualnya mau menerima pakaian ini bila dikembalikan?”

Ali as menjawab, “Saya tidak tahu. Perkenankan saya kembali kepadanya dan menanyatakan masalah ini.”

Setelah itu Ali as pergi ke pasar. Ia mengembalikan pakaian itu, mengambil kembali uang yang diberikan dan kembali kepada Rasulullah Saw. Kemudian mereka berdua pergi ke pasar dan kali ini Nabi Saw sendiri yang akan memilih pakaian untuknya.

Di tengah jalan, mereka bertemu dengan budak perempuan kecil yang sedang duduk di atas tanah sambil menangis. Nabi Saw bertanya kepada gadis kecil itu, “Apa yang terjadi denganmu? Mengapa engkau menangis?”

Gadis kecil itu berkata, “Wahai Rasulullah! Tuanku memberikan uang sebanyak 4 dirham kepadaku agar membelikan kebutuhannya. Tapi saya tidak tahu bagaimana uang itu hilang dariku.”

Nabi Saw berkata kepadanya, “Jangan bersedih! Sekarang aku memberikanmu 4 dirham agar engkau bisa membelikan kebutuhan tuanmu.”

Beliau kemudian mengambil 4 dirham dari 12 dirham yang berada di tangan Ali as lalu memberikannya kepada gadis kecil itu.

Pemberian Nabi Saw membuat gadis kecil itu gembira kembali dan mendoakan beliau lalu pergi.

Nabi Saw dan Ali as kembali meneruskan jalannya.

Akhirnya Nabi Saw membeli sebuah pakaian sederhana seharga 4 dirham lalu memakainya dan bersyukur kepada Allah. Mereka berjalan menuju rumah.

Di tengah jalan, mereka melihat seorang miskin yang tidak memiliki baju dan berkata, “Barangsiapa yang memberikan aku baju dan badanku tertutup dengannya, insyaallah ia akan dipakaikan baju surga oleh Allah.”

Nabi Saw melepaskan baju yang baru saja dibelinya dan memberikannya kepada orang miskin itu dan tetap memakai pakaian lamanya. Setelah itu beliau bersama Ali as kembali ke pasar dan membeli satu lagi pakaian seharga 4 dirham untuk dirinya lalu memakainya.

Di tengah perjalanan menuju rumah, mereka kembali melihat gadis kecil yang diberi 4 dirham. Gadis kecil itu terduduk di atas tanah sambil menangis. Nabi Saw mendekatinya dan berkata, “Mengapa engkau belum kembali ke rumah?”

Gadis kecil itu menjawab, “Saya telah membeli apa yang diinginkan tuanku dengan uang yang Anda berikan kepadaku. Tapi saya sudah sangat terlambat. Saya khawatir tuanku akan memukulku akibat keterlambatan ini.”

Nabi Saw dengan sabar berkata kepadanya, “Saya akan mengantarmu ke rumah dan meminta tuanmu untuk tidak memukulmu.”

Gadis kecil itu berjalan bersama Nabi Saw dan Ali as hingga ke rumah tuannya.

Nabi Saw mengetuk pintu dan mengucapkan salam dengan suara tinggi, tapi tidak ada jawaban dari dalam rumah. Kembali Nabi Saw mengucapkan salam, tapi tetap saja tidak ada yang menjawab. Untuk ketiga kalinya Nabi Saw mengucapkan salam dan kali ini tuan rumah menjawab, “Assalamu Alaika Ya Rasulallah!”

Nabi Saw berkata, “Mengapa engkau tidak menjawab salamku?”

Tuan rumah menjawab, “Sejak awal saya telah mendengar suara Anda, tapi saya ingin sekali berkah salam anda dapat menjauhkan segala bencana dari rumah saya. Sekarang sampaikan apa yang dapat saya lakukan.”

Nabi Saw berkata, “Gadis kecil ini terlambat ke rumah. Saya datang bersamanya untuk meminta agar jangan memukulnya. Insyaallah, Allah akan memaafkan kesalahan yang engkau perbuat.”

Tuan rumah berkata, “Wahai Rasulullah! Langkah penuh berkahmu ke rumahku membuat aku memutuskan untuk membebaskan gadis kecil ini, sehingga Anda dan Allah Swt rela dengan perbuatanku.”

Nabi Saw sangat senang mendengarnya lalu memandang ke langit sambil mengangkat tangannya dan berkata, “Ya Allah! Aku bersyukur kepadamu disebabkan berkah uang 12 dirham yang Engkau berikan. 12 dirham yang mampu memberikan pakaian kepada dua orang dan membebaskan seorang budak perempuan.”





- Source : allaboutahlulbait.blogspot.sg/

Mutiara Hikmah dari Imam Hasan Askari as


Imam Hasan al-Askari as, putra Imam Ali al-Hadi, dilahirkan pada 8 Rabiul Akhir tahun 232 Hijriah di kota Madinah. Beliau memangku tugas imamah pada usia 22 tahun, setelah ayahnya meneguk cawan syahadah. Di usia yang masih sangat muda itu, beliau mendapat mandat Ilahi untuk menjadi pelita hidayah bagi umat manusia. Julukan al-Askari yang beliau sandang merujuk pada suatu tempat yang bernama Askar, di dekat kota Samarra, Irak. Ibu Imam Askari bernama Haditsa, meski ada juga yang menyebut ibu beliau bernama Susan atau Salil. Setelah sang ayah wafat, Imam Hasan Askari as hidup selama 6 tahun, dan sepanjang itulah masa kepemimpinannya.



Kelahiran manusia-manusia suci dari Ahlul Bait Nabi as senantiasa membawa keberkahan dan kemuliaan bagi umat Islam. Ahlul Bait as adalah insan-insan mulia yang menjadi teladan dan lentera bagi umat manusia dalam merajut jalan kebenaran. Salah satu misi global Nabi Muhammad Saw dan Ahlul Baitnya adalah menyampaikan dan mengawal ajaran agama dan pemikiran-pemikiran Islam. Rasul Saw dan para penerus misi beliau telah mengemban tugas tersebut sesuai dengan kondisi sulit di masa itu. Mereka semua memikul dua tugas utama yaitu, memberi petunjuk dan pencerahan kepada masyarakat, dan memperingatkan mereka akan pemikiran-pemikiran menyimpang.

Imam Askari as sepanjang hidupnya tidak pernah alpa memerangi kezaliman dan penindasan di tengah masyarakat. Imam Askari as senantiasa berada dalam pengawasan para penguasa Dinasti Abbasiyah, karena adanya riwayat-riwayat dari Nabi Saw yang menguatkan bahwa Imam Mahdi as – sang juru selamat – akan terlahir ke dunia sebagai putra Imam Askari as. Oleh karena itu, para penguasa merasa takut akan kemunculannya yang akan memenuhi dunia ini dengan keadilan.

Meski menghadapi kondisi sulit, Imam Askari as berhasil menyebarluaskan nilai-nilai dan pemikiran murni Islam di tengah masyarakat. Pernyataan rasional dan argumentatif Imam Askari as dalam menjawab berbagai ketimpangan dan penyimpangan, membuktikan bahwa beliau memiliki program komprehensif untuk menyebarkan kebenaran Islam. Imam Askari as aktif menghalau pemikiran-pemikiran sesat yang menyerang masyarakat Islam pada masa itu. Beliau mengambil sikap tegas dan jelas terhadap berbagai kelompok dan mazhab pemikiran seperti, sufisme, ghulat, politeisme, dan pemikiran-pemikiran sesat lainnya.

Imam Askari as menilai pengabdian tulus kepada masyarakat sebagai dimensi dari iman dan selalu menekankan kepada para pengikutnya untuk berlaku baik dan terpuji. Banyak ayat al-Quran juga menyebut kata amal shaleh setelah kata iman. Oleh karena itu, Imam Askari as menganggap pengabdian kepada masyarakat sebagai salah satu contoh dari beramal shaleh. Beriman kepada Allah Swt dan mengabdi kepada manusia merupakan dua dasar untuk membangun masyarakat yang sehat. Kitab suci al-Quran juga sangat menekankan manusia untuk saling membantu dalam kebaikan dan ketaqwaan. Sebaliknya, Allah Swt melarang manusia untuk saling menolong dalam melakukan perbuatan dosa dan maksiat.

Di antara nilai-nilai luhur Islam adalah memberi perhatian kepada sesama, bekerjasama dalam kebaikan, dan mengabdikan diri untuk masyarakat. Dari berbagai ayat dan riwayat terlihat jelas bahwa tidak ada perbuatan lain – setelah menunaikan kewajiban – seperti berbuat baik dan mengabdi kepada masyarakat, yang akan mendekatkan seseorang kepada Allah Swt. Oleh sebab itu, para nabi dan imam maksum senantiasa mengabdikan dirinya untuk masyarakat dan membantu mereka dalam kebaikan. Imam Askari as berkata, "Dua perkara yang tidak ada sesuatu pun yang lebih tinggi darinya yaitu, beriman kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama."

Imam Askari as selalu menekankan kepada para pengikutnya untuk bersikap jujur, membersihkan diri dan beramal shaleh. Hal ini beliau lakukan demi menjaga ajaran suci Islam. Imam menyadari sepenuhnya usaha memperdalam dan menyebarkan ajaran Islam terletak pada penerapan nilai-nilai Islam itu sendiri. Karena ketika iman dan amal saling berhubungan dengan kokoh, maka pengaruhnya pun semakin kuat. Oleh karena itu, Imam Askari as menekankan kepada para pengikutnya untuk mengoreksi diri dan tidak memandang remeh dosa.

Dalam perspektif Imam Askari as, para pengikut sejati Ahlul Bait as adalah mereka yang bersikap seperti para pemimpin agamanya dalam menjalankan ajaran Ilahi dan meninggalkan larangannya serta mengabdi kepada sesama. Ketika mendefinisikan kata Syiah, Imam Askari as berkata, "Para pengikut dan Syiah Ali adalah mereka yang memprioritaskan saudara-saudara seiman dari dirinya meskipun ia sendiri butuh."

Memperhatikan pentingnya pengabdian kepada masyarakat, Imam Askari as juga mengingatkan para ulama dan intelektual untuk tidak melupakan tanggung jawab besar itu. Beliau as berkata, "Kelompok ulama dan intelektual pengikut kami yang berusaha memberi pencerahan dan mengatasi masalah para pecinta kami, pada hari kiamat mereka akan tiba di padang mahsyar dengan memakai mahkota kemuliaan dan cahaya mereka menerangi semua tempat dan semua penduduk mahsyar memperoleh manfaat darinya."

Imam Askari as menyerukan kepada umat Islam untuk berakhlak mulia di tengah masyarakat. Beliau berkata, "Allah Swt senantiasa mengingatkan agar bertakwa dan jadilah keindahan bagi kami dengan amalmu. Kami bahagia, jika salah seorang dari kalian bersikap wara dan jujur, menjalankan amanah dan berbuat baik kepada orang lain."

Selain berbuat baik kepada sesama, perintah lain yang sangat ditekankan Islam dalam Quran dan Sunnah Rasul adalah berfikir. Kekuatan pemikiran adalah anugerah Allah Swt yang hanya diberikan kepada manusia. Berbagai kemajuan sains dan teknologi merupakan berkah nikmat akal dan pemikiran. Dengan kemampuan besar ini, manusia mampu menyingkap berbagai rahasia alam semesta.Terkait hal ini, Imam Askari as berkata, "Ibadah bukan dilihat dari banyaknya shalat dan puasa, namun berfikir dan beribadah kepada Tuhan."

Berikut ini kami sajikan ucapan penuh hikmah dari Imam Askari as pada hari syahadahnya, "Saya berwasiat kepada kalian untuk bertakwa dalam agama, berusaha demi Allah semata, jujur, bersikap amanah dan berbuat baik dengan tetangga. Bertakwalah kepada Allah dan jadilah hiasan kami. Perbanyaklah zikir kepada Allah, mengingat mati, membaca al-Quran dan shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Karena bersalawat kepada Nabi Muhammad Saw memiliki sepuluh kebaikan. Bila ada di antara kalian yang bertakwa dalam agamanya, jujur dalam ucapannya, amanah dan berakhlak mulia terhadap masyarakat, maka orang yang seperti ini dapat dikatakan sebagai pengikut kami. Perbuatan seperti ini yang membuatku gembira dan membuatku meminta kalian untuk konsisten. Aku menyerahkan kalian kepada Allah dan salam buat kalian."           

Imam Askari diracun dan syahid pada 8 Rabiul Awwal 260 Hijriah. Beliau dimakamkan di samping ayahnya, Imam Ali al-Hadi as, di kota Samarra, Irak. Berikut ini, kami sajikan dua mutiara hikmah dari Imam Hasan Askari as, "Tidak ada kemuliaan bagi orang yang meninggalkan kebenaran, dan tidak ada kehinaan bagi orang yang mengamalkannya." "Seluruh keburukan telah terkumpul dalam satu rumah, dan kuncinya adalah dusta." (IRIB Indonesia)


- Source : indonesian.irib.ir

Mukjizat Nabi Terakhir

Oleh: Ayatullah Murtadha Muthahhari

641Hadis H368 
Al-Qur’an Suci adalah mukjizat abadi Nabi terakhir saw. Mukjizat para nabi sebelumnya seperti Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as dan Nabi Isa as—masing-masing Nabi ini mendapat Kitab suci dan juga memiliki mukjizat—tidak identik dengan Kitab-kitab suci mereka. Mereka melakukan perbuatan mukjizat seperti mengubah api yang berkobar menjadi “dingin dan damai”, mengubah tongkat kayu menjadi ular besar, dan menghidupkan orang mati. Jelaslah mukjizat-mukjizat ini sementara sifatnya. Namun untuk Nabi terakhir saw, Kitab sucinya itu sendiri merupakan mukjizatnya. Kitab sucinya merupakan bukti kenabiannya. Dengan demikian, mukjizat Nabi terakhir saw, tak seperti mukjizat yang lain, abadi sifatnya, bukan dimaksudkan hanya untuk sementara waktu.
Fakta bahwa Kitab suci (Al-Qur’an—pen.) merupakan mukjizat Nabi terakhir saw, sungguh selaras dengan zamannya, zaman kemajuan ilmu pengetahuan, budaya dan pendidikan. Keabadian Al-Qur’an Suci juga sesuai dengan keabadian pesannya yang tak akan pernah dicabut.
Dalam beberapa ayat Al-Qur’an dengan tegas disebutkan aspek supra-manusiawi dan luar biasa ini. Salah satunya mengatakan:
Dan jika hamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan hepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surah (sajaj yang semisal Al-Qur’an itu. (QS. al-Baqarah: 23)
Al-Qur’an juga dengan jelas menyebutkan beberapa mukjizat lain Nabi terakhir saw. Al-Qur’an Suci berbicara panjang lebar mengenai sejumlah masalah yang berkaitan dengan mukjizat. Al-Qur’an menyatakan bahwa risalah Allah SWT harus disertai mukjizat, bahwa mukjizat merupakan bukti kuat dan pasti, bahwa nabi dapat melakukan perbuatan mukjizat atas kehendak Allah dan untuk membuktikan kebenaran pernyataannya, dan bahwa nabi tidak harus mengabulkan setiap permintaan orang akan mukjizat. Dengan kata lain, nabi tidak diharapkan memamerkan mukjizat atau memproduksi mukjizat.
Di samping membahas soal-soal ini, Al-Qur’an Suci juga dengan jelas menceritakan kisah mukjizat banyak Nabi seperti Nuh as, Ibrahim as, Luth as, Saleh as, Hud as, Musa as dan Isa as, dan memperkuat kisah-kisah itu.
Sebagian orientalis dan pendeta Nasrani, berdasarkan ayat-ayat yang menolak permintaan kaum musyrik agar Nabi Muhammad saw memperlihatkan mukjizat yang mereka minta, mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw menyatakan kepada kaumnya bahwa mukjizatnya tak lain adalah Al-Qur’an Suci, dan kalau mereka tak mau menerimanya, maka dia tak dapat berbuat apa-apa lagi. Beberapa penulis Muslim yang “berpandangan terbuka” juga menerima pandangan ini, dan ketika menjelaskan pandangan ini, mereka mengatakan bahwa mukjizat merupakan argumen yang hanya dapat meyakinkan manusia yang belum matang yang mencari sesuatu yang luar biasa dan fantastis. Manusia yang sudah matang tak akan terkesan dengan hal-hal seperti itu. Yang menjadi perhatian manusia yang sudah matang hanyalah hal-hal yang rasional.
Mengingat zaman Nabi Muhammad saw adalah zaman rasionalitas, bukan zaman mitos dan fantasi, maka dia, dengan kehendak Allah, tak mau menerima permintaan akan mukjizat selain Al-Qur’an Suci. Seorang penulis mengatakan, “Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad saw mau tak mau harus menggunakan mukjizat, karena pada zaman itu nabi-nabi nyaris mustahil dapat meyakinkan orang dengan menggunakan argumen rasional. Ketika Nabi Muhammad saw datang, manusia sudah melewati periode kanak-kanak (belum matang)-nya. Manusia sudah sampai pada tahap kematangan pikirannya. Yang kemarin anak, sekarang sudah tak lagi bergantung pada ibunya dan sudah mampu berdiri sendiri serta menggunakan otaknya.
Dalam kondisi seperti itu pantaslah kalau Nabi Muhammad saw menentang tekanan kaum kafir, dan lawan-lawannya yang menghendaki mukjizatnya. Untuk membuktikan kebenaran misinya, Nabi Muhammad saw hanya bersandar pada argumen rasional dan bukti sejarah. Kendatipun kaum kafir bersikeras, namun Nabi Muhammad saw, atas perintah Allah, tak mau memperlihatkan tindakan mukjizat seperti yang dilakukan para nabi sebelumnya. Nabi Muhammad saw hanya bersandar pada Al-Qur’an Suci sebagai mukjizat yang tiada taranya. Bahwa Al-Qur’an Suci tak ada tandingannya itu sendiri sudah merupakan bukti nnalitas kenabian. Mukjizat tersebut adalah sebuah kitab yang berisi kebenaran, ajaran dan petunjuk yang sungguh cocok dengan semua aspek kehidupan. Kitab tersebut merupakan mukjizat yang cocok untuk manusia yang sudah matang, bukan untuk manusia yang masih kanak-kanak yang mempercayai mitos dan dongeng.
Apa yang disebut penulis Muslim “berpandangan terbuka” itu menambahkan, “Asmosfer kehidupan manusia purba selalu penuh dengan mitos, cerita kosong dan pikiran supranatural.” Karena itu, yang mengesankan manusia purba hanyalah hal-hal yang tak dapat diterima akal sehat dan yang tak dapat dimengerti. Itulah sebabnya sepanjang sejarahnya umat manusia menyukai hal-hal yang aneh dan mencari hal-hal yang supranatural. Sikap emosional terhadap apa yang tak dapat dimengerti dan yang tak dapat diterima akal sehat ini lebih kuat di kalangan manusia yang semakin tidak beradab.
Bila manusia semakin dekat dengan alam, maka dia semakin menyukai hal-hal yang supranatural. Mitos merupakan produk situasi seperti ini. Manusia gurun selalu mencari keajaiban. Dunianya penuh dengan roh dan misteri besar. Itulah sebabnya bukan saja nabi, namun juga raja, pahlawan dan orang arif setiap bangsa, menggunakan sesuatu yang supranatural untuk memperkuat klaim mereka. Dalam keadaan seperti ini, nabi yang misinya didasarkan pada hal yang nyata (kasat mata), kemudian lebih menggunakan mukjizat, karena pada periode sejarah ini kejadian supranatural lebih efektif ketimbang logika, ilmu pengetahuan dan fakta yang tak terbantahkan.”
Namun, kehidupan Nabi Muhammad saw merupakan kekecualian. Nabi Muhammad saw menyatakan bahwa mukjizatnya adalah Al-Qur’an. Pernyataan ini dilontarkan di tengah masyarakat, di sebuah kota perdagangan yang terbesar, di kota ini orang yang tahu seni menulis tak lebih dari tujuh orang. Yang jadi pikiran masyarakat ini hanyalah berbual, bersombong diri, berbesar mulut, pedang, onta dan anak laki-laki. Bahwa di tengah masyarakat ini Nabi Muhammad saw memaklumkan mukjizatnya adalah Al-Qur’an, ini sendiri sudah merupakan mukjizat.
Nabi Muhammad saw memaklumkan ini di sebuah negara yang belum pernah ada Kitab samawinya. Tuhannya, Allah, Sang Pencipta bersumpah dengan tinta, pena dan tulisan kepada kaum yang memandang pena sebagai alat bagi segelintir orang lemah tak berdaya. Ini sendiri sudah merupakan mukjizat. Dan mukjizat yang senantiasa dapat dilihat hanyalah kitab samawi itu. Tidak seperti mukjizat lainnya, Al-Qur’an Suci merupakan satu-satunya mukjizat yang karakternya yang luar biasa dapat lebih diapresiasi dan dipahami dengan lebih tepat oleh orang-orang yang lebih arif dan lebih berpengetahuan dalam masyarakat yang maju dan berbudaya.
Al-Qur’an Suci merupakan satu-satunya mukjizat yang bukan saja dipercaya oleh orang-orang yang mempercayai hal-hal yang supranatural. Kesupranaturalan Al-Qur’an Suci diakui oleh orang yang berpengetahuan luas. Kemukjizatan Al-Qur’an Suci bukan saja bagi orang biasa. Kemukjizatan Al-Qur’an Suci juga bagi kaum cerdik cendekia. Tidak seperti mukjizat lainnya, Al-Qur’an Suci tidak dimaksudkan untuk menggugah decak kagum orang yang membacanya, dan juga tidak dimaksudkan untuk meyakinkan mereka agar, setelah mengaguminya, menerima pesannya.
Al-Qur’an Suci dimaksudkan untuk mendidik orang-orang yang mau menerimanya. Al-Qur’an Suci merupakan pesan (risalah) itu sendiri. Mukjizat Nabi Muhammad saw, meskipun bukan produk manusia, bukanlah sesuatu yang tak ada kaitannya dengan umat manusia. Tidak seperti mukjizat sebelumnya, Al-Qur’an Suci bukanlah alat yang digunakan sekadar untuk membuat orang percaya dan tak ada manfaat lainnya. Namun mukjizat Nabi Muhammad saw ini merepresentasikan semacam manifestasi kecakapan dan kekuatan tertinggi manusia. Juga merupakan sebaik-baik model untuk praktik dan pendidikan, dan karena itu sebuah model yang selalu dapat diakses.
Nabi Muhammad saw mencoba mengalihkan rasa ingin tahu manusia, dari masalah-masalah yang luar biasa dan supranatural ke masalah-masalah yang logis, rasional, intelektual, sosial dan moral. Tugas beliau saw tidaklah ringan, khususnya kalau melihat kenyataan bahwa kaum yang dihadapinya hanya mau menerima hal-hal yang supranatural. Sungguh mengherankan bagaimana dia menyebut dirinya Nabi, mengajak orang untuk menerima risalah Ilahiah-nya dan sekaligus mengakui secara formal bahwa dia tidak mengetahui hal-hal yang “gaib”. Terlepas dari nilai manusiawi pengakuan ini, yang mencolok adalah kebenaran luar biasa yang terasakan dalam perbuatannya dan yang memaksa setiap had untuk hormat dan kagum kepadanya. Sebagian orang meminta dia untuk meramalkan harga yang dapat dicapai barang mereka agar mereka dapat membuat rencana sehingga dapat memperoleh untung.
Al-Qur’an Suci menyuruh Nabi untuk mengatakan:
Aku tidak berkuasa menarik manfaat bagi diriku dan tidak (pula) menolak mudarat kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa mudarat. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman. (QS. al-A’râf: 188)
Seorang nabi yang tak dapat membuat ramalan, yang tidak bicara dengan roh, peri dan jin, dan yang tidak berbuat mukjizat setiap hari, tak ada gunanya di mata orang gurun. Nabi Muhammad saw mengajak mereka untuk memperhatikan alam semesta, takwa, lurus dan beriman, untuk mencari pengetahuan dan untuk memahami makna kehidupan dan takdir, namun mereka selalu saja meminta dia untuk memperlihatkan mukjizat dan membuat ramalan. Di lain pihak Allah mendorong dia untuk mengatakan:
Mahasuci Tuhanku, bukankah aku ini hanyalah seorang manusia yang menjadi Rasul? (QS. Al-Isrâ’: 93)
Orang-orang yang menafikkan kejadian-kejadian mukjizat terutama bersandar pada ayat-ayat yang mengatakan:
Dan mereka berhata: “Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami, atau kamu mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya, atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami. Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari etnas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah Kitab yang kami baca.” Katakanlah: “Mahasuci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi Rasul?” (QS. al-Isrâ’: 90-93)
Mereka mengatakan bahwa ayat-ayat ini menunjukkan bahwa kaum musyrik meminta Nabi Muhammad saw untuk memperlihatkan mukjizat selain Al-Qur’an, namun Nabi saw menolak permintaan mereka.
Sayangnya, teori ini tak dapat kami terima, khususnya kalau melihat poin-poin yang disebutkan di atas, dan kalau melihat paparan kami mengenai keunggulan Al-Qur’an Suci terhadap mukjizat-mukjizat lainnya. Menurut kami, poin-poin yang dapat dipertanyakan itu adalah:
(1) Mukjizat Nabi Muhammad saw hanyalah Al-Qur’an Suci. Nabi saw tak mau memenuhi permintaan kaum musyrik yang menghendaki Nabi saw memperlihatkan beberapa mukjizat lainnya. Ayat-ayat surah al-Isrâ’ itu membuktikan poin ini.
(2) Adapun nilai dan efektivitas mukjizat, dapat dikatakan bahwa mukjizat cocok untuk periode ketika umat manusia belum matang, yaitu ketika nalar dan logika belum jalan. Bahkan orang arif dan raja harus menggunakan hal-hal supranatural untuk menjustifikasi diri mereka. Para nabi juga menggunakan hal-hal supranatural untuk meyakinkan kaum mereka. Nabi Muhammad
saw, yang mukjizatnya adalah Al-Qur’an Suci, merupakan kekecualian. Nabi saw menjustifikasi dirinya dengan menggunakan Al-Qur’an Suci atau dengan nalar dan logika.
(3) Nabi Muhammad saw mencoba mengalihkan perhatian kaumnya dari masalah-masalah supranatural ke masalah-masalah rasional dan logika, dan mencoba mengalihkan kepekaan mereka dari hal-hal yang ajaib ke hal-hal yang aktual dan faktual.
Mari kita bahas satu persatu poin-poin yang diajukan oleh para penentang mukjizat. Betulkah Nabi Muhammad saw mukjizatnya hanya Al-Qur’an saja? Terlepas dari kenyataan bahwa pandangan ini tak dapat diterima bila dilihat dari segi sejarah dan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sumber-sumber tepercaya, pandangan ini justru bertentangan dengan Al-Qur’an sendiri. Mukjizat terbelahnya bulan disebutkan dalam Al-Qur’an Suci itu sendiri. Misal saja seseorang memandang remeh arti ayat yang menyebutkan mukjizat ini, sekalipun tak dapat dijelaskan, lantas bagaimana menjelaskan kisah mi’râj Nabi Muhammad saw yang disebutkan dalam Surah al-Isrâ’? Dengan tegas Al-Qur’an Suci mengatakan:
Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. (QS. al-Isrâ’: 1)
Apakah peristiwa ini bukan peristiwa supranatural dan bukan mukjizat? Dalam Surah at-Tahrîm disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw mengemukakan sebuah rahasia kepada salah seorang istrinya. Istrinya ini kemudian membuka rahasia itu kepada istri Nabi saw yang lain. Nabi saw bertanya kepada istri pertamanya, kenapa membuka rahasia kepada istri keduanya, dan kenapa menceritakan sebagian pembicaraan yang terjadi antara keduanya. Istri pertama ini terkejut, lalu bertanya kepada Nabi saw bagaimana Nabi saw bisa tahu semua itu. Nabi Muhammad saw menjawab bahwa Allah memberitahukan kepadanya tentang kejadian itu. Ketika Nabi saw menceritakan sebuah rahasia kepada salah seorang istrinya, dan ketika istrinya itu kemudian membeberkan rahasia itu, dan Allah memberitahukan kepada Nabi saw tentang kejadian itu, dan Nabi saw memberitahukan kepada istrinya itu sebagiannya saja. Dan ketika Nabi saw menceritakannya kepada istrinya. Si istri berkata, “Kata siapa?” Nabi saw berkata, “Yang Mahatahu yang telah memberitahuku.” Bukankah ini berarti Nabi saw menceritakan hal yang gaib? Bukankah ini mukjizat? Apa yang disebutkan dalam surah al-Isrâ’: 90-93, dan beberapa ayat lainnya sama sekali tidak menunjukkan apa yang disimpulkan dari ayat itu. Kaum musyrik tidak minta bukti kenabian dan ayat dengan tujuan mendapatkan kepuasan. Sesungguhnya mereka minta sesuatu yang lain. Ayat-ayat ini dan juga surah al-‘Ankabût: 50, banyak menjelaskan mentalitas khas kaum musyrik yang rupanya meminta mukjizat. Ayat-ayat ini juga menjelaskan filosofi Al-Qur’an Suci tentang mukjizat para nabi.
Dalam surah al-Isrâ’, kaum musyrik mengawali pembicaraannya dengan mengatakan, “Kami sekali-kali tak akan mempercayaimu sampai kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami.” Ini cuma sebuah transaksi. Kemudian mereka mengatakan, “Atau kamu mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya, ataukamu mempunyai sebuah rumah yang penuh emas, sehingga kami bisa berbagi denganmu.” Ini lagi-lagi merupakan transaksi, karena mereka menginginkan semua ini untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka mengatakan, “Atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana menurutmu akan jatuh pada Hari Kiamat.” Ini adalah meminta hukuman dan akhir segalanya, sekalipun rupanya mereka meminta mukjizat. “Atau kamu naik he langit, atau kamu bawa Allah dan para malaikat ke hadapan kami.” (QS al-Isrâ’: 90-93) Ini lagi-lagi adalah transaksi, kendatipun kali ini mereka tak meminta kekayaan, melainkan minta sesuatu yang dapat mereka banggakan. Namun mereka mengabaikan fakta bahwa mustahil mengabulkan per-mintaan mereka.
Kata-kata yang digunakan kaum musyrik itu sesungguhnya luar biasa. Mereka tidak mengatakan, “Lan nu’mina bika”, yaitu kami tak akan mempercayaimu. Yang mereka katakan adalah, “Lan nu’mina laka”, yang artinya adalah kami tak akan bergabung denganmu yang akan menguntungkanmu. Perbedaan makna ini sudah disebutkan oleh ahli-ahli ushul fiqih ketika menjelaskan ungkapan-ungkapan yang sama dalam surah at-Taubah: 61.
Dari bagaimana kaum musyrik itu mengajukan permintaan terlihat jelas niat mereka. Mereka minta Nabi saw untuk memancarkan mata air dari bumi untuk mereka sebagai imbalan untuk dukungan dan kepercayaan mereka kepada Nabi saw. Jelaslah ini adalah meminta upah dan bukan meminta bukti dan mukjizat. Nabi saw datang untuk membuat orang jadi beriman, bukan untuk membeli pandangan dan iman mereka.
Penulis yang kami kutip di atas itu sendiri mengatakan, “Kaum musyrik itu meminta Nabi saw untuk meramalkan harga yang dapat dicapai oleh barang mereka, sehingga mereka dapat memperoleh untung.” Jelaslah permintaan akan mukjizat ini bukan untuk mengetahui kebenaran. Mereka ingin memanfaatkan Nabi saw sebagai sarana untuk mendapatkan uang. Tentu saja jawaban Nabi saw adalah, “Kalau saja aku tahu hal gaib, tentu aku sudah menggunakannya untuk mendapatkan banyak keuntungan di dunia ini.” Jelaslah mukjizat tidak dimaksudkan untuk tujuan-tujuan seperti itu. “Aku adalah seorang Nabi. Aku hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita baik kepada orang-orang yang beriman.”
Kaum musyrik itu menganggap Nabi saw akan memperlihatkan mukjizat kalau diminta kapan pun dan untuk tujuan apa pun. Itulah sebabnya mereka menginginkan Nabi memancarkan mata air dari bumi, memiliki rumah emas, dan meramalkan harga pasar. Namun, faktanya adalah bahwa mukjizat tak ubahnya seperti wahyu. Terjadinya mukjizat bergantung pada “sana”, bukan pada “sini”. Wahyu tidak mengikuti kemauan Nabi. Wahyu merupakan proses yang mempengaruhi kehendak Nabi. Begitu pula dengan mukjizat. Mukjizat juga merupakan proses yang berasal dari “sana” dan mempengaruhi kehendak Nabi, kendatipun yang melakukan aksi mukjizat tersebut adalah Nabi. Itulah arti kata “atas kehendak Allah” dalam kaitannya dengan wahyu dan mukjizat:
Sesungguhnya mukjizat-mukjizat itu terserah kepada Allah. Dan sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang nyata. (QS. al-‘Ankabût: 50)
Ayat ini telah disalahtafsirkan oleh misionaris Kristen. Begitu pula dengan pengungkapan hal gaib secara mukjizat. Sejauh menyangkut personalitas Nabi saw, dia tidak tahu hal gaib. Al-Qur’an Suci mengatakan, “Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa aku malaikat, juga aku tidak tahu hal gaib.”
Namun ketika dalam pengaruh supranatural, Nabi saw menuturkan hal gaib, dan ketika ditanya dari mana dia tahu, dia menjawab bahwa Allah Yang Mahatahu telah memberitahunya.
Ketika Nabi saw mengatakan tidak tahu hal gaib, dan kalau dia tahu tentu dia akan mendapat banyak uang dengan memanfaatkan pengetahuannya tentang yang gaib, dia ingin menyangkal dugaan keliru kaum musyrik. Dia menjelaskan bahwa pengetahuan tentang yang gaib merupakan bagian dari mukjizat, dan dia menerima pengetahuan seperti itu hanya melalui wahyu Allah. Seandainya pengetahuannya tentang yang gaib itu otomatis dan seandainya dapat memanfaatkannya untuk tujuan yang dikehendakinya, tentu dia sudah memanfaatkannya untuk keuntungannya sendiri, dan tak akan menyebutkan harga pasar ke depan kepada orang lain yang akan menguntungkan mereka saja.
Dalam ayat lain disebutkan pula, yang artinya:
(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak mempertihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuati kepada Rasul yang dipilih-Nya. (QS. al-Jin: 26-27)
Nabi Muhammad saw tentu saja adalah Rasul pilihan-Nya. Kemudian, Al-Qur’an Suci menceritakan banyak mukjizat nabi-nabi sebelumnya seperti Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as dan Nabi Isa as. Lantas mana mungkin Nabi saw, ketika diminta memperlihatkan mukjizat seperti mukjizat nabi-nabi sebelumnya, mengatakan bahwa dirinya hanyalah seorang manusia yang diutus sebagai Rasul? Apakah kaum musyrik itu tidak berhak menjawab, “Anda sendiri dengan fasih menguraikan mukjizat nabi-nabi sebelumnya. Apakah mereka itu bukan manusia atau apakah mereka itu bukan Nabi?” Mungkinkah kontradiksi yang mencolok seperti itu ada dalam Al-Qur’an Suci? Apakah dapat dibayangkan bahwa kaum musyrik itu tidak melihat kontradiksi yang mencolok seperti itu?
Seandainya pikiran orang-orang yang “berpandangan terbuka” ini benar, tentu yang dikatakan Nabi saw bukan “Mahasuci Allah, aku hanyalah seorang manusia yang menjadi Rasul”, tetapi “Mahasuci Allah, karena aku Nabi terakhir, maka aku tak termasuk dalam norma yang berlaku pada nabi-nabi lain. Karena itu jangan suruh aku melakukan apa yang nabi-nabi lain diminta untuk melakukannya.” Namun Nabi saw tidak mengatakan begitu. Nabi saw justru mengatakan, “Aku adalah seorang Rasul seperti rasul-rasul lainnya.”
Ini menunjukkan bahwa yang diminta kaum musyrik dari Nabi Muhammad saw bukanlah mukjizat dengan tujuan untuk menemukan kebenaran. Mereka meminta sesuatu yang lain, dan permintaan mereka itu sedemikian rupa sehingga Nabi saw tak mengabulkannya. Itulah sebabnya Nabi saw tak mau mengabulkan permintaan arogan dan egois mereka. Sebenamya mereka meminta sesuatu yang mustahil.
Memang orang biasa suka merekayasa cerita<erita mukjizat, kemudian mengaitkan cerita-cerita itu bukan saja dengan para nabi dan imam, namun bahkan juga dengan kuburan, batu atau pohon. Namun itu bukan alasan kita untuk menolak kalau Nabi saw memiliki mukjizat selain Al-Qur’an Suci.
Kemudian, ada bedanya antara mukjizat nabi dan mukjizat wall. Mukjizat nabi merupakan mukjizat dari Allah dan bukti adanya misi dari Allah. Mukjizat nabi selalu ada kaitannya dengan tantangan. Mukjizat nabi ada kondisi khusus tertentunya, dan terjadi untuk tujuan khusus. Adapun mukjizat wali, itu merupakan kejadian supranatural yang murni hasil dari kekuatan spiritual dan kesucian pribadi seorang yang sempurna atau semi sempurna, dan kejadiannya bukan untuk membuktikan kebenaran adanya misi dari Allah. Mukjizat wali hampir merupakan urusan yang tak ada kondisi khususnya. Mukjizat nabi merupakan suara Allah yang mendukung orang tertentu. Sedangkan mukjizat wali bukan begitu.




- Source : https://teosophy.wordpress.com

KEUTAMAAN MEMBACA AL QUR’AN DENGAN BAIK DAN BENAR, SERTA MENGHAFALNYA.



Membaca Al-Qur’an merupakan ibadah yang paling utama dan dicintai Allah. Dalam hal ini para ulama sepakat, bahwa hukum membaca Al-Qur’an adalah wajib ‘ain. Maknanya, setiap individu yang mengaku dirinya muslim harus mampu baca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Kalau tidak, maka ia berdosa.


Karena bagaimana mungkin kita mengamalkan al-Qur’an tanpa mau membaca dan memahaminya. Beriman terhadap Al-Qur’an bukan sekedar percaya saja, namun mesti dibuktikan dengan implementasi yang nyata sebagai tuntutan dari iman tersebut yaitu membaca, memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Sungguh banyak keutamaan dan keuntungan yang diperoleh bagi orang yang membaca al Qur’an. Diantara keutamaan dan keuntungan orang yang membaca al-Qur’an yaitu;

Orang yang pandai (mahir, lancar dan benar) membaca Al-Qur’an akan disediakan tempat yang paling istimewa di surga bersama para malaikat yang suci. Sedangkan orang yang membaca terbata-bata (belum pandai), maka ia akan diberi dua pahala yaitu pahala mau belajar dan kesungguhan membaca, sesuai dengan sabda Rasulullah saw, ”Orang yang pandai membaca Al-Qur’an akan ditempatkan bersama kelompok para Malaikat yang mulia dan terpuji. Adapun orang yang terbata-bata dan sulit membacanya akan mendapat dua pahala.” (H.R Bukhari & Muslim).

KENAPA QUR’AN HARUS DIPELAJARI SECARA TALAQI?

Seperti yang diketahui, pada prinsipnya Al-Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm), tetapi “bacaan” (qira’ah), dalam arti ucapan dan sebutan. Baik proses turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan-(transmisi)-nya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang dimaksud dengan “membaca” Al-Qur’an adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin). Sedangkan tulisan berfungsi sebagai penunjang semata. Sebab sumber semua tulisan itu sendiri adalah hafalan, atau apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’ (baca: M.M. Al-A’zami).

Selain itu, sebagaimana diketahui, karakter huruf arab sangat jauh berbeda dengan huruf latin. Malah kalau boleh dibilang, semua huruf arab itu tidak ada padanannya dalam huruf latin.

Tidak ada orang yang bisa menyebutkan huruf "syin" seperti dalam kata "Syajarah", kecuali dia belajar dulu membunyikannya di depan seorang yang ahli membaca Al-Quran. Sebab huruf 'syin' itu punya karakter, sifat dan cara membunyikan yang spesifik, unik dan tidak ada padananya dalam bahasa lain.

Demikian juga tidak ada orang yang bisa menyebutkan huruf 'ain seperti dalam kata 'ibadah. Huruf 'ain itu tidak bisa diwakili oleh koma, atau apostrop atau apapun. Karena huruf 'ain itu punya karakter, sifat dan cara melafazkan yang teramat unik. Hanya orang yang belajar Al-Quran dengan talaqqi saja yang bisa melafazkan dengan benar.

Karena itulah, Al-Quran tidak pernah diajarkan lewat tulisan dan huruf. Al-Quran diajarkan lewat mendengarkan dan mengucapkan/mengulang apa yang didengarkan, untuk mengetahui, apakah sudah benar pengucapan kalimat yang ada dalam Al Quran.

Berikut ada sebuah cerita dan latar belakang kenapa Al Qur’an harus dipelajari dan dibaca secara benar.

Nabi Muhammad SAW, lahir dan dibesarkan di tengah kabilah bangsa Arab yang dikenal sangat menjunjung sastra dan kefasihan, kabilah quraisy. Tak seorang mukmin pun meragukan kecakapan tutur kata dan kefasihan Rasulullah SAW. Kejadian ini terjadi pada saat Rasulullah  SAW menerima wahyu al-Qur’an yang disampaikan melalui Jibril as, Rasul SAW sebagai seorang yang ummi (tidak mengenal tulisan dan tidak bisa membaca) memiliki semangat belajar yang tinggi. Saat menerima wahyu, Rasul menggerak-gerakkan lidah, pertanda ingin segera mampu menghafal dan menguasai cara baca al-Qur’an. Kejadian inilah yang melatarbelakangi turunnya ayat 16 sampai 18 surat al-Qiyamah. Sebagai satu teguran bagi Rasulullah SAW dan merupakan etika serta metode mempelajari cara membaca Al-Qur’an.


لاتحرك به لسانك لتعجل به ان علينا جمعه وقرءانه فاذا قرأنه فاتبع قرءا

16.     Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran Karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya [Maksudnya: nabi Muhammad s.a.w. dilarang oleh Allah menirukan bacaan Jibril a.s. kalimat demi kalimat, sebelum Jibril a.s. selesai membacakannya, agar dapat nabi Muhammad s.a.w. menghafal dan memahami betul-betul ayat yang diturunkan itu.].
17. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
18. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.

Subhanallah.., betapa bacaan al-Qur’an telah dikhususkan oleh Allah,, sehingga cara bacanya pun tidak dapat disamakan dengan bacaan bahasa Arab pada umumnya. Sedangkan Muhammad bin Abdillah adalah putra Arab yang sangat fasih dalam berbicara.

Pada ayat ke-18 Allah swt, menegaskan suatu metode pembelajaran yang kemudian terwarisi turun temurun oleh para sahabat, tabi’in, tabi’ittabi’in hingga zaman ini. Metode inilah yang dikenal dengan sebutan talaqqi. Kalau saja seorang yang fasih berbahasa Arab harus ditalaqqi bacaan al-Qur’an, maka tidak ada alasan yang membenarkan seorang mukmin mempelajari bacaan al-Qur’an secara otodidak tanpa seorang pembimbing yang dapat mempertanggung jawabkan kebenaran apa yang diajarkan.

Dari ulasan ini timbul suatu pertanyaan, seperti apakah cara baca yang harus diikuti oleh Rasulullah SAW dalam membaca Al-Qur’an?

Allah mempertegas cara baca Al-Qur’an yang diperintahkan kepada Rasul-Nya dalam surat al-Furqon : 32 yang artinya

32. Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah [Maksudnya: Al Quran itu tidak diturunkan sekaligus, tetapi diturunkan secara berangsur-angsur agar dengan cara demikian hati nabi Muhammad s.a.w menjadi Kuat dan tetap ] supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).

Pada ayat tersebut Allah-lah yang membacakan al-Qur’an dengan tartil, sehingga para ulama menegaskan “bahwa tartil merupakan sifat atau cara Allah berbicara dalam Al-Qur’an, maka barang siapa yang tidak mentartilkan bacaan Al-Qur’an sesungguhnya dia telah menafikan salah satu sifat berbicara Allah”

Bacaan tartil inilah yang diperintahkan Allah kepada Rasulullah dan semua pengikutnya dalam Tilawah al-Qur’an. Allah menegaskan dalam surah Al Muzzammil : 4

ورتل القرءان ترتيلا

4. Atau lebih dari seperdua itu. dan Bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan.

Makna ayat ini pernah didiskusikan oleh para sahabat, dan Ali bin Abi thalib menjawab berdasarkan apa yang diajarkan oleh Rasulullah : bahwa yang dimaksud dengan tartil adalah membaguskan cara mengucapkan huruf dan mengetahui tempat berhenti (pemenggalan kata/waqof). Hal ini dikarenakan jika terjadi kesalahan dalam mengucapkan huruf atau memenggal kata dapat berakibat pada rusaknya susunan Al-Qur’an atau merubah makna yang diinginkan Allah swt.

Ibnu mas’ud, seorang sahabat yang bacaannya dikenal sangat mirip dengan bacaan Rasulullah, suatu hari pernah mendengarkan bacaan seorang pemuda yang sedang beliau bimbing membaca al-Qur’an. Ketika sampai pada ayat :

انما الصدقات للفقراء والمساكين

pemuda tersebut memendekkan mad pada kata fuqoroo’ , maka dengan segera Ibnu Mas’ud menghentikan bacaannya seraya berkata : “Rasulullah tidak membacakan ayat ini seperti ini kepadaku.” Lalu pemuda itupun bertanya tentang bacaan Rasulullah pada ayat tersebut. Ibnu Mas’ud mengulang kalimat tersebut dengan memanjangkan mad. Ibnu Mas’ud tak sedikit pun menjawab dengan teori tajwid yang kita kenal sekarang ini. Tidak lain hal ini merupakan suatu penegasan bahwa al-Qur’an harus dipelajari dengan TALAQQI. Sebuah metode yang pada kenyataannya mulai terlupakan di jaman ini. Astaghfirullah…

Demikianlah dituntut, mengapa kita wajib mempelajari Qur’an secara Talaqqi, semata-mata agar ayat-ayat yang kita ucapkan, sama sesuai dengan yang Rasulullah SAW ajarkan / beliau terima dari Jibril AS. Dan bagaimana kita bisa mengetahui apakah apa yang kita ucapkan sama seperti dengan yang Rasulullah SAW ajarkan, yaitu dengan bimbingan seorang guru Qur’an (Qari’) yang memiliki kompetensi untuk itu.

MENGAPA HARUS MENGHAPAL AL QUR’AN

Hafalan bukanlah metode belajar yang berdiri sendiri. Ia bagian dari satu rangkaian/proses menuntut ilmu yang secara langsung diajarkan oleh Rasulullah saw kepada para sahabat beliau. Jika kita telusuri lebih jauh, perintah baginda Rasul saw untuk menghafalkan Al-Qur’an kala itu bukan hanya karena kemuliaan, keagungan dan kedalaman kandungannya, akan tetapi juga untuk menjaga otentisitas Al-Qur’an itu sendiri.

Demikian juga dengan hafalan Al-Hadith, sangat berperan dalam menjaga otentisitas dan keberlangsungan Hadith-hadith Nabi saw. Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim misalnya, dua Muhaddith yang sejak kecil berkunjung ke berbagai tempat dan negara hanya untuk menemui dan belajar langsung kepada para ulama yang hafal dan memahami Hadith-hadith Rasul saw dengan sangat baik. Pentingnya hafalan Hadith ini telah Rasulullah saw isyaratkan dalam sebuah sabda beliau: “Semoga Allah menjadikan berseri-seri wajah seseorang yang mendengar dari kami Hadits lalu dia menghafalkannya dan menyampaikannya kepada orang lain” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah dari sahabat Zaid bin Tsabit r.a.).

Disamping berkaitan dengan otentisitas, hafalan juga berkaitan dengan pemahaman dan pengamalan. Sebagai utusan Allah swt, baginda Rasul saw, penerima wahyu (Al-Qur'an), memiliki kemampuan menangkap, memahami, dan menafsirkan firman Allah swt dengan sangat baik. Jadi, seperti apa dan bagaimana kandungan Al-Qur’an dijelaskan dan dilakukan langsung oleh beliau (QS. al-Nahl: 44).

Hafalan Hadith pun demikian, diikuti pemahaman. Para ulama, dalam menghafal satu Hadith misalnya, diperoleh dari ulama yang otoritatif, bukan sekedar dari membaca buku yang diproduksi secara luas tanpa bimbingan orang-orang yang ahli (Muhaddith). Al-Muhaddith Imam Bukhari misalnya, berkunjung ke berbagai negara untuk bertemu langsung dengan banyak ulama dalam rangka menghafal Hadith dan memahami isinya. Guru-guru beliau banyak sekali, di antara yang sangat terkenal adalah Abu ‘Ashim An-Nabiil, Al Anshari, Makki bin Ibrahim, Ubaidaillah bin Musa dan Abu Al Mughirah.

Hal ini menunjukkan bahwa dalam setiap hafalan Hadith, harus ada proses pemahaman ilmu dari sang ulama kepada sang murid. Oleh karenanya, umat Islam masa klasik tidak pernah diresahkan oleh Hadits-hadits atau ayat-ayat yang bertebaran secara sepotong-potong di tengah umat. Ayat-ayat dan Hadits selalu dipelajari dalam konteks, tidak sekedar dihafalkan tanpa penjelasan yang memadai.

Sebagai sumber utama umat Islam, hafalan Al-Qur’an dan Al-Hadith memberi andil sangat besar dalam perkembangan peradaban Islam.

Melihat peran sentral tersebut, maka tidak heran jika para ulama memandang bahwa hafalan Al-Qur’an adalah satu keniscayaan. Bahkan ada yang sampai menyatakannya sebagai prasyarat bagi siapapun yang ingin mendalami ilmu-ilmu Keislaman secara luas. Sebab bagi mereka, menuntut ilmu itu ada tahap-tahapnya. Dan tahap yang paling atas dan utama adalah menghafal Al-Qur’an, terang Abu Umar bin Abdil Barr. Al-Hafizh An-Nawawi juga menegaskan: “Yang pertama kali dimulai adalah menghafal Al-Qur’an yang mulia, dimana itu adalah ilmu yang terpenting diantara ilmu-ilmu yang ada.Adalah para salaf dahulu tidak mengajarkan ilmu-ilmu Hadits dan Fiqh kecuali kepada orang yang telah menghafal Al-Qur’an (An-Nubadz fii Adabi Thalabil ‘Ilmi, p. 60-61).

Apa keutamaan menghafal al-Qur’an itu?

 Banyak hadits dari Rasulullah SAW yang menganjurkan untuk menghafal Al-Qur’an, agar diri orang muslim tidak lepas dari kitab Allah, seperti yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas secara marfu’:

 إن الذي ليس في جوفه شيء من القرأن كالبيت الخرب

 “Sesungguhnya orang yang di dalam dirinya tidak ada sedikit pun dari al-Qur’an, maka ia seperti rumah yang roboh.” (diriwayatkan At-Tirmidzy).

Rasulullah SAW menghormati orang-orang yang menghafal Al-Qur’an dan mengajarkannya, menempatkan mereka pada kedudukan tersendiri dan melebihkan mereka dari pada yang lainnya. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata, “Rasulullah SAW mengirim beberapa orang utusan yang jumlahnya cukup banyak. Lalu beliau mengecek mereka satu persatu, tentang hafalan al-Qur’annya.

Beliau tiba pada salah seorang di antara mereka yang paling muda usianya. Beliau bertanya, “Apa yang engkau hafal wahai fulan?”

Orang itu menjawab, “Aku hafal ini dan itu serta surat Al-Baqarah.”

Beliau bertanya, “Apakah engkau hafal surat Al-Baqarah?”

“Benar”, jawabnya.

Beliau bersabda, “pergilah dan engkau adalah pemimpin rombongan.”

Seseorang  yang lebih terpandang di antara mereka berkata, “Demi Allah, tidak ada yang menghalangiku untuk menghafal surat Al-Baqarah melainkan karena aku takut tidak mampu melaksanakan isinya.”

Lalu beliau bersabda, “pelajarilah Al-Qur’an dan bacalah ia. Sesungguhnya perumpamaan Al-Qur’an bagi orang yang mempelajarinya lalu dia membacakannya, seperti kantong kulit yang diisi minyak kesturi, yang aromanya menyebar ke segala penjuru. Siapa yang mempelajarinya lalu dia tidur, seperti kantong kulit yang diikatkan kepada minyak kesturi.”

Jika demikian ini perlakuan beliau terhadap seseorang ketika masih hidup, maka setelah meninggal, jasadnya didahulukan pengurusannya oleh beliau, seperti perlakuan terhadap para syuhada’ perang uhud.

Beliau biasa megutus para Qori’ di antara para sahabat, untuk mengajarkan kewajiban-kewajiban Islam dan adab-adabnya, karena mereka hafal kitab Allah dan lebih mampu melaksanakan tugas ini. Di antara mereka itu adalah tujuh puluh orang yang mati syahid di perang Bi’r Ma’unah yang terkenal dalam tarikh, karena pengkhianatan orang-orang musyrik.

Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Orang yang membaca Al-Qur’an datang pada hari kiamat, lalu Al-Qur’an berkata, ‘ya rabbi berilah dia pakaian’. Maka dia diberi mahkota kemuliaan. Kemudian Al-Qur’an berkata lagi, ‘ya rabbi tambahilah’. Maka dia diberi pakaian kemuliaan. Kemudian Al-Qur’an berkata lagi, ‘ya rabbi ridhailah dia’. Maka Allah ridha padanya. Lalu dikatakan kepadanya, ‘bacalah dan tingkatkanlah’. Dan dia ditambahi satu kebaikan dari setiap ayat.” (Diriwayatkan At-Tirmidzy)

KEUTAMAAN DI DUNIA

Berikut beberapa keutamaan penghapal  Al  Quran berdasarkan ayat qur’an dan hadits-hadits shohih yang kami ketahui.

1.Hifzhul Qur’an Merupakan Nikmat Rabbani Yang Datang Dari Allah

Bahkan Allah membolehkan seseorang memiliki rasa iri terhadap para ahlul Qur’an.
“Tidak boleh seseorang berkeinginan kecuali dalam dua perkara, menginginkan seseorang yang diajarkan oleh Allah kepadanya Al Quran kemudian ia membacanya sepanjang malam dan siang, sehingga tetangganya mendengar bacaannya, kemudian ia berkata, ‘Andaikan aku diberi sebagaimana si fulan diberi, sehingga aku dapat berbuat sebagaimana si fulan berbuat.’” (Riwayat Bukhari)

2. Al Quran Menjanjikan Kebaikan, Berkah, Dan Kenikmatan Bagi Penghafalnya

“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al Quran dan mengajarkannya.”(Riwayat Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, orang yang terbaik di dunia ini bukanlah orang yang punya memiliki harta yang melimpah, jabatan maupun pangkat yang tinggi. Namun, disisi Allah Swt orang terbaik itu adalah orang yang mau belajar al-Qur’an dan mengajarkan kepada orang lain.

3. Seorang Hafizh Al Quran Adalah Orang Yang Mendapatkan Tasyrif  Nabawi (Penghargaan Khusus Dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam)

Di antara penghargaan yang pernah diberikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabat penghafal Al Quran adalah perhatian yang khusus kepada para syuhada Uhud yang hafizh Al Quran. Rasul mendahulukan pemakamannya. “Nabi mengumpulkan di antara dua orang syuhada Uhud kemudian beliau bersabda, ‘Manakah di antara keduanya yang lebih banyak hafal Al Quran, ketika ditunjuk kepada salah satunya maka beliau mendahulukan pemakamannya di liang lahat.’” (Riwayat Bukhari)

4. Hifzhul Qur’an Merupakan Ciri Orang Yang Diberi Ilmu

“Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim.” (al-Ankabut : 49)

5. Hafizh Qur’an Adalah Keluarga Allah Yang Berada Di atas Bumi

“Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga di antara manusia.” para sahabat bertanya, ‘Siapakah mereka ya Rasulullah?’ Rasul menjawab, ‘Para ahli Al Quran. Mereka lah keluarga Allah dan pilihan-pilihan-Nya.”‘ (Riwayat Ahmad)

6. Menghormati Seorang Hafizh Al Quran Berarti Mengagungkan Allah

“Sesungguhnya termasuk mengagungkan Allah menghormati orang tua yang muslim, penghafal Al Quran yang tidak melampaui batas (di dalam mengamalkan dan memahaminya) dan tidak menjauhinya (enggan membaca dan mengamalkannya) dan penguasa yang adil.”(Riwayat Abu Daud)

7. Mengangkat Kejayaan (meninggikan) Umat Islam.

Kejayaan suatu umat Islam itu dengan membaca al-Qur’an dan mengamalkannya. Namun sebaliknya, musibah yang menimpa umat ini disebabkan karena sikap acuh tak acuh kepada al-Qur’an dan meninggalkannya. Rasulullah saw bersabda: ”Sesungguhnya Allah Swt meninggikan (derajat) ummat manusia ini dengan Al-Qur’an dan membinasakannya pula dengan Al-Qur’an” (H.R Muslim). Inilah rahasia mengapa generasi awal umat Islam (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’itabi’in) menjadi generasi terbaik umat ini sebagaimana dinyatakan oleh Rasul saw. Mengapa demikian?

Jawabannya adalah karena mereka mengamalkan al-Qur’an dan sunnah Rasul saw. Maka Islampun berjaya pada masa-masa mereka, sehingga tersebar keseluruh penjuru dunia. Namun, setelah generasi tersebut sampai saat ini umat Islam meninggalkan al-Qur’an sehingga umat Islam menjadi lemah dan hina karena dijajah oleh orang kafir, bahkan dizalimi dan dibunuh seenaknya oleh orang kafir akibat meninggalkan al-Qur’an.

8. Memberikan ketenangan kepada yang membacanya.

Orang yang membaca dan mendengar Al-Qur’an akan mendapatkan sakinah, rahmah, doa malaikat dan pujian dari Allah. Nabi saw bersabda: ”Tidaklah suatu kaum berkumpul dalam salah satu rumah Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah (al-Qur’an) dan mempelajarinya, melainkan ketenangan jiwa bagi mereka, mereka diliputi oleh rahmat, dikelilingi oleh para malaikat, dan Allah menyebut nama-nama mereka di hadapan para Malaikat yang ada di sisi-Nya.” (H.R Muslim).

Memang, membaca dan mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an menentramkan hati kita sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah Swt, ““...Ingatlah, hanya dengan zikir (mengingat) Allah hati menjadi tenang”. (Q.S Ar-Ra’d: 28). Al-Qur’an merupakan zikir yang paling afdhal (utama). Oleh karena itu, ketenangan tidaklah diperoleh dengan harta yang banyak, pangkat dan jabatan, namun diperoleh dengan sejauh mana interaksi kita dengan al-Qur’an.

KEUTAMAAN DI AKHIRAT

1. Al Quran Akan Menjadi Penolong (syafa’at) Bagi Penghafalnya.

Dari Abi Umamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Bacalah olehmu Al Quran, sesungguhnya ia akan menjadi pemberi syafa’at pada hari kiamat bagi para pembacanya (penghafalnya).” (Riwayat Muslim).

Tentunya tidak hanya sekedar membaca, juga mengamalkannya. Namun demikian, tanpa membaca al-Qur’an maka tidak mungkin kita mengamalkannya. Selain Rasulllah saw, tidak seorangpun yang mampu memberikan pertolongan kepada seseorang pada hari hisab, kecuali al-Qur’an yang dibaca selama ia hidup di dunia.

2. Hifzhul Qur’an Akan Meninggikan Derajat Manusia Di Surga.

Dari Abdillah bin Amr bin ‘Ash dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Akan dikatakan kepada shahib Al Quran, ‘Bacalah dan naiklah serta tartilkan sebagaimana engkau dulu mentartilkan Al Quran di dunia, sesungguhnya kedudukanmu di akhir ayat yang kau baca.” (Riwayat Abu Daud dan Turmudzi)

3. Para Penghafal Al Quran Bersama Para Malaikat Yang Mulia Dan Taat.

“Dan perumpamaan orang yang membaca Al Quran sedangkan ia hafal ayat-ayatnya bersama para malaikat yang mulia dan taat.” (Muttafaqun ‘alaih)

4. Bagi Para Penghafal Kehormatan Berupa Tajul Karamah (Mahkota Kemuliaan).

“Mereka akan dipanggil, ‘Dimana orang-orang yang tidak terlena oleh menggembala kambing dari membaca kitabku?’ Maka berdirilah mereka dan dipakaikan kepada salah seorang mereka mahkota kemuliaan, diberikan kepadanya kesuksesan dengan tangan kanan dan kekekalan dengan tangan kirinya.” (Riwayat at-Tabrani)

5. Kedua Orang Tua Penghafal Al Quran Mendapat Kemuliaan

“Siapa yang membaca Al Quran, mempelajarinya, dan mengamalkannya, maka dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari kiamat. Cahayanya seperti cahaya matahari dan kedua orang tuanya dipakaikan dua jubah (kemuliaan) yang tidak pernah didapatkan di dunia. Keduanya bertanya, ‘Mengapa kami dipakaikan jubah ini?’ Dijawab, ‘Karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al Quran.’” (Riwayat al-Hakim)

6.  Penghafal Al Quran Adalah Orang Yang Paling Banyak Mendapatkan Pahala Dari Al Quran

Untuk sampai tingkat hafal terus-menerus tanpa ada yang lupa, seseorang memerlukan pengulangan yang banyak, baik ketika sedang atau selesai menghafal. Dan begitulah sepanjang hayatnya, sampai bertemu dengan Allah. Sedangkan pahala yang dijanjikan Allah adalah dari setiap hurufnya. “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu hasanah, dan hasanah itu akan dilipat gandakan sepuluh kali. Aku tidak mengatakan Alif Lam Mim itu satu huruf, namun Alif itu satu huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf.” (Riwayat at-Turmudzi)

7. Penghafal Al Quran Adalah Orang Yang Akan Mendapatkan Untung Dalam Perdagangannya dan Tidak
Akan Merugi.

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (Faathir: 29-30)

Melihat semua ini nampaknya, kita semua harus memulai untuk menghafal Al Quran. Mari kita mulai…!(***)

Wallahua’lam
Dihimpun dari berbagai nara sumber internet (Lembaga Tahfizh, dll)









- Source : ewidoyoko.blogspot.sg

Jumat, 29 Juli 2016

Hadis Akhlak Ushul Kafi: Hak Tetangga

Hadis Akhlak Ushul Kafi: Hak Tetangga

Hak Tetangga


1. Rasulullah Saw bersabda, "Tetangga seperti diri sendiri, tidak merugikan dan juga tidak berdosa. Menghormati tetangga sama dengan menghormati ibu."[1]

2. Imam Shadiq as berkata, "Berbuat baik kepada tetangga akan menambah rezeki."[2]

3.Imam Shadiq as berkata, "Berbuat baik kepada tetangga akan membuat rumah lebih makmur dan menambah umur."[3]

4. Imam Kazhim as berkata, "Berbuat baik kepada tetangga bukan hanya tidak mengganggunya, tapi bersabar atas gangguannya."[4]

5. Imam Shadiq as berkata, "Ketahuilah bahwa seseorang yang tidak berbuat baik dengan tetangganya bukan dari kita."[5]

6. Imam Shadiq as berkata, "Seorang mukmin adalah orang yang melindungi tetangganya dari gangguan dan kezalimannya."[6]

7. Rasulullah Saw bersabda, "Tetangga terhitung sampai 40 rumah, baik itu dari depan, belakang, kanan dan kiri."[7]

Sumber: Vajeh-haye Akhlak az Ushul Kafi, Ibrahim Pishvai Malayeri, 1380 Hs, cet 6, Qom, Entesharat Daftar Tablighat-e Eslami.
Baca juga:

Hadis Akhlak Ushul Kafi: Hak Mukmin atas Saudaranya
Hadis Akhlak Ushul Kafi: Berprasangka Baik

[1]. Bab Haq al-Jiwar, hadis 2.
[2]. Ibid, hadis 3.
[3]. Ibid, hadis 8.
[4]. Ibid, hadis 9.
[5]. Ibid, hadis 11.
[6]. Ibid, hadis12.
[7]. Bab Hadd al-Jiwar, hadis 1.




- Source : allaboutahlulbait.blogspot.sg

Falsafah Salam Salat Menurut Imam Ja’far Shadiq





Salat adalah salah satu ibadah personal yang banyak memiliki rahasia. Rahasia ini tidak diketahui kecuali oleh mereka yang telah dipercaya untuk memegangnya. Mereka tidak lain adalah Ahlul Bait Rasulullah saw.


Salah satu kewajiban yang harus kita lakukan dalam salat adalah mengucapkan salam:as-salāmu ‘alaikum wa rahmatullāh wa barakātuh.

Kewajiban salam ini telah ditetapkan pada malam Mikraj. Ketika Rasulullah saw sedang membaca tasyahud di salat malam Mikraj ini, beliau menyaksikan banyak saf para malaikat dan para nabi utusan Allah. Beliau diperintahkan, “Wahai Muhammad! Ucapkanlah salam kepada mereka.” Beliau pun mengucapkan, “As-salāmu ‘alaikum wa rahmatullāh wa barakātuh.”

Lalu Allah mewahyukan, “Aku adalah salam dan rahmat. Sedangkan engkau dan keturunanmu adalah berkah.”

Imam Ja’far Shadiq as pernah ditanya alasan mengapa salam diwajibkan dalam salat. Beliau menjawab, “Salam bisa membebaskan salat.”

Mufadhdhal bin Umar bertanya, “Mengapa mushalli mengucapkan salam dengan mengisyaratkan kepala ke arah kanan, bukan ke arah kiri?”

Imam Shadiq as menjawab, “Malaikat yang diperintahkan untuk menulis kebaikan berada di sebelah kanan. Sedangkan malaikat yang diperintahkan untuk menulis keburukan berada di sebelah kiri.”

“Lalu mengapa salam bersifat plural? Padahal malaikat di sebelah kanan hanya satu orang,” lanjut Mufadhdhal.

Imam Shadiq menjawab, “Mushalli mengucapkan salah untuk malaikat di sebelah kanan dan juga malaikat di sebelah kiri. Tetapi keutamaan sebelah kanan terwujud dengan mengisyaratkan ke arah kanan.”



-Source : allaboutahlulbait.blogspot.sg

Kisah: Mengapa Istikharahku Buruk tapi Hasilnya Baik?






Suatu hari, ada seorang datang kepada Imam Ja’far As-Shodiq, Ia berkata, “ Wahai Imam, aku ingin pergi berlayar untuk bekerja, tolong lakukan istikharah untukku agar aku tau apakah baik jika aku berangkat kali ini.”

Sesaat kemudian Imam melakukan istikharah dan memberi jawaban, “Tidak baik untukmu jika berlayar saat ini.”

Setelah mendapat jawaban, orang ini pulang dengan raut wajah gelisah. Mana mungkin istikhoroh itu buruk padahal saat ini waktu yang sangat tepat untuk berniaga. Kegelisahannya tak kunjung hilang hingga dia memutuskan untuk tetap berlayar.

Tak disangka-sangka, ternyata perjalanannya membuahkan hasil. Ia mendapat untung berkali lipat dari biasanya. Dia menemukan semuanya dalam keadaan baik dan hampir tidak menemui masalah sedikit pun. Sampai akhirnya dia pulang dengan rasa puas dan gembira.

Ketika sampai di kotanya, dia merasa bingung. Kenapa istikharahnya buruk tapi hasilnya amat baik. Bahkan dia belum pernah mendapat untung sebesar ini. Akhirnya, dia pun memutuskan untuk menghadap kepada Imam Ja’far As-Shodiq.

Dia bertanya, “Wahai Imam, kemarin aku meminta tolong kepadamu untuk istikharah namun hasilnya buruk. Tapi aku tetap berangkat dan ternyata mendapatkan hasil yang berlipat ganda.”

Imam tersenyum mendengarnya, beliau pun menjawab, “Ingatkah engkau ketika hendak pulang ke kotamu, setelah melaksanakan solat maghrib dan isya’ kau duduk bersama rekan-rekan untuk membicarakan hasil perdagangan yang memuaskan.”

“Iya benar” Jawabnya.

“Kau makan dan minum hingga larut malam kemudian tidur. Dan ketika hendak melaksanakan solat subuh, ternyata matahari telah terbit.”

“Iya benar wahai Imam”

Kemudian Imam berkata,

“Andaikan Allah swt memberimu dunia dan seisinya engkau tidak akan bisa membayar kerugian itu”

Betapa besar kerugian orang yang melewatkan waktu solatnya. Berulang kali Rasulullah saw menekankan untuk memperhatikan waktu solat. Tidak meremehkannya dengan menunda-nunda waktunya. Tidak mendahulukan urusan dunia dihadapan amalan yang paling dicintai Allah ini.

Adakah yang lebih penting dari solat? Rasul pernah bersabda,

“Kelak tidak akan mendapat syafaatku, orang yang meremehkan (waktu) solat”

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ -٤- الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ -٥

 “Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya.”
(Al-Ma’un 4-5)





- Source : allaboutahlulbait.blogspot.sg



SAYA BUKAN SYIAH



Betapa agungnya ketika orang akhirnya melihat saya sebagai syiah. Tapi begitu kecilnya, ketika diri mengetahui bahwa aku bukanlah seorang syiah.

Karena Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Wahai orang-orang Syi’ah, jadilah hiasan bagi kami dan jangan menjadi noda untuk kami, berbicaralah santun kepada masyarakat, jagalah lidah kalian, dan hindarilah campur tangan dalam urusan orang lain dan perkataan yang buruk..”

Aku sungguh belum sanggup mencapai hal itu..

Dan jangan pernah bilang jika aku syiah, karena kata Imam Ja’far Ash-Shadiq lagi :

“Syi’ah kami adalah warak dan pekerja, mereka adalah orang-orang yang percaya dan terpercaya, ahli zuhud dan ibadah, se-nantiasa menunaikan lima puluh satu rakaat shalat sehari semalam, orang-orang yang terjaga di malam hari dan berpuasa di siang hari. Mereka menunaikan ibadah haji ke Baitul Haram … dan menjaga diri dari segala yang haram”.

Sungguh, aku tidak akan mampu mendekati dari kriteria yang ada.

Aku sangat sedih ketika aku dituding syiah, karena kata Imam Jafar as :

“Demi Allah, Syi’ah Ali as. tidak lain adalah orang yang suci perut dan kemaluannya, orang yang beramal hanya untuk Penciptanya, dan mengharapkan pahala-Nya serta takut akan siksa-Nya”.

Aku hanya mampu melihat dari luar, karena aku tahu sangat banyak yang harus aku perbaiki dalam diriku.

Karena itu jangan pernah tuduh aku sebagai syiah, sebab beliau berkata lagi :

“Wahai Syi’ah keluarga Muhammad saw.! Sesungguhnya bukanlah dari kami orang yang tidak menguasai dirinya pada saat marah, tidak berkata sopan pada orang yang berbicara dengannya, tidak menjaga persahabatannya dengan orang yang ber-samanya, dan tidak memegang janji perdamaian dengan orang yang mengajaknya berdamai”.

Semakin faham betapa berat menjadi Syiah, maka semakin kecil rasanya hatiku. Apalagi ketika kalian mengejekku sebagai syiah. Sungguh malu diriku rasanya ketika Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata :

“Ujilah Syi’ah kami di waktu shalat;
bagaimana mereka menjaga waktu-
waktu-nya? Dan bagaimana mereka
menjaga rahasia kami dari musuh-musuh kita?”.

Betapa aku merasa jauh dari semua kriteria syiah. Aku bukanlah syiah. Aku hanya mencoba patuh pada Imamku dan berusaha yang terbaik supaya hidupku menjadi lebih baik.

“Sampaikanlah salam kepada
siapa saja dari mereka yang kamu pandang patuh padaku dan mendengarkan kata-kataku, wasiatkanlah pada mereka takwa kepada Allah swt, warak dalam beragama, usaha keras demi Allah, jujur dalam berbicara, menjalankan amanat, lama dalam sujud dan baik dalam bertetangga, karena Nabi saw. datang dengan membawa ajaran-ajaran tersebut.

Laksanakanlah amanat kalian secara penuh untuk orang yang mempercayakanmu agar menjaganya, baik dia orang yang saleh maupun orang yang jahat, karena Nabi saw. senantiasa menganjurkan masyarakat agar menyelesaikan kontrak yang telah disepakati bersama.

Jagalah silaturahmimu dengan keluarga, hadirilah jenazah mereka, jenguklah mereka yang sakit, penuhilah hak-hak mereka, karena orang yang warak dalam beragama, jujur dalam bertutur kata, setia dalam amanat dan berbudi pekerti
kepada masyarakat, niscaya orang lain akan menyebutnya sebagai Ja’fari (pengikut Imam Ja’far Ash-Shadiq as.),

Dengan begitu dia telah menggembirakanku dan membuat hatiku senang...."

Sungguh, aku bukan syiah.. Sedikitpun tidak akan menyamai..





- Source : allaboutahlulbait.blogspot.sg