Sudahkah Anda Bershalawat???

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: مَن صلَّى عليَّ صلاةً واحدةً ، صَلى اللهُ عليه عَشْرَ صَلَوَاتٍ، وحُطَّتْ عنه عَشْرُ خَطياتٍ ، ورُفِعَتْ له عَشْرُ دَرَجَاتٍ

“Barangsiapa yang mengucapkan shalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat baginya sepuluh kali, dan digugurkan sepuluh kesalahan (dosa)nya, serta ditinggikan baginya sepuluh derajat/tingkatan (di surga kelak)” HR an-Nasa’i (no. 1297)

Keutamaan Shalawat Kepada Nabi

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman: إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا {56}

Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QS. 33:56)

Ahlul Bait

مَثَلُ أَهْلِ بَيْتِي مَثَلُ سَفِيْنَةِ نُوْحٍ مَنْ رَكِبَهَا نَجَا وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرِقَ

“Perumpamaan Ahlul baitku seperti kapal nabi Nuh, barangsiapa yang menaikinya maka dia akan selamat dan barangsiapa yang enggan maka dia akan tenggelam (binasa).”

Senin, 19 Maret 2018

Kisah Nyata Keajaiban Maulid Nabi Muhammad Saw




Dua kisah berikut ini merupakan kisah nyata yang saya dapatkan dari Al Habib Jailani Asy-Syathiri kemarin, 26 Rabiul Awal 1437 atau 7 Januari 2016, di Rubat, Tarim, Yaman, pukul 06.30 waktu setempat.

Pertama, Habib Jailani bercerita bahwa kisah yang ia sampaikan berasal dari Sayyid Muhammad al-Maliki, dan Sayyid Muhammad dari ayahandanya Sayyid Alwi al-Maliki. Cerita bermula ketika Sayyid Alwi menghadiri peringatan Maulid Nabi di Palestina. Beliau terheran-heran menyaksikan orang yang terus berdiri sejak awal pembacaan maulid.

Sayyid Alwi pun memanggilnya, “Duhai tuan apa yang Anda lakukan, mengapa Anda berdiri sejak awal Maulid?

Lalu ia menjawab bahwa dulu ia pernah berjanji saat menghadiri sebuah Maulid Nabi untuk tidak berdiri hingga acara selesai, termasuk saat Mahallul Qiyam, momen di saat jamaah berdiri senrentak sebagai tanda penghormatan kepada Rasulullah. “Sebab menurutku itu bid’ah,” katanya.

Tiba-tiba, kata orang itu kepada Sayyid Alwi, pada momen Mahallul Qiyam ia menyaksikan Rasulullah hadir dan lewat di sebelahnya lalu berujar, “Kamu tak usah berdiri kamu duduk saja di tempatmu.

Aku pun ingin berdiri namun terasa susah. Sejak itulah aku sering sakit dan bahkan organ-organku bermasalah. Sehingga aku bernadzar jikalau Allah menyembuhkan penyakitku maka aku berjanji setiap ada maulid aku akan berdiri dari awal maulid hingga akhir. Dan alhamdulillah, dengan izin Allah aku diberikan kesembuhan, duhai Sayyid.

Sayyid Alwi pun mempersilakan orang tersebut melaksanakan nazarnya.

Kedua, kisah maulid Nabi yang datang dari Lebanon. Warga di sana biasa merayakan Maulid Nabi dengan menembakan senjata api ke atas untuk menunjukan kegembiraan. Tradisi ini dilakukan turun temurun. Hampir mirip dengan tradisi pernikahan di Arab pada umumnya. Nah, suatu ketika seorang putri beragama Nasrani bani Ghatas ikut melihat perayaan tersebut. Nasib nahas menimpanya kala seorang dari mereka melepaskan senjata. Peluru yang dilepaskan menyasar ke arah putri tersebut dan menembus tepat di kepalanya.

Ia pun bersimbah darah dan jatuh ke tanah. Ibunya yang melihat kejadian itu berteriak histeris, “Binti… Binti… Binti…. (putriku… Putriku… Putriku).

Dengan segera anaknya dilarikan ke Rumah Sakit Ghassan Hamud. Sayang, pihak rumah sakit tak bisa berbuat apa apa sebab pendarahan di otak terlalu parah. Mereka menyarankan agar segera dirujuk ke rumah sakit di Amerika yang lebih kompeten. Tapi ternyata kondisinya kian parah dan sudah di ambang ajal. Mereka pun tak bisa berbuat banyak.

Sementara ibunya karena panik penuh kecewa dan marah dia menjerit-jerit dan berkata:
يا محمد أين أنت يا محمد، وأنت تدعى النبوة؟ انظر ماذا فعل أمتك إلى بنتي في يوم احتفال مولدك؟

Di manakah engkau, hai Muhammad yang mengaku sebagai Nabi? Lihatlah apa yang dilakukan umatmu kepada anakku pada perayaan hari kelahiranmu?

Teriakan ini tentu dimaksudkan untuk menghardik Rasulullah.

Dokter memastikan bahwa anaknya telah meninggal dunia dan ketua dokter di sana mempersilakan sang ibu untuk melihat anaknya untuk terakhir kalinya. Dengan lemas dan dipapah ibu Nasrani itu pun masuk ke ruangan.

Sebuah keajaiban terjadi. Ketika sang ibu sudah di dalam ruangan, dia melihat anaknya sedang duduk di tepi tempat tidur dalam kondisi bugar sambil berteriak, “”Ibu… Ibu… Ibu… Tutup pintu dan jendela ibu! Jangan biarkan ia keluar!

Antara percaya dan tidak. Si ibu yang bingung lantas bertanya, “Siapa, duhai putriku?”

Si ibu mendekati anaknya untuk memastikan bahwa kondisi baik-baik saja.

Allahu akbar! Sungguh sesuatu yang tidak masuk akal. Selain sehat dan bugar, bercak darah dan bekas luka tembakan di si putrid Nasrani tersebut menghilang.

Putriku, apa yang terjadi?

Putrinya menjawab sambil tersenyum kegirangan, “Ibu.. Ibu… Dia datang mengelus kepalaku sambil tersenyum.

Siapa dia, Sayang?

Muhammad , Muhammad, Ibu,” jawab anak itu.

Aku bersaksi duhai ibu bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.

Ternyata, teriakan si ibu disambut oleh Nabi Agung Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau hadir dengan kelembutan dan memberikan cahaya penerang bagi kegelapan. Syahadat ini lalu diikuti para dokter yang menyaksikan peristiwa tersebut dan orang-orang di desa tempat putri tersebut tinggal.

—–

Tulisan ini adalah karya Moh Nasirul Haq, Santri Rubat Syafi’ie Mukalla Yaman. Disalin dari NU Online





Source : liputanislam.com

Cinta Allah dan Rasulullah untuk Fathimah s.a.



Amat banyak riwayat yang menceritakan betapa Rasulullah SAW amat mencintai dan memuliakan putrinya, Fathimah Az-Zahra s.a. Apakah ini bentuk nepotisme? Sama sekali tidak demikian. Cinta Nabi Muhammad SAW kepada Fathimah s.a. semata-mata karena Allah, bukan karena Az-Zahra adalah putri kandung dan darah dagingnya. Nabi telah mengetahui betapa dimuliakan Fathimah s.a. di sisi Allah sejak awal kelahirannya.

Diriwayatkan, pada malam mi’raj, Rasulullah memetik buah apel dari pohon kebahagiaan ‘syajarah thuba’ dan membaginya menjadi dua bagian. Lalu dari tengah-tengah buah itu muncul secercah cahaya, Ketika Rasulullah  SAW menanyakan kepada malaikat Jibril tentang cahaya tersebut,  Jibril menjawab, “Cahaya yang dikokohkan (nur al manshurah) di langit dan di atas bumi untuk Fathimah.”

Rasul bertanya lagi, “Mengapa dia dikokohkan di langit

Jibril menjawab, “Karena sesungguhnya dia dikokohkan Allah pada hari kiamat dengan syafaat.”

Rasul pun menyantap buah apel tersebut dan mengentallah nutfah (asal kejadian) Az-Zahra dari buah apel tersebut. Dengan demikian, sejatinya asal jasad Az-Zahra berasal dari surga.

Suatu kali, Rasulullah SAW melihat Az- Zahra berbincang dengan ibundanya, Khadijah padahal ia masih di dalam kandungan. Pada saat kelahirannya pun, ia sudah mengucapkan syahadah (kesaksian) akan keesaan Allah, risalah ayahnya, dan wilayah (otoritas) suaminya serta anak-anaknya kelak.

Semua ini membuat Rasulullah SAW sejak awal mengetahui posisi mulia putrinya. Dalam setiap kesempatan, beliau menunjukkan penghormatan kepada Fathimah. Setiap kali Fathimah datang, beliau bangkit berdiri dan mencium tangannya dan berkata, “Tebusannya adalah ayahnya; Allah ridha atau marah kepada seseorang yang ridha atau marah kepada Fathimah. Jika Fathimah meridhainya, Allah meridhainya. Dan barangsiapa membuat marah Fathimah, maka Allah marah kepadanya.”

Di kesempatan lain beliau bersabda, “Barang siapa yang menyakiti Az-Zahra maka sungguh dia telah menyakiti aku. Dan barangsiapa yang mencintainya, maka sungguh ia telah mencintai aku.”

Rasulullah SAW juga bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menjadikan pada diri para nabi aroma safarjal surga, pada diri bidadari aroma yasmin surga, dan pada diri malaikat aroma bunga Al Juri (mawar surga) dan Dia telah mengumpulkan pada diri putriku Az-Zahra aroma ketiganya.”

Hadis-hadis itu telah diriwayatkan dalam kitab-kitab hadis mu’tabar dan diterima oleh kalangan berbagai mazhab, baik Syiah maupun Sunni.

Mungkin akan muncul pertanyaan, “Sedemikian berkuasanyakah Fathimah sehingga ia bisa semena-mena meridhai atau memarahi orang lain?

Tentu saja tidak demikian. Justru ketika Fathimah mendapatkan ‘jaminan’ dari Rasulullah sedemikian rupa, artinya, segala sesuatu yang ada dalam diri Fathimah dipastikan adalah kebenaran. Marahnya Fathimah pasti sejalan dengan marahnya Allah. Allah tidak meridhai segala perbuatan buruk, mulai dari berghibah, menyakiti orang lain dengan lisan dan perbuatan, mencuri, korupsi, curang, dan lain-lain. Demikian pula Fathimah.

Dalam berbagai khutbah-khutbahnya, Fathimah selalu mengingatkan umat agar selalu menjalankan perintah Allah SWT. Dalam segala perilaku dan akhlak sehari-hari, yang muncul dari diri Fathimah hanyalah kebaikan. Bahkan kebaikannya itu mencapai tingkat yang paling sempurna, sampai-sampai dicatat dalam Al Quran.

Dalam QS Al Insan ayat 5-10, Allah berfirman, yang artinya:

 Sesungguhnya orang- orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur. (yaitu) mata air (dalam surga )yang daripadanya hamba- hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik- baiknya. Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana- mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ( ucapan ) terima kasih. Sesungguhnya Kami takut akan(azab ) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang- orang bermuka masam penuh kesulitan.

Siapakah yang dimaksud dengan “Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana? Berbagai mufassir menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah Az-Zahra dan keluarganya. Al-Tsa’labi dalam tafsirnya dengan sanad yang bersambung dari Ibnu Abbas menyatakan bahwa ayat itu berkaitan dengan nazar yang dilakukan oleh Imam Ali dan Az-Zahra ketika anak mereka, Hasan dan Husan jatuh sakit. Mereka sekeluarga berpuasa tiga hari, namun selama tiga hari itu pula datang orang miskin, anak yatim, dan tawanan yang meminta makan. Mereka pun memberikan makanan kepada para peminta itu. Yang mereka berikan hanyalah roti, namun itu adalah seluruh makanan yang dimiliki pada hari itu dan mereka berbuka dan sahur dengan air. Sungguh sebuah kedermawanan yang mencapai puncaknya. Allah pun menjanjikan surga yang penuh kenikmatan untuk mereka.

Diriwayatkan pula bahwa pada suatu hari, datang seorang kakek tua yang kelaparan kepada Az-Zahra. Awalnya, sang kakek datang menemui Rasulullah SAW untuk meminta makanan dan pakaian. Namun Rasulallah sedang tidak punya apa-apa dan ia menyuruh kakek itu menemui Fathimah. Putri Nabi itu ternyata juga tak punya makanan di rumahnya. Ia memberikan hartanya yang terakhir, seuntai kalung. Kalung itupun dijual oleh si kakek sehingga ia bisa membeli makanan dan pakaian. Singkat cerita, pembeli kalung itu, seorang sahabat Rasulullah, akhirnya mengembalikan kalung itu kepada Fathimah. Kejadian ini menunjukkan betapa dalam keadaan sesulit apapun, Fathimah tak pernah enggan menolong orang lain.

Hal yang menarik dan penting untuk dicatat juga, sesungguhnya Fathimah tidaklah miskin. Dia memiliki tanah Fadak yang luas dan menghasilkan banyak uang. Dalam riwayat disebutkan bahwa tanah itu diserahkan Rasulullah kepada Fathimah tiga tahun lebih sebelum beliau wafat. Penghasilan tanah itu mencapai 70.000 dinar emas dalam setahun. Namun Fathimah membagi-bagikannya kepada kaum miskin sementara ia tetap hidup sederhana bersama keluarganya.

Dengan segala kemuliaan akhlaknya ini, sungguh tak mengherankan bila Allah sedemikian meridhainya dan Rasulullah sedemikian memuliakannya. Selanjutnya, pilihan ada di tangan kita, apakah kita mau menjadikan Fathimah sebagai sosok panutan dalam kehidupan kita?(LiputanIslam.com)

Referensi: “Sejarah Fathimah Azzahra” karya Prof. Dasteghib (penerbit: Cahaya, tahun 2007)





Source : liputanislam.com

Sabtu, 17 Maret 2018

Hadis Sebutan Ash-Shiddiq Bagi Imam Ali atau Abu Bakar?

Pada pembahasan sebelumnya kami pernah mengatakan bahwa gelar Ash Shiddiq adalah gelar bagi Abu Bakar dan Imam Ali. Terdapat hadis-hadis yang menyatakan Abu Bakar sebagai Ash Shiddiq secara jelas tetapi sayang sekali hadis tersebut dibicarakan sanad-sanadnya.

Begitu pula terdapat hadis yang secara jelas menyatakan Imam Ali sebagai Ash Shiddiq dan hadis ini pun juga dibicarakan sanad-sanadnya. Aneh bin ajaib ada sekelompok orang yang menyebut diri mereka salafiyun merasa keberatan kalau Imam Ali disebut Ash Shiddiq. Mari kita bahas berikut ini:

Menurut mereka gelar Ash Shiddiq mutlak untuk Abu Bakar saja. Diantara hadis yang paling sering mereka jadikan hujjah adalah:


حدثنا محمد بن بشار حدثنا يحيى بن سعيد عن سعيد بن أبي عروبة عن قتادة عن أنس حدثهم أن رسول الله صلى الله عليه و سلم صعد أحدا و أبو بكر و عمر و عثمان فرجف بهم فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم اثبت أحد فإنما عليك نبي وصديق وشهيدان

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar yang menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dari Sa’id bin Abi Arubah dari Qatadah dari Anas yang menceritakan kepada mereka bahwa Rasulullah SAW mendaki gunung uhud bersama Abu Bakar, Umar dan Utsman kemudian gunung Uhud mengguncangkan mereka. Rasulullah SAW bersabda “diamlah wahai Uhud sesungguhnya diatasmu terdapat Nabi, shiddiq dan dua orang syahid” [Sunan Tirmidzi 5/624 no 3697]


Pada hadis ini tidak terdapat penyebutan secara jelas kalau Ash Shiddiq yang dimaksud adalah Abu Bakar dan perlu diketahui terdapat hadis-hadis lain yang menyebutkan kalau tidak hanya Abu Bakar, Umar dan Utsman yang berada disana tetapi juga terdapat Imam Ali dan sahabat yang lainnya.


حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا عبد العزيز بن محمد عن سهيل بن أبي صالح عن ابيه عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان على حراء هو و أبو بكر و عمر و علي و عثمان و طلحة و الزبير رضي الله عنهم فتحركت الصخرة فقال النبي صلى الله عليه و سلم اهدأ إنما عليك نبي أو صديق أوشهيد


Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id yang menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad dari Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW pernah berada di atas Hira’ bersama Abu Bakar, Umar, Ali, Utsman, Thalhah dan Zubair. Kemudian tanahnya bergerak-gerak, maka Nabi SAW bersabda “diamlah, sesungguhnya diatasmu terdapat Nabi atau shiddiq atau syahid” [Sunan Tirmidzi 5/624 no 3696 dengan sanad shahih]


ثنا محمد بن جعفر ثنا شعبة عن حصين عن هلال بن يساف عن عبد الله بن ظالم قال خطب المغيرة بن شعبة فنال من علي فخرج سعيد بن زيد فقال ألا تعجب من هذا يسب عليا رضي الله عنه أشهد على رسول الله صلى الله عليه و سلم انا كنا على حراء أو أحد فقال النبي صلى الله عليه و سلم أثبت حراء أو أحد فإنما عليك صديق أو شهيد فسمى النبي صلى الله عليه و سلم العشرة فسمى أبا بكر وعمر وعثمان وعليا وطلحة والزبير وسعدا وعبد الرحمن بن عوف وسمى نفسه سعيدا


Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang menceritakan kepada kami Syu’bah dari Hushain dari Hilal bin Yisaaf dari Abdullah bin Zhaalim yang berkata “Mughirah bin Syu’bah berkhutbah lalu ia mencela Ali. Maka Sa’id bin Zaid keluar dan berkata “tidakkah kamu heran dengan orang ini yang telah mencaci Ali, Aku bersaksi bahwa kami pernah berada di atas gunung Hira atau Uhud lalu Beliau bersabda “diamlah hai Hira atau Uhud, karena di atasmu terdapat Nabi atau shiddiq atau syahid. Kemudian Nabi SAW menyebutkan sepuluh orang. Maka [Sa’id] menyebutkan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair , Sa’ad, Abdurrahman bin ‘Auf dan dirinya sendiri Sa’id” [Musnad Ahmad no 1638 dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir]


Terdapat perbedaan mengenai tempat yang dimaksud, apakah di Uhud ataukah di Hira’?. Salafy berdalih mengatakan kalau pada hadis Anas hanya terdapat Abu Bakar, Umar dan Utsman dan itu terjadi di Uhud sedangkan di Hira’ adalah kejadian lain dimana ada banyak sahabat di sana selain Abu Bakar, Umar dan Utsman. Disini salafy ingin menyatakan bahwa peristiwa di Uhud dengan jelas menyatakan Abu Bakar sebagai shiddiq dan dua orang syahid adalah Umar dan Utsman kemudian kejadian di Hira’ ditafsirkan dengan hadis Anas bahwa shiddiq disana adalah Abu Bakar. Tentu saja semua itu adalah penafsiran salafy dan terserah mereka kalau menafsirkan begitu. Menurut pendapat kami, yang lebih benar adalah baik itu terjadi di Hira’ atau Uhud Imam Ali juga ada disana jadi hadis Anas yang hanya menyebutkan Abu Bakar, Umar dan Utsman adalah ringkasan [kemungkinan] dari para perawinya.



حدثنا محمد قثنا محمد بن إسحاق قثنا روح قثنا شعبة عن قتادة عن أنس قال صعد النبي صلى الله عليه وسلم حراء أو أحدا ومعه أبو بكر وعمر وعثمان فرجف الجبل فقال اثبت نبي وصديق وشهيدان


Telah menceritakan kepada kami Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq yang berkata menceritakan kepada kami Rawh yang berkata menceritakan kepada kami Syu’bah dari Qatadah dari Anas yang berkata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendaki Hira’ atau Uhud dan bersamanya ada Abu Bakar, Umar dan Utsman kemudian gunung berguncang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “ diamlah, ada Nabi, Shiddiq dan dua orang syahid” [Fadha’il Ash Shahabah no 869 dishahihkan oleh Washiullah ‘Abbas]


Hadis di atas menjelaskan bahwa kejadian hadis Anas itu bisa jadi di Hira’ atau Uhud atau terjadi di keduanya. Baik di Hira’ ataupun Uhud Imam Ali juga berada di sana. Hal ini disebutkan dalam hadis Anas yang lain


ثنا يحيى بن خلف حدثنا أبو داود ثنا عمران عن قتادة عن أنس ابن مالك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان على حراء فرجف بهم فقال أثبت فإنما عليك نبي أو صديق أو شهيد وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم وعمر وعثمان وعلي

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Khalaf yang menceritakan kepada kami ‘Abu Dawud yang menceritakan kepada kami ‘Imran dari Qatadah dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di atas Hira’ kemudian gunung mengguncangkan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “diamlah, sesungguhnya diatasmu terdapat Nabi atau shiddiq atau syahid” yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Umar, Utsman dan Ali [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1439]

Hadis di atas para perawinya tsiqat kecuali ‘Imran Al Qaththan. Dia adalah perawi Bukhari dan Ashabus Sunan. Abdurrahman bin Mahdi meriwayatkan darinya yang berarti ia menganggapnya tsiqat. Ahmad berkata “ aku berharap hadisnya baik”. Ibnu Ma’in berkata “tidak kuat”. Abu Dawud terkadang berkata “termasuk sahabat Hasan dan tidaklah aku dengar tentangnya kecuali yang baik” terkadang Abu Dawud berkata “dhaif”. As Saji berkata “shaduq”. ‘Affan menyatakan tsiqat. Bukhari berkata “shaduq terkadang salah”. Ibnu Syahin memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat. Daruquthni berkata “banyak melakukan kesalahan”. Al Hakim berkata “shaduq” [At Tahdzib juz 8 no 226]. Pendapat yang rajih tentangnya adalah ia seorang yang shaduq tetapi terdapat kelemahan pada hafalannya dan hadisnya hasan. Terdapat hadis lain yang menguatkan tentang penunjukkan tempat di Hira’


حدثنا عاصم الأحول ثنا معتمر عن أبيه عن قتادة عن أبي غلاب عن رجل من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم أن النبي صلى الله عليه وسلم وأبا بكر وعمر وعثمان كانوا على حراء فرجف بهم أو تحرك بهم فقال النبي صلى الله عليه وسلم اثبت فإنما عليك نبي وصديق وشهيدان


Telah menceritakan kepada kami ‘Ashim Al ‘Ahwal yang menceritakan kepada kami Mu’tamar dari ayahnya dari Qatadah dari Abu Ghallab dari seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman berada di atas Hira’ kemudian tanah mengguncangkan mereka atau menggerakkan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “diamlah, sesungguhnya diatasmu terdapat Nabi, Shiddiq dan dua orang syahid” [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1440]

Hadis Anas di atas bahkan tidak menyebutkan nama Abu Bakar melainkan nama Umar, Utsman dan Ali. Walaupun begitu kalau kita melihat berbagai hadis lain maka Abu Bakar juga ada bersama mereka.


ثنا عبيد الله بن معاذ ثنا أبي عن سعيد عن قتادة عن أنس بن مالك قال صعد رسول الله صلى الله عليه وسلم أحدا واتبعه أبو بكر وعمر وعثمان وعلي فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم اثبت أحد فإنما عليك نبي وصديق وشهيدان

Telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Mu’adz yang berkata telah menceritakan kepada kami ayahku dari Sa’id dari Qatadah dari Anas bin Malik yang berkata “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menaiki Uhud dan mengikutinya Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “diamlah Uhud, sesungguhnya diatasmu terdapat Nabi, shiddiq dan dua orang syahid” [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1438]

Hadis ini para perawinya tsiqat. Ubaidillah bin Mu’adz adalah seorang hafizh yang tsiqat [At Taqrib 1/639] dan ayahnya Mu’adz bin Mu’adz adalah seorang yang tsiqat mutqin [At Taqrib 2/193]. Hadis Anas ini dengan jelas menyebutkan bahwa di Uhud itu juga terdapat Imam Ali. Tentu saja kalau kita menuruti gaya salafy dalam menafsirkan hadis ini bahwa yang syahid adalah dua orang yaitu Umar dan Utsman maka yang tersisa adalah Ash Shiddiq, apakah Abu Bakar ataukah Ali?. Salahkah kita kalau lebih memilih Ash Shiddiq merujuk pada keduanya.

Jadi ketika kami mengatakan kalau riwayat Anas itu adalah ringkasan dari para perawinya, kami tidaklah mengada-ada. Terdapat petunjuk yang menguatkan bahwa tidak hanya Abu Bakar, Umar dan Utsman yang ada disana melainkan juga Imam Ali atau mungkin ada sahabat lainnya. Kami akan memberikan contoh lain dimana para perawi meringkas atau tidak menyebutkan sebagian nama sahabat



حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا علي بن الحسن أنا الحسين ثنا عبد الله بن بريدة عن أبيه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان جالسا على حراء ومعه أبو بكر وعمر وعثمان رضي الله عنهم فتحرك الجبل فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم أثبت حراء فإنه ليس عليك إلا نبي أو صديق أو شهيد


Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Hasan yang berkata menceritakan kepada kami Husain yang berkata menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Buraidah dari ayahnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di atas Hira’ dan bersamanya ada Abu Bakar, Umar dan Utsman radiallahu ‘anhum kemudian gunung tersebut bergerak [bergetar] maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “diamlah Hira’ sesungguhnya tidak ada diatasmu kecuali Nabi atau shiddiq atau syahid” [Musnad Ahmad 5/346 no 22986, Syaikh Syu’aib berkata “sanadnya kuat”]



حَدَّثَنَا  مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى الأَزْدِيُّ قَالَ نا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ شَقِيقٍ قَالَ أنا الْحُسَيْنُ بْنُ وَاقِدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عَلَى حِرَاءٍ فَتَحَرَّكَ ، فَقَالَ مَا عَلَيْكَ إِلا نَبِيٌّ أَوْ صِدِّيقٌ أَوْ شَهِيدٌ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ


Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya Al Azdiy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Hasan bin Syaqiq yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain bin Waqid dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya radiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berada di atas Hira’ kemudian tanahnya bergerak-gerak. Beliau berkata “tidaklah diatasmu kecuali Nabi atau shiddiq atau syahid” yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar, Utsman dan ‘Ali radiallahu ‘anhum ajma’iin [Musnad Al Bazzar no 4419]


Hadis riwayat Al Bazzar di atas sanadnya kuat. Muhammad bin Yahya Al Azdiy adalah perawi Bukhari, Muslim dan Nasa’i seorang yang tsiqat [At Taqrib 2/145] dan perawi lainnya sama seperti riwayat Ahmad. Dalam riwayat Ahmad tidak disebutkan nama Imam Ali tetapi dalam riwayat Al Bazzar disebutkan nama Imam Ali. Artinya para perawi hadis tersebut meringkas nama-nama yang dimaksud, terkadang menyebutkannya dan terkadang tidak. Oleh karena itu sangat penting untuk melihat hadis-hadis lain.

Pada dasarnya membedakan dua peristiwa yaitu yang satu di Uhud dan yang satu di Hira’ tidaklah menguatkan hujjah salafy. Karena baik di Uhud maupun Hira’ Imam Ali dan sahabat yang lain ada di sana. Silakan perhatikan hadis ini


حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ يَزِيدُ بْنُ سِنَانٍ وَعَلِيُّ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْمُغِيرَةِ قَالا ثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ قَالَ أَنْبَأَ مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ قَالَ أَخْبَرَنِي رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْعِرَاقِ أَنَّهُ ذَهَبَ إِلَى الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْكُوفَةِ فِي زَمَانِ زِيَادِ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ يَوْمَئِذٍ يَسُبُّ أَصْحَابَنَا وَاللَّهِ لا نَفْعَلُ أَشْهَدُ لَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَطَلْحَةُ وَالزُّبَيْرُ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَسَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَأَنَا وَفُلانٌ فَحَفِظَهُمْ زَيْدٌ حَتَّى اثْنَيْ عَشَرَ رَجُلا عَلَى أُحُدٍ فَرَجَفَ بِنَا الْجَبَلُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” اسْكُنْ أُحُدُ فَإِنَّهُ لَيْسَ عَلَيْكَ إِلا نَبِيٌّ أَوْ صِدِّيقٌ أَوْ شَهِيدٌ ” فَسَكَنَ

Telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Yazid bin Sinan dan ‘Ali bin ‘Abdurrahman bin Mughirah yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Sa’id bin ‘Abi Maryam yang berkata telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepadaku Zaid bin ‘Aslam yang berkata mengabarkan kepadaku seorang laki-laki dari penduduk Iraq bahwasanya ia pergi ke masjid yaitu masjid kufah di zaman Ziyad bin Abi Sufyan dan dia [Ziyad] pada hari itu mencaci sahabat kami. [laki-laki itu berkata] “demi Allah jangan melakukannya, aku menyaksikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqash, aku, dan fulan sampai dua belas orang diatas Uhud. Kemudian gunung tersebut berguncang maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “tenanglah Uhud sesungguhnya tidaklah berada diatasmu kecuali Nabi atau shiddiq atau syahid” maka tenanglah gunung Uhud [Al Kuna Ad Duulabiy 1/89]


Hadis di atas diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat hanya saja tidak disebutkan nama laki-laki yang merupakan sahabat Nabi [disebut sahabat karena ia menyaksikan sendiri peristiwa yang dimaksud]. Kemungkinan ia adalah Sa’id bin Zaid sebagaimana yang disebutkan oleh Ad Duulabiy .

  • Abu Khalid Yazid bin Sinan adalah perawi Nasa’i yang tsiqat. Abu Hatim berkata “shaduq tsiqat”. Nasa’i berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Yunus juga menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 11 no 540]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 2/325]
  • ‘Ali bin ‘Abdurrahman bin Mughirah adalah perawi yang tsiqat. Ibnu Abi Hatim berkata “shaduq”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Yunus menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 7 no 581]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 1/698]
  • Sa’id bin Abi Maryam adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Hatim berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat dari yang tsiqat”. Daruquthni berkata “tidak ada masalah” [At Tahdzib juz 4 no 23]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit faqih” [At Taqrib 1/350]
  • Muhammad bin Ja’far bin Abi Katsir adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Nasa’i berkata “shalih” terkadang berkata “hadisnya lurus”. Ibnu Hibban memasukkanya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 9 no 126]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 2/262]
  • Zaid bin ‘Aslam adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad, Abu Zur’ah, Abu Hatim, Ibnu Sa’ad, Nasa’i, Ibnu Khirasy dan Yaqub bin Syaibah menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 3 no 728].

Pada hadis di atas laki-laki yang merupakan sahabat Nabi itu mengabarkan langsung kepada Zaid bin Aslam, jadi riwayat ini muttasil [bersambung] dan para perawinya tsiqat. Tidak diragukan lagi hadis di atas shahih.

Berikutnya kami akan membahas hadis lain yang dijadikan hujjah oleh pengikut salafy. Pengikut salafy itu mungkin merasa dirinya sebagai orang yang lebih ahli dalam ilmu hadis dibanding mereka yang bukan pengikut salafy. Silakan perhatikan hadis berikut


حدثنا ابن أبي عمر حدثنا سفيان حدثنا مالك بن مغول عن عبد الرحمن بن سعيد بن وهب الهمداني أن عائشة زوج النبي صلى الله عليه و سلم قالت سألت رسول الله صلى الله عليه و سلم عن هذه الآية { والذين يؤتون ما آتوا وقلوبهم وجلة } قالت عائشة هم الذين يشربون الخمر ويسرقون قال لا يا بنت الصديق ولكنهم الذين يصومون ويصلون ويتصدقون وهم يخافون أن لا يقبل منهم أولئك الذين يسارعون في الخيرات


Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi ‘Umar telah menceritakan kepada kami Sufyaan telah menceritakan kepada kami Maalik bin Mighwal, dari ‘Abdurrahmaan bin Sa’iid bin Wahb Al-Hamdaaniy Bahwa ‘Aaisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang ayat : ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang Rabb mereka berikan, dengan hati yang takut’ (Al Mu’minuun: 60)”. ‘Aaisyah bertanya : ”Apa mereka orang-orang yang meminum khamar dan mencuri ?”. Beliau menjawab : “Bukan, wahai putri Ash-Shiddiiq. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang puasa, shalat, dan bersedekah. Mereka takut kalau amalan mereka tidak diterima. Mereka itulah orang yang bersegera dalam kebaikan [Sunan Tirmidzi 5/327 no 3175]


Pengikut salafy itu berhujjah dengan hadis ini seraya menyatakan shahih. Ia berkata “jika Aisyah adalah putri Ash Shiddiq, maka siapakah ayahnya?”. Lha tidak diragukan kalau ayahnya Aisyah radiallahu ‘anhu adalah Abu Bakar. Yang membuat semua tulisannya jadi aneh bin gak nyambung adalah kami pribadi tidak pernah menolak penyebutan Abu Bakar sebagai Ash Shiddiq. Kalau ia bisa membaca dengan benar maka dalam tulisan kami, kami hanya menegaskan kalau Ash Shiddiq tidak hanya merujuk kepada Abu Bakar tetapi juga Imam Ali. Yah mungkin saja ia membaca tetapi tidak memahami [hal yang sudah biasa dilakukannya]. Seandainya hadis yang ia jadikan hujjah di atas adalah shahih tetap saja itu tidak mengurangi atau menafikan bahwa Imam Ali juga layak disebut Ash Shiddiq.

Kembali kepada hadis yang ia jadikan hujjah, kami katakan hujjahnya itu hanya bisa mengecoh kaum awam salafy yang gemar bertaklid kepada ulama-ulama salafy beserta para da’inya. Hadis yang dikutip salafy tersebut sanadnya tidak shahih karena ‘Abdurrahman bin Sa’id bin Wahb Al Hamdani tidak pernah bertemu Aisyah radiallahu ‘anhu. Abu Hatim berkata “Abdurrahman bin Sa’id bin Wahb Al Hamdani tidak pernah bertemu Aisyah radiallahu ‘anhu” [Jami’ Al Tahsil Fi Ahkam Al Marasil no 429]. Jadi hadis tersebut sanadnya terputus, aneh sekali bagi salafi yang suka mengatakan orang lain lemah ilmu hadis tetapi dirinya sendiri malah menshahihkan hadis yang sanadnya inqitha’. Sungguh menggelikan :roll:

Hadis ini juga diriwayatkan dengan sanad yang bersambung kepada Aisyah tetapi masih terdapat pembicaraan dalam sanadnya. Kami tidak perlu membicarakan sanad hadis tersebut karena matan hadis tersebut tidak bisa dijadikan hujjah dalam perkara ini. Hadis tersebut diriwayatkan dengan jalan dari ‘Abdurrahman bin Sa’id bin Wahb Al Hamdani dari Abu Hazim dari Abu Hurairah dari Aisyah sebagaimana yang disebutkan dalam Tafsir Ath Thabari 19/46 dengan lafaz jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “bukan” tanpa tambahan “putri Ash Shiddiq” dan disebutkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Awsath 4/198 no 3965 dengan lafaz “bukan wahai Aisyah” tanpa menyebutkan putri Ash Shiddiq. Disini masih terdapat kemungkinan kalau lafaz Ash Shiddiq itu adalah tambahan dari para perawinya.

Mengenai Alasan penamaan Ash Shiddiq bagi Abu Bakar yang dikatakan ia telah membenarkan peristiwa isra’ mi’raj maka kami katakan Imam Ali pun membenarkannya bahkan beliau adalah orang yang paling dahulu membenarkan risalah kenabian karena beliaulah yang pertama kali memeluk islam. Jadi jika dengan alasan tersebut Abu Bakar dikatakan Ash Shiddiq maka dengan alasan yang sama Imam Ali lebih layak untuk dikatakan shiddiq. Melihat berbagai dalil yang ada maka pandangan yang kami pilih adalah Imam Ali dan Abu Bakar keduanya adalah Ash Shiddiq.




Nahj al-Balaghah : Tuhan, Yang Awal Yang Akhir, Yang Zahir Yang Batin






Dari sejumlah topik yang dibahas Nahj al-Baldghah adalah konsep bahwa Allah adalah Yang Awal dan YangAkhir, Yang Zahir dan Yang Batin. Tentu saja ini, seperti halnya konsep lainnya, telah disimpulkan dari al-Quran suci. Meski di sini kami tidak akan mengutip ayat-ayat dari al-Quran. Allah adalah Yang Awal, tapi keazalian-Nya tidaklah temporal sehingga berlawanan dengan Wujud-Nya Yang Akhir. Dia Zahir, tapi bukan dalam arti wujud yang secara fisik bisa dilihat atau dipersepsi oleh kekuatan indrawi. Sifat Zahir-Nya tidak bertentangan dengan Sifat Batin-Nya. Sesungguhnya, Keazalian-Nya identik dengan Keabadian-Nya. Demikian pula Sifat Zahirnya identik dengan Sifat Batin-Nya. Keduanya bukan dua hal yang berbeda.

Segala puji bagi Allah Yang keadaan-Nya yang satu tiada mendahului keadaan-Nya yang lain. Maka tiadalah Dia (menjadi) Yang Awal sebelum Dia menjadi Yang Akhir, atau Yang Zahir sebelum Yang Batin.17

Waktu tidak bersama Dia, atau Dia tidak membutuhkan bantuan alat-alat dan perantara-perantara. Wujud-Nya mendahului waktu. Eksistensi-Nya mendahului ketiadaan dan keazalian-Nya mendahului semua per-mulaan.18

Zat Tuhan yang mendahului waktu, ketiadaan, permulaan, dan akhir merupakan salah satu konsep yang paling mendalam dari filsafat al-h.ikmah. Dalam hal ini, permasalahan keazalian Tuhan (azaliyyah) itu menyangkut keberadaan-Nya, yang mempunyai pengertian lebih besar daripada ‘wujudnya [segala sesuatu] di sepanjang zaman’; pasalnya, ‘kehadiran di sepanjang zaman’ mengasumsikan eksistensi di dalam waktu. Namun, Wujud Tuhan tidak hanya berada di sepanjang zaman, bahkan Wujud-Nya mendahului waktu itu sendiri. lnilah pengertian keazalian Tuhan. Hal ini memperlihatkan bahwa kemendahuluan-Nya merupakan sesuatu yang lebih besar ketimbang aspek duniawi yang mendahului.

Segala puji bagi Allah, yang bukti Keberadaan- Nya melalui ciptaan-Nya, yang bukti keazalian-Nya melalui kebaruan (11.uduts) makhluk-Nya. Keunikan-Nya terbukti melalui keserupaan dan kemiripan di antara ciptaan- ciptaan-Nya. Indra-indra tidak bisa melihat- Nya dan tak ada sesuatu pun yang mampu menyembunyikan-Nya.19

Yaitu, Tuhan adalah Yang Zahir sekaligus Yang Batin. Karena Diri-Nya sendiri, Dia Zahir, tapi Tersembunyi dari indra manusia. Kegaiban-Nya dari indra manusia disebabkan keterbatasan manusia sendiri dan bukan karena Diri-Nya.

Ia tidak membutuhkan bukti bahwa eksistensi-Nya sinonim dengan manifestasi. Semakin kuat eksistensi suatu wujud, semakin nyata ia. Sebaliknya, semakin lemah ia dan bercampur dengan nirwujud (non-being), semakin rendah potensi kewujudannya pada dirinya sendiri ataupun pada yang lain.

Bagi segala sesuatu, ada dua mode wujud: wujud  dalam dirinya sendiri (wujud ft nafsih), dan wujud karena yang lain. Wujudnya segala sesuatu bagi kita tergantung pada sistem indra kita dan kondisi-kondisi khusus tertentu. Demikian pula, manifestasi sesuatu ada juga dua jenis: manifestasi dalam dirinya sendiri (zhuhur ft nafsih) dan manifestasi karena yang lainnya.

Indra-indra kita, disebabkan keterbatasan kita, hanya mampu mempersepsi sejumlah objek terbatas yang memiliki ciri-ciri kesamaan dan pertentangan. Indra bisa mempersepsi warna-warna, bentuk-bentuk, suara-suara, dan lain-lain, yang dibatasi secara ruang dan waktu. Yakni,eksistensi mereka dibatasi dalam ruang dan waktu tertentu. Sekarang jika ada cahaya yang seragam, selalu ada di manapun, itu tidak akan bisa dipersepsi. Suara yang terus menerus selalu terdengar monoton dimana-mana tidak akan bisa didengar.

Wujud Tuhan, yang merupakan wujud mutlak dan realitas absolut, tidak dibatasi ruang dan waktu manapun, dan tersembunyi dari indra-indra kita. Namun Tuhan pada Dirinya Sendiri secara mutlak nyata. Kesempurnaan Sifat Zahir-Nya, yang berasal dari kesempurnaan Wujud-Nya, adalah sebab dari ketersembunyian-Nya dari indra-indra kita. Dua aspek Sifat Zahir-Nya dan Batin-Nya adalah satu dan sama dalam Zat-Nya, Dia tersembunyi karena Dia secara sempurna nyata, dan ini menyempurnakan kejelasan yang menabiri-Nya.

Engkaulah yang tersembunyi karena cerlang kesempurnaan-Mu Engkaulah yang [elas, tersembunyi dalam kejelasan-Mu.
Tabir pada wajah-Mu adalah juga wajah-Mu Maka teranglah Engkau, kejelasan-Mu menyembunyikan-Mu dari maia-maia dunia.



Sumber : Murtdha Muthahhari : Tema-Tema Pokok Nahj AL-Balaghah

Footenote :

17 Najhul al-Balaghah , khutbah   65, hal.96.

18  Ibid.,  khutbah  186, hal. 272-3.

19  Ibid., khutbah   152, hal.211-12.





Source Web : Syiah Menjawab

IBLIS TIDAK BERSALAH IBLIS TIDAK BERSALAH




"Iblis itu tidak punya peran terhadap maksiat manusia.."

Temanku menulis di statusnya sore ini.

Wah, judul yang menarik disaat banyak pandangan yang menyalahkan semua kejahatan pada iblis. Iblis adalah tersangka utama dalam setiap masalah.

"Iblis tidak berperan ketika manusia ingin mabuk, ketika manusia ingin berzinah, mencuri, korupsi dan sebagainya. Itu sama sekali bukan peran iblis menggoda. Itu adalah nafsu manusia sendiri, sifat kebinatangan dalam dirinya yang menguasai.

Jadi jangan pernah salahkan iblis lagi ketika kita terjatuh dalam maksiat yang kita lakukan sendiri.."

Kuseruput kopiku pagi ini. Rasanya aku setuju, tapi ada sesuatu yang kurang kayaknya.

"Lalu dimana peran iblis terhadap manusia ?" Aku menulis komen di statusnya.

Agak lama aku menunggu, dua seruputan waktuku.

"Ketika manusia merasa ia sudah beriman.." Jawab temanku.

"Iblis pernah menjadi mahluk yang sangat kuat ibadahnya. Saking kuatnya, ia disamakan dengan malaikat oleh kaumnya. Inilah yang menyebabkan ia dikutuk, karena kesombongan dalam ibadahnya.."

Kuseruput bagian akhir kopiku, sambil melihat jawaban terakhir temanku..

"Dan ketika manusia merasa ia sudah beriman, iblis cemburu. Karena hanya ialah mahluk yang paling beriman kepada Tuhan di muka bumi ini..

Barulah iblis datang dan melakukan pekerjaannya.."




Sumber : Denny Siregar

RASULULLAH saaw MEMBERITAHUKAN TENTANG ORANG-ORANG YANG DIPERANGI IMAM ALI BIN ABI THALIB kw SETELAH BELIAU Saww WAFAT





Para Ulama Ahlu Sunnah banyak yang meriwayatkan bahwa Rasulullah saaw telah mengabarkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib kw akan berperang melawan al-Nakitsin dalam perang Jamal, Al-Qasithin dalam Perang menghadapi Muawiyyah dan Ibn Al-‘ash, dan al Mariqin (kaum Khawari)

Ibnu Abi al Hadid meriwayatkan dari Ibn Dezel, dengan sanad dari Abu Shadiq yang mengatakan : “Abu Ayub al-Anshary (al-‘Iraqy) pernah datang kepada kami, lalu ia dihadiahi (oleh kaum Azd) hewan sembelihan dan mereka memberiku daging hewan tersebut; aku masuk kepadanya sambil mengucapkan salam, dan aku mengatakan kepadanya : “Wahai Abu Ayub, Allah telah memuliakanmu karena sempat bersahabat dengan Nabi Saaw, dan ia pun pernah singgah kepadamu, lalu mengapakah aku melihatmu menghadapi orang-orang dengan pedangmu untuk memerangi mereka, (sebagian) mereka engkau perangi sekali, dan mereka (yang sebagian lainnya) sekali ?”. Ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saaw pernah menjanjikan kepada kami untuk memerangi al -Nakitsin bersama Ali, dan kami pun telah memerangi mereka itu, dan ia juga menjanjikan kepada kami untuk memerangi kaum al-Qasithin bersamanya; dan inilah wajah kami menghadap kepada mereka — kaum muawiyyah dan para sahabatnya– dan ia pun menjanjikan kepada kami untuk memerangi kaum al Mariqin bersamanya, tetapi kami tidak sempat melihat mereka”

Hadits diriwayatkan pula oleh
Diriwayatkan oleh Abu Shadiq dalam kitab Kanzul Ummal, juz VI halaman 88 dengan sedikit perbedaan redaksional. Ia mengatakan, hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Ibn Asakir.
Semakna dengan hadits diatas diriwayatkan dari Abu Ayyub oleh Allamah al-Kanjiy al-Syafii dalam Kitab Kifayat al Thalib, Bab 37 dengan sanad dari Mukhnif bin SUlaim dari Abu Ayyub al-Anshari.
Hadits tersebut juga juga diriwayatkan melalui jalan Mukhnif, Usd al-Ghabbah juz 4 hlm 33
Al-Muttaqy menyebutkan dalam Kanz Ummal juz 6 hlm 88, ia mengatakan hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibn Jarir.
Al Haytsamy dalam kitab Mu’jam juz ( hlm 235 melalui jalan Mukhnif bin SUlaim, ia mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan Imam Thabrani.








Sumber : Syiah News

Mengkaji Riwayat Debat Imam Jafar Shadiq dengan Abu Hanifah

Suatu ketika bertemulah Abu Hanifah (nama yang biasa dipanggil Numan), salah seorang fuqaha Ahlu Sunnah wal Jamaah, ke rumah Imam Jafar Shadiq as. Abu Hanifah meminta izin untuk bertemu, tetapi Imam Jafar tidak memperkenankannya. Kebetulan datang rombongan orang Kufah meminta izin untuk bertemu dan Abu Hanifah masuk dengan mereka.

Setelah selesai pertemuan dengan orang-orang Kufah, Abu Hanifah berkata: “Wahai Putra Rasulullah, alangkah baiknya jika Anda menyuruh orang pergi ke Kufah dan melarang penduduknya mengecam sahabat Rasulullah saw. Aku lihat di sana lebih dari 10.000 orang mengecam sahabat.”

Imam Jafar: “Mereka tidak akan menerima laranganku wahai Numan.”

Abu Hanifah: “Siapa yang berani menolak Anda, padahal Anda Putra Rasulullah?”

Imam Jafar: “Anda orang pertama yang tidak menerima perintahku, Anda masuk tanpa izinku. Duduk tanpa perintahku, berbicara tidak sesuai dengan pendapatku. Wahai Numan, telah sampai padaku bahwa Anda menggunakan qiyas, betulkah?”

Abu Hanifah: “Benar.”

Imam Jafar:  “Celaka Anda, Numan. Makhluk yang pertama melakukan qiyas ialah Iblis, ketika Allah menyuruh sujud kepada Adam. Lalu ia menolak dan berkata: Engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan ia dari tanah. Hai Numan, mana yang lebih besar (dosanya), membunuh atau berzina?”

Abu Hanifah: “Membunuh.”

Imam Jafar: “Tetapi mengapa Allah menetapkan dua saksi untuk pembunuhan, dan empat orang untuk zina. Adakah engkau menggunakan qiyas di situ?”

Abu Hanifah: “Tidak.”

Imam Jafar: “Mana Yang lebih besar (najisnya) kencing atau air mani?”

Abu Hanifah: “Kencing.”

Imam Jafar: “Mengapa, untuk kencing diperintahkan wudhu, tetapi untuk mani diharuskan mandi, adakah engkau menggunakan qiyas di situ?”

Abu Hanifah: “Tidak.”

Imam Jafar:  “Mana yang lebih besar, shalat atau shaum?”

Abu Hanifah: “Shalat.”

Imam Jafar: “Tetapi mengapa wanita Haidh harus mengqodho shaumnya, tetapi tidak mengqodho shalatnya, adakah engkau menggunakan qiyas disitu?”

Abu Hanifah : “Tidak.”

Imam Jafar : “Mana yang lebih lemah, wanita atau pria?”

Abu Hanifah : “Wanita.”

Imam Jafar : “Mengapa Allah berikan warisan dua bagian bagi pria dan satu bagian bagi wanita. Adakah engkau juga gunakan qiyas di situ?”

Abu Hanifah : “Tidak.”

Diceritakan kemudian Abu Hanifah berguru kepada Imam Jafar Shadiq as. Dari Abu Hanifah terkenal ucapan, “law la sanatan, lahalaka Nu’man (Jika tidak ada dua tahun bersama Imam Jafar celakalah Numan).


Kajian Historis

Riwayat tersebut dapat dimengerti secara historis. Selain karena hidup sezaman, juga memiliki indikasi kuat dari setiap tokohnya. Misalnya Imam Shadiq, lahir pada tahun 83 H, dan menjadi Imam pada tahun 114 H (saat Imam Baqir wafat). Kemudian Imam Shadiq wafat tahun 148 H. Sama seperti ayahnya, Imam Shadiq menghabiskan usianya di Madinah. Karena itu, secara historis debat antara Imam Shadiq dengan Abu Hanifah benar-benar terjadi. Ini yang pertama.

Kedua, riwayat debat Imam Shadiq dengan Abu Hanifah bisa ditemukan dalam kitab Sunni Ath-Thabaqat Al-Kubra karya Asy-Sya’rani, jilid 1 halaman 28. Dalam kitab tersebut dengan jelas disebutkan silsilah para perawi riwayatnya yang sangat bersih dan terpercaya (tsiqah). Riwayat ini lebih dikenal dan terbukti sebagai riwayat yang shahih. Juga lebih bersesuaian dengan kata-kata terkenal Abu Hanifah yang terdapat pada kitab A’lam Al-Hidayah, jilid 8 halaman 23 (seandainya tidak ada dua tahun berguru kepada Imam Shadiq, tentulah Nu’man akan celaka, law laa sanataan lahakan-Nu’man). Terdapat juga pada kitab Al-Imam Jafar Ash-Shadiq karya Abdul Halim Jundi, yang diterbitkan Majlisul ‘Ala Mesir. Bisa juga membaca komentar Ibnu Hajar dalam As Sawaiq Al-Muhriqah, diterbitkan Maktabah al-Qahirah, Kairo 1385 H.

Ketiga, dari sisi penelaahan biografi (riwayat di atas) termasuk logis. Pada usia 40 tahun (pada tahun 120 H), Abu Hanifah menjadi mufti agung Kufah dan mulai menyampaikan pendapat-pendapatnya. Lalu, pada tahun 129 atau 130 H, ia pergi ke Mekah dan Madinah. Di sana, ia bertemu dengan Imam Shodiq yang memang sudah mengemban tugas imamah sejak tahun 114 H. Pada saat itulah peristiwa dialog ini terjadi, dan Abu Hanifah menyadari kekeliruannya, hingga selama dua tahun lamanya (130-132 H) ia berguru kepada Imam Shadiq.

Keempat, yang menguatkan riwayat tersebut bahwa Abu Hanifah memang penganut dan penyebar qiyas, yang kemudian dikritik oleh Imam Shadiq. Dan, itulah fakta bahwa qiyas adalah pilar unik madzhab Hanafi. Siapa saja yang mempelajari ushul wa fiqh al-muqarran (perbandingan jurisprudensi dan hukum), mau tidak mau akan mendapati fakta bahwa mazhab Hanafi meyakini tujuh pilar sebagai hujjah dalam hukum, yaitu Al-Quran, Sunnah, qawlush-shahabah (kata-kata Sahabat), qiyas wa ra’yu (komparasi dan logika), istihsan (keutamaan etika), ijma’ (kesepakatan ulama), dan ‘urf (kearifan lokal). Ketujuh pilar mazhab Hanafi ini sangat ketat dipakai para pengikut Abu Hanifah sampai sekarang.




Sumber : misykat.net