Sudahkah Anda Bershalawat???

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: مَن صلَّى عليَّ صلاةً واحدةً ، صَلى اللهُ عليه عَشْرَ صَلَوَاتٍ، وحُطَّتْ عنه عَشْرُ خَطياتٍ ، ورُفِعَتْ له عَشْرُ دَرَجَاتٍ

“Barangsiapa yang mengucapkan shalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat baginya sepuluh kali, dan digugurkan sepuluh kesalahan (dosa)nya, serta ditinggikan baginya sepuluh derajat/tingkatan (di surga kelak)” HR an-Nasa’i (no. 1297)

Keutamaan Shalawat Kepada Nabi

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman: إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا {56}

Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QS. 33:56)

Ahlul Bait

مَثَلُ أَهْلِ بَيْتِي مَثَلُ سَفِيْنَةِ نُوْحٍ مَنْ رَكِبَهَا نَجَا وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرِقَ

“Perumpamaan Ahlul baitku seperti kapal nabi Nuh, barangsiapa yang menaikinya maka dia akan selamat dan barangsiapa yang enggan maka dia akan tenggelam (binasa).”

Jumat, 12 Agustus 2016

Kejatuhan Dunia serta Ganjaran dan Hukuman di Akhirat

Sayyidina Ali Bin Abi Thalib ra.

Khotbah No 52 Dari Kitab Nahjul Balaghah:


(Khotbah ini telah muncul sebelumnya, tetapi karena ada perbedaan antara kedua versinya maka kami kutip lagi.) Pokoknya ialah kejatuhan dunia serta ganjaran dan hukuman di akhirat

Berhati-hatilah, dunia sedang menggulung dan telah memaklumkan perpisahannya. Ihwalnya yang dikenal telah menjadi asing dan ia sedang bergerak mundur dengan cepat. la sedang memajukan penghuninya kepada kehancuran dan menggiring para tetangganya kepada kematian. Hal-halnya (kenikmatannya) yang manis telah menjadi asam, dan hal-halnya yang jernih telah tercemar. Akibatnya, yang tertinggal darinya hanyalah seperti air sisa dalam sebuah bejana atau seteguk air dalam ukuran. Apabila seseorang kehausan meminumnya, dahaganya tak terpuaskan.


Wahai hamba-hamba Allah, bersiaplah untuk keluar dari dunia ini yang bagi penghuninya kebusukan telah ditetapkan, dan (berhati-hatilah) agar hasrat hati tak menaklukkan Anda, jangan pula Anda menganggap tinggalnya Anda di dunia ini akan lama. Demi Allah, apabila Anda berteriak seakan unta betina yang telah kehilangan anaknya, mendekut seperti bunyi merpati, bergumam seperti pertapa yang khusyuk dan berpaling kepada Allah dengan meninggalkan kekayaan Anda dan anak-anak sebagai sarana untuk mendapatkan kedekatan kepada-Nya dan kedudukan tinggi di sisi-Nya, atau keampunan dosa yang telah diliput Kitab-Nya dan dicatat oleh malaikat-malaikat-Nya, maka semua itu masih kurang dari ganjaran yang saya harapkan bagi Anda, atau hukuman-Nya yang saya takutkan menimpa Anda.

Demi Allah, apabila hati Anda larut sepenuhnya dan mata Anda me-numpahkan air mata darah untuk hidup di dunia ini selama dunia ini ada, dalam keadaan demikian pun amal Anda tak dapat membayar nikmat-Nya yang besar atas Anda dan atas pemberian petunjuk-Nya pada Anda kepada keimanan.

Gambaran tentang ‘Idul-Qurban serta Sifat-sifat Hewan Kurban

Hewan yang sepenuhnya cocok untuk kurban, telinganya harus tegak dan matanya sehat. Apabila telinga dan matanya sehat maka hewan kurban itu sehat dan sempuma, sekalipun tanduknya patah atau ia berjalan menyeret kaki ke tempat pengurbanan.

Sayid Radhi mengatakan: Di sini tempat kurban berarti tempat penyembelihan.



Rabu, 03 Agustus 2016

Imamah dan Ahlulbait




Akidah Islamiyah adalah kumpulan kaidah, hukum, landasan, perintah, larangan dan pengetahuan yang universal dan terperinci yang diturunkan Allah Swt kepada hamba-Nya, Muhammad Saw. Rasululullah Saw bertugas memberikan penjelasan kepada umat mausia melalui perantara dakwah dan daulah yang dipimpinnya sendiri. Oleh karena itu setiap perkataan, perbuatan dan taqrir Rasulullah Saw adalah juga aturan Ilahi sebagai pelengkap Al-Qur’an. Semasa hidupnya, Rasulullah menjadi satu-satunya sumber rujukan syar’i yang merupakan pengejewantahan akidah Ilahiah. Adalah mustahil jika aqidah yang berasal dari Allah ini dibiarkan tanpa seorang rujukan yang bertugas menjelaskan aqidah tersebut. Sumber rujukan ini haruslah orang yang memiliki pengetahuan Ilahiah, paling baik, afdhal dan tepat dari sekian manusia yang ada. Untuk memilih dan mengangkat orang yang memiliki kapasitas itu, hanya Allah sendirilah yang berhak menentukan. Sejarah perjalanan manusiapun membuktikan, semua nabi-nabi yang 124 ribu jumlahnya diutus dan diangkat oleh Allah Swt. Tak sekalipun Allah Swt menyerahkan penentuan dan pemilihan orang yang menjadi sumber rujukan kepada hawa nafsu dan pendapat-pendapat manusia. Begitulah sejarah membuktikan, dan tidak ada seorangpun yang menyelisihi ini.


Lewat tulisan ini, saya ingin memperlihatkan ada realitas lain selain Nabi dan Rasul yang juga menjadi ketetapan Ilahi. Allah Swt berfirman, "Dan ingatlah ketika Ibrahim di uji Tuhannya dengan beberapa perintah, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu seorang Imam bagi umat manusia." Ibrahim berkata, "(Dan aku mohon juga) dari keturunanku." Allah berfirman :"Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim." (Qs. Al-Baqarah [2]: 124). 
Ayat ini menunjukkan bahwa menurut Al-Qur'an ada satu lagi realitas selain nabi dan rasul yakni imam, sebab bukankah penunjukan Ibrahim sebagai imam setelah ia menjadi nabi dan rasul dengan berbagai ujian ?.  Dalam ayat lain Allah Swt berfirman, "Dan Kami menganugerahkan kepadanya (Ibrahim), Ishak dan Yaqub sebagai suatu anugerah. Dan masing-masing Kami jadikan orang yang saleh. Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah." (Qs. Al-Anbiya : 73). Di ayat lain, "…Kemudian Allah memberinya (Dawud) kerajaan dan hikmah dan mengajarinya apa yang Dia kehendaki." (Qs. Al-Baqarah [2]: 41). Dari ayat-ayat ini menunjukkan bahwa penunjukkan imam, khalifah ataupun pemimpin atas umat manusia adalah wewenang dan otoritas mutlak Allah Swt sebagaimana penunjukan nabi dan rasul.
Sebagaimana surah Al-Baqarah ayat 124 di atas, kedudukan imam sebagai jabatan langit selain nabi dan rasul juga dianugerahkan kepada keturunan biologis Nabi Ibrahim As.

Pada dasarnya, jabatan imam Allah merupakan tunas dari “Pohon Kejadian” yang menjadi tujuan atas penciptaan manusia di bumi. Sedangkan kenabian atau kerasulan adalah cabang dari “Pohon Kejadian” tersebut. Artiya, institusi ilahiah ini secara gradual diawali lebih dahulu oleh kenabian, kerasulan dan berakhir pada keimamahan. Ini bisa dimaklumi bahwa tidak mungkin ada hukum tanpa ada hakim. Hukum Islam telah sempurna, karenanya dengan wafatnya Nabi terakhir meniscayakan adanya hakim Ilahiah yang mendampingi pelaksanaan hukum. Hakim di bumi inilah yang disebut Imam.

Setelah nabi Ibrahim as wafat, jabatan-jabatan ini terus diwariskan melalui keturunan biologis Ismail dan Ishak yang mana keduanya adalah nabi. Dalam Alkitab dinubuatkan bahwa dari Ismail dan keturunannya akan muncul duabelas orang imam “Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas imam dan Aku akan membuatnya menjadi umat yang besar." (Kejadian 17:20 ). Kondisi serupa juga ditampakkan kepada bangsa Israel pada zaman Musa As yang mana dia telah diperintahkan oleh Allah untuk melantik dua belas orang imam yang dikepalai oleh Harun dan keturunannya, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin.” (Qs. Al-Maidah [5]:12)

Pelantikan para imam Allah ini menandai kesempurnaan RisalahNya dan puncak dari perjanjian antara Allah dan para nabi yang ditugaskan untuk menyampaikan AjaranNya kepada manusia. Bahkan fungsi utama dari pengutusan seorang nabi atau rasul itu adalah untuk menegakkan kerajaan imam dan umat yang kudus. Al-Qur’an menyatakan: “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi dan dari kamu, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”. (QS. 33:7)

Alhasil, substansi yang ingin saya tegaskan, bahwa status seorang imam di dalam Islam bahkan dalam ajaran Ibrahimik lainnya (Yahudi dan Nashrani) memang ada dan dipilih secara mutlak oleh Allah sebagaimana halnya kenabian dan kerasulan. Artinya tidak melalui konsensus. Imam Allah adalah jabatan sorgawi yang kudus dan tidak terbentuk melalui mekanisme pemilihan umum ataupun cara-cara lain yang dilandasi oleh perspektif manusia. Imamah atau kekhalifaan terlalu berharga, terlalu tinggi dan tidak pantas hanya disebut sebagai pemimpin sebuah pemerintahan. Imamah terlalu pelik dan rumit bagi manusia biasa untuk  memilih dan mengangkat sendiri imam mereka. Imamah tidak dapat diputuskan dalam pemilihan. Sebab imamah bukan sekedar masalah mengurus ummat melainkan perwakilan Allah SWT di muka bumi. Karena itu hanya Allah SWT yang berhak memilih dan mengangkatnya.

Sungguh tidak mengherankan bila Al-Qur’an sendiri pernah menegaskan bahwa keluarga Ibrahim as telah dianugerahi suatu kerajaan yang besar.
“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (QS. 4:54) Maka bagaimanakah dengan keluarga Muhammad Saw sendiri? Dan apabila jumlah para imam dari keluarga Ibrahim As ini selalu dua belas orang, maka mungkinkah jumlah para imam dari keluarga Muhammad pun juga demikian?. Barangkali hadis Nabi Saw yang pernah diriwayatkan dalam Sahih Bukhari  ini bisa membawa kita kepada kontemplasi mendalam yang selaras dengan pendewasaan beragama. Bukhari-Muslim meriwayatkan, "Agama (Islam) akan selalu tegak kukuh sampai tiba saatnya, atau sampai dua belas khalifah, semuanya dari Qurays."


Imamah dan Penjagaan Risalah

Setelah jelas dari pembahasan di atas, bahwa Imamah adalah juga jabatan Ilahiah seperti halnya kenabian dan kerasulan. Maka kita selanjutnya mengkaji lebih mendalam tentang peran keimamahan dalam menjaga warisan spiritual Islam. Kita akan mengawali pembahasan imamah dan penjagaan warisan spiritual Islam dari hadits Tsaqalain. Muslim meriwayatkan di dalam kitab Shahihnya, juz 4 hal 123 terbitan Beirut Lebanon, Zaid bin Arqam berkata, "Pada suatu hari Rasulullah SAWW berdiri di tengah-tengah kami dan menyampaikan khutbah di telaga yang bernama "Khum", yang terletak antara Makah dan Madinah. Setelah mengucapkan hamdalah dan puji-pujian kepada-Nya serta memberi nasihat  dan peringatan Rasulullah SAWW berkata, "Adapun selanjutnya, wahai manusia, sesungguhnya aku ini manusia yang hampir didatangi oleh utusan Tuhanku, maka akupun menghadap-Nya. Sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua perkara yang amat berharga, yang pertama adalah kitab Allah, yang merupakan tali Allah. Barangsiapa yang mengikutinya maka dia berada di atas petunjuk, dan barang siapa yang meninggalnya maka ia berada di atas kesesatan." Kemudian Rasulullah Saw melanjutkan sabdanya, Adapun yang kedua adalah Ahlul Baitku. Demi Allah aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kamu akan Ahlul Baitku, aku peringatkan kalian akan Ahlul Baitku." Al-Hakim juga meriwayatkannya dalam al-Mustadraknya dari Zaid bin Arqam bahwa nabi bersabda pada Haji Wada', "Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga) yang salah satu dari keduanya lebih besar daripada yang lain, Kitabullah (Al-Qur'an) dan keturunanku. Oleh karena itu perhatikanlah kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku. Sebab sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga berjumpa denganku di Haudh." Setelah menyebutkan hadits ini Al-Hakim berkata, "Hadits ini shahih sesuai syarat (yang ditetapkan Bukhari-Muslim)." Sebagaimana diketahui bahwa kaum muslimin sepakat untuk mensahihkan seluruh hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, maka saya mencukupkan dengan hanya mengutip kedua hadits ini sebab dalam banyak kitab hadits ini pun dinukil. Rasul menyebut keduanya (Al-Qur'an dan Ahlul Baitnya) sebagai Tsaqalain yakni sesuatu yang sangat berharga. Keduanya sebagaimana hadits Rasulullah tidak akan pernah terpisah dan saling melengkapi. Keduanya tidak dapat dipisahkan, apalagi oleh sekedar perkataan Umar bin Khattab pada saat Rasulullah mengalami masa-masa akhir dalam kehidupannya, bahwa Al-Qur'an sudah cukup bagi kita (baca tragedi ini dalam Al-Bukhari pada bab "Al-Ilmu" (Jilid I, hal 22). Muslim meriwayatkannya dalam Shahihnya pada akhir bab al-Washiyah dan juga tertulis dalam Musnad Ahmad jilid I hal. 355). Rasulullah menjamin bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh dan berpegang pada kedua tsaqal ini, maka tidak akan pernah mengalami kesesatan. Kemunduran dan penyimpangan kaum muslimin terjadi ketika mencoba memisahkan kedua tsaqal ini. 

Tentu saja sabda Rasul tentang Ahlul Baitnya yang tidak akan terpisah dengan Al-Qur'an bukan berdasarkan hawa nafsu pribadinya, sebab Allah SWT telah menjamin dalam Al-Qur'an bahwa apapun yang disampaikan Rasul adalah semata-mata wahyu dari-Nya.  Pertanyaanya, mengapa Al-Qur'an saja tidak cukup menjadi petunjuk bagi kaum muslimin sepeninggal Rasulullah ?. Diantara jawabannya, semua kitab suci adalah kitab-kitab petunjuk yang mengandung prinsip-prinsip dasar petunjuk dan tidak menjelaskan prinsip-prinsip tersebut secara mendetail dan terperinci. Dan para Rasul diutus untuk menjelaskan kitab yang diwahyukan yang menjadi bukti kerasulannya, "Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka." (Qs. Ibrahim : 4). Apakah semasa hidupnya Rasulullah telah menjelaskan kepada ummat Islam seluruh aturan-aturan dalam Al-Qur'an secara mendetail ? Niscaya kita akan menjawab tidak seluruhnya, sebab selama sepuluh tahun Rasulullah SAWW memerintah di Madinah, telah terjadi sekitar dua puluh tujuh atau dua puluh delapan peperangan (ghazwah) dan tiga puluh lima hingga sembilan puluh sariyah. Ghazwah adalah sebuah peperangan yang dipimpin langsung oleh Rasulullah SAWW, sedangkan sariyah adalah sebuah peperangan yang tidak langsung dipimpin olehnya. Akan tetapi, ia mengutus sebuah pasukan yang dipimpin oleh salah seorang sahabat yang telah ditunjuk olehnya. Tentu saja dengan berbagai kesibukan mengatur pertahanan dan peperangan menghadapi kaum kuffar pada awal-awal revolusi Islam membuat Rasululllah tidak sempat untuk menjelaskan semua maksud ayat-ayat Al-Qur'an secara terperinci. Sementara Allah SWT berfirman, "Alif  Lam Ra. (Inilah) kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian dijelaskan secara terperinci , (yang diturunkan) dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana dan Maha Teliti". (Qs. Hud : 1). Dan di ayat lain, "Tidaklah Kami lalaikan sesuatu pun dalam Kitab ini." (Qs. Al-An'am : 38). Berkembangnya paham-paham yang saling bertolak belakang misalnya antara paham Jabariyah dan Qadariyah yang masing-masing menjadikan Al-Qur'an menjadikan landasan pemikirannya, menjadi bukti bahwa kaum muslimin di awal perkembangan Islam mengalami kehilangan pegangan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an. Bahwa sesungguhnya Rasul belum menjelaskan seluruhnya, walaupun agama ini telah sempurna, "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu." (Qs. Al-Maidah [5]: 3). Sebab, "Kewajiban Rasul tidak lain hanya menyampaikan (risalah Allah)." (Qs. Al-Maidah : 99). Bukan berarti Rasulullah sama sekali tidak menjelaskan, "Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman." (Qs. An-Nahl : 64), masalah ini berkaitan dengan Al-Qur'an sebagai mukjizat, berkaitan dengan kedalaman dan ketinggian Al-Qur'an, sehingga hukumnya membutuhkan penafsir dan pengulas. Al-Qur'an adalah petunjuk untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman karenanya akan selalu berlaku dan akan selalu ada yang akan menjelaskannya sesuai dengan pengetahuan Ilahi. "Sungguh, Kami telah mendatangkan kitab (Al-Qur'an) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." (Qs. Al-A'raf : 52). Dan menurut hadits Rasulullah Ahlul Baitlah yang meneruskan tugas Rasulullah untuk menjelaskan secara terperinci ayat-ayat Al-Qur'an. Penerus nabi adalah orang-orang tahu interpretasi ayat-ayat Al-Qur'an sesuai dengan makna sejatinya, sesuai dengan karakter esensial Islam, sesuai yang dikehendaki Allah Swt. Imam Ali as dalam salah satu khutbahnya yang dihimpun dalam Nahj Balaqah, khutbah ke-4, "Melalui kami kalian akan dibimbing dalam kegelapan dan akan mampu menapakkan kaki di jalan yang benar. Dengan bantuan kami kalian dapat melihat cahaya fajar setelah sebelumnya berada dalam kegelapan malam. Tulilah telinga yang tidak mendengarkan seruan (nasihat) sang pemandu". Tentang Imam Ali as Rasulullah bersabda, "Aku adalah kota ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya. Barang siapa yang menghendaki ilmu, hendaklah ia mendatangi pintunya" Hadits ini disepakati keshahihannya oleh kaum muslimin sebab banyak terdapat dalam kitab-kitab hadits, diantaranya At-Thabari, Hakim, Ibnu Hajar, Ibnu Katsir dan lainnya. Umar bin Khattab pun mengakui keilmuan Imam Ali As sebagaimana yang diriwayatkan Ath-Thabari, Al-Kanji Asy-Syati'i dan As-Shuyuti dalam kitabnya masing-masing, "Dari sanad Abu Hurairah, Umar bin Khattab berkata, "Ali adalah orang yang paling mengetahui di antara kami tentang masalah hukum. Aku mengetahui hal itu dari Rasululah maka sekali-kali aku tidak akan pernah meninggalkannya" Dalil yang menyatakan bahwa tidak hanya Rasulullah yang mengetahui makna Ilahiah Al-Qur'an, maksud sebagaimana yang diinginkan Allah SWT terdapat dalam ayat, "Sebenarnya (Al-Qur'an) itu adalah ayat-ayat yang jelas dalam dada orang-orang berilmu." (Qs. Al-Ankabut [29]: 49).  Dan Ahlul Baitlah yang dimaksud dengan orang-orang berilmu tersebut.

Dan dengan firman Allah Swt, "Aku hendak jadikan seorang khalifah (wakil) di muka bumi." (Qs. Al-Baqarah : 30), berarti di muka bumi akan senantiasa ada yang menjadi pemimpin otoritatif yang diangkat Allah Swt untuk menjadi khalifahnya. Akan tetap ada di muka bumi orang-orang yang menerima pengetahuan dari sumber Ilahiah. Imam Ali as berkata, "Pengetahuan masuk ke mereka, sehingga mereka mempunyai pengetahuan mendalam tentang kebenaran." Mereka memiliki pengetahuan bukan hasil belajar dan terlepas dari kekeliruan. Mereka pun memiliki 'Roh Tuhan' yang menghubungkan mereka dengan dunia gaib. 

Betapa pentingnya keberadaan Imam dan seorang Khalifah di muka bumi, "Dan kalau Allah tidak melindungi sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya rusaklah bumi ini. " (Qs. Al-Baqarah [2] : 251). Sebagian manusia yang menjadi pelindung atas manusia yang lainnya adalah Ahlul Bait sebagaimana hadits Rasulullah SAWW, "Perumpamaan Ahlul Baitku seperti bahtera  Nuh, barangsiapa yang menaikinya niscaya ia akan selamat; dan barangsiapa tertinggal darinya, niscaya ia akan tenggelam dan binasa." Seluruh ulama Islam sepakat akan keshahihan hadits ini yang dikenal sebagai hadits Safinah, di antaranya Al-Hakim, Ibnu Hajar dan Ath-Thabrani. Dan kitapun tahu dari informasi Rasulullah bahwa di akhir zaman akan muncul juru penyelamat yang akan menyelamatkan manusia dari berbagai kedzaliman dan menyebarkan keadilan di muka bumi, dialah yang dinanti-nantikan, Imam Mahdi As. Rasulullah Saw bersabda, "Kiamat tidak akan tiba kecuali kalau dunia ini sudah dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan. Kemudian keluar setelah itu seorang laki-laki dari Ahlul Baitku memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan." Hadits-hadits Rasulullah Saw tentang Imam Mahdi sangat banyak jumlahnya.

Hanya saja, sejauh mana kita mencoba mengenali siapa yang termasuk Ahlul Bait nabi, siapakah mereka Imam 12 yang disebut Rasul berasal dari Bani Qurays, dan siapakan Imam Mahdi yang akan muncul di akhir zaman? Sebagai muslim adalah kewajiban untuk mengetahui dan taat kepada mereka, sebagaimana wajibnya kaum muslimin taat kepada titah Allah Swt yang termaktub dalam Al-Qur'an. Dalam Shahih Muslim, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang meninggal dan tidak mengetahui imam zamannya, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliyah." Dan dalam Al-qur'an Allah SWT berfirman, "(Ingatlah), pada hari ketika Kami panggil setiap umat dengan imamnya." (Qs. Al-Isra': 71).




- Source : www.erfan.ir/

Selasa, 02 Agustus 2016

Sejenak Bersama Al-Quran: Kiblat dan Arsitektur Kota

Sejenak Bersama Al-Quran: Kiblat dan Arsitektur Kota


Kiblat dan Arsitektur Kota




Allah Swt berfirman:
“Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya, “Ambillah olehmu berdua beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu berhadap-hadapan (sebagai kiblat) dan dirikanlah olehmu salat serta gembirakanlah orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 87)

Kiblat dalam bahasa berarti berhadap-hadapan dan juga berarti arah Ka’bah. Yakni, dalam membuat rumah hendaknya mengarah ke kiblat. Sangat mungkin ayat ini berarti bahwa selama Firaun masih berkuasa dan memutuskan untuk menghancurkan kalian, maka ibadah kalian dilakukan di rumah-rumah.[1] Sama seperti tiga tahun pertama pengutusan Nabi Muhammad Saw.

Dengan demikian, arsitektur dan pembangunan kota Islam hendaknya memiliki kesamaan dengan ajaran Islam itu sendiri dengan tidak melupakan arah kiblat. Kita harus membangun rumah yang dapat dipergunakan untuk melakukan ibadah di dalamnya.

Semua program para nabi berdasarkan wahyu, bahkan terkait pembangunan rumah. Oleh karenanya, kawasan penduduk yang beriman harus dibedakan dari orang-orang Kafir dan jangan biarkan orang asing berada di kawasan dan masyarakat kita, sehingga hal itu menjadi sarana bagi kemuliaan, kekuatan dan independensi kelompok orang beriman. Dari satu sisi, rumah-rumah yang dibangun berhadap-hadapan lebih mudah untuk menjaga, mengawasi dan lebih mengakrabkan penghuninya satu dengan yang lain.

Sumber: Mohsen Qaraati, Daghayeghi ba Quran, Tehran, Markaz Farhanggi Darsha-i az Quran, 1388 Hs, cet 1.


-------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] . Tafsir Nur at-Tsaqalain.

Rasulullah Saw, Simbol Persatuan Dunia Islam

Rasulullah Saw, Simbol Persatuan Dunia Islam


Umat Islam di seluruh penjuru dunia memperingati maulid Nabi Muhammad Saw, meskipun terdapat perbedaan penanggalan kelahirannya menurut riwayat Sunni dan Syiah. Sunni meyakini Rasulullah Saw dilahirkan tanggal 12 Rabiul Awal, sedangkan Syiah meyakini tanggal 17 Rabiul Awal. Meskipun demikian, hal ini justru dipahami sebagai momentum persatuan Dunia Islam.

Di Iran, Imam Khomeini mencanangkan “Pekan Persatuan Dunia Islam” dalam memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw. Hingga kini, Iran terus menerus menyuarakan persatuan Muslim di tengah keragaman mazhab masing-masing.

Persatuan umat Islam dipahami bahwa kaum Muslim mengedepankan kesamaan pandangan sebagai pokok pijakan bersama, yaitu: Tauhid, al-Quran dan Nabi Muhammad Saw dalam menghadapi  berbagai ancaman terhadap prinsip Islam dan masyarakat Muslim, sekaligus sebagai pengikat umat Islam untuk menjauhi friksi antarmazhab, politik, etnis, bahasa dan lainnya.

Dewasa ini, urgensi persatuan Islam lebih mendesak dari sebelumnya.Sebab Islam dan Muslim di seluruh penjuru  dunia saat ini menjadi sasaran musuh dengan berbagai programnya, termasuk Islamofobia. Oleh karena itu, seluruh Muslim harus menaati perintah Allah swt dan menjadikan Nabi Muhammad Saw sebagai teladannya, dan perilaku mereka mengikuti contoh yang telah diberikan oleh Rasulullah Saw. Nabi Muhammad Saw berhasil menyatukan bangsa jahiliyah yang tidak berbudaya dalam ikatan tauhid dan solidaritas umat Islam.

Nabi Muhammad Saw sangat menekankan urgensi persatuan dan solidaritas umat Islam demi mewujudkan tujuan mulia agama Islam, dan beliau sangat mengetahui dengan baik jalan untuk mewujudkannya.Oleh karena itu, Rasulullah Saw mengerahkan seluruh upayanya untuk mewujudkan persatuan umat Islam.

Setelah hijrah dari Mekah ke Madinah, langkah pertama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw salah satunya adalah mengambil janji setia dan mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Ansar. Dalam perjanjian ini, Rasulullah Saw juga menyatukan suku Aus dan Khazraj yang sering berperang hingga bertahun-tahun. Sejarah mencatat, peperangan antara dua kabilah itu lebih dari seratus tahun.

Rasulullah Saw dengan baik memahami bahwa Islam tidak akan berakar kuat di kota Madinah dan di wilayah lainnya ketika antarsesama anggota masyarakat masih berperang mengenai masalah suku maupun etnis dan kelas sosial. Dengan metode yang sangat cerdas, Rasulullah Saw mempersaudarakan satu persatu dari kedua kelompok. Nabi Muhammad Saw dalam sebuah pertemuan besar bersabda, “Setiap pasang terdiri dari dua orang menjadi saudara seagama”.

Saking kuatnya ikatan persaudaraan ini, seorang Muslim akan mendahulukan saudara seagama dari dirinya sendiri. Sejarah mencatat suatu hari terjadi pembagian pampasan perang atau ghanimah. Rasulullah Saw berkata kepada orang-orang Ansar supaya mempersilahkan muhajirin ikut dalam pembagian ghanimah tersebut.

Pihak Ansar menjawab, “Kami tidak hanya akan memberikan ghanimah kepada saudara muhajirin, tapi mereka juga diperbolehkan untuk tinggal di rumah kami,”. Sejatinya, tindakan Rasulullah Saw mempersaudarakan kaum muhajir dan Ansar merupakan terobosan besar yang dicatat dalam sejarah. Persatuan tersebut menjadi model persatuan dunia Islam hingga kini.

Persatuan Islam merupakan salah satu faktor terpenting bagi kemuliaan dan kemenangan Muslim di berbagai bidang, dari aspek sosial hingga politik. Sebaliknya, perselisihan dan friksi hanya menghasilkan kelemahan dan ketidakberdayaan umat Islam. Potensi sumber daya Muslim yang besar terbuang percuma, dan umat Islam terkotak-kotak secara etnis, kelompok sosial dan kecenderungan politiknya masing-masing.

Nabi Muhammad Saw memandang sama setiap Muslim. Bagi Rasulullah Saw, tidak ada bedanya seorang budak seperti Bilal dan Zaid bin Haritsah, yang menjadi komandan pasukan Muslim. Parameter keutamaan dalam Islam yang dijadikan pijakan oleh Rasulullah Saw adalah ketakwaan. Oleh karena itu, orang yang paling takwa adalah orang yang paling mulia tanpa memandang status sosial maupun etnisnya.

Suatu hari  Salman sedang duduk di Masjid, dan sebagian tokoh juga berada di sana. Lalu muncul pembicaraan mengenai silsilah keturunan mereka. Masing-masing berbangga dengan keturunannya sendiri. Kemudian tibalah giliran Salman untuk menjelaskan garis keturunannya.

Ketika itu, Salman berkata, “Namaku Salman, putra salah seorang hamba Allah. Dulu tersesat, tapi Tuhan memberikan hidayah melalui Nabi Muhammad Saw. Dahulu aku miskin, tapi Allah swt membuatku tidak membutuhkan melalui Muhammad. Dahulu aku budak, tapi kini Tuhan membebaskanku melalui Muhammad. Inilah silsilah garis keturunanku.”

Pada saat itu, Rasulullah Saw memasuki masjid, dan peristiwa tersebut dijelaskan kepada beliau oleh salah seorang dari mereka yang berada di masjid itu. Di hadapan para pemuka Quraisy, Nabi Muhammad Saw bersabda, “Wahai kaum Quraisy! Apa artinya darah? Apa maknanya suku? Garis keturunan tidak pernah menjadi kebanggaan dalam agama seseorang. Ksatria adalah orang yang berakhlak mulia dan berbuat baik lebih banyak.Keutamaan setiap orang adalah akal dan pemahamannya.Lalu apa yang lebih utama dari akal?” Pernyataan Rasulullah saw tersebut menegaskan penolakan terhadap fanatisme kabilah, dan mengutamakan persatuan.

Nabi Muhammad Saw menentang keras fanatisme etnis, dan mendukung orang orang yang tertindas. Kebanyakan dari mereka adalah budak yang tidak berada dalam perlindungan satu kabilah pun. Tapi, Rasulullah saw mengakui hak sosial dan politik mereka yang sama dengan orang lain.

Rasulullah Saw dengan baik mengetahui bahwa manusia sama secara fitrahnya. Semua manusia dilahirkan sama dari sisi kemanusiaannya, dan perbedaan suku, bahasa dan tempat kelahiran tidak menghalangi hak kemanusiaan mereka. Selain itu, Nabi Muhammad Saw juga menghapuskan tradisi ribuan tahun dua kelompok; budak dan tuan, yang berkembang di tengah masyarakat ketika itu.

Terkait hal ini, Nabi Muhammad Saw bersabda, “Tuan dan budak sama saja, mereka saudara dan berasal dari satu keturunan. Semua asalnya dari tanah. Tidak ada keunggulan kulit putih dari kulit hitam. Para budak yang berada di bawah kalian adalah saudara kalian juga dan memiliki hak seperti kalian. Makanan yang kalian makan, berikan juga kepada mereka. Pakaian yang kalian kenakan, berikan juga kepada mereka. Jangan memaksa mereka melakukan pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakannya. Kalian juga harus membantu pekerjaan mereka,”.


Di bagian lain, Rasulullah Saw menegaskan hak-hak para budak yang harus diperhatikan para tuannya,“Perhatikan adab setiap kali kalian memanggil mereka. Jangan panggil mereka dengan budakku! Sebab mereka semua, baik laki-laki maupun perempuan adalah hamba Tuhan! Semua milik-Nya.” Sabda Rasulullah Saw tersebut memberikan pengaruh terhadap para sahabatnya. Contohnya, Zaid bin Haritsah membebaskan budak yang dihadiahkan istrinya. Lalu ia mengangkat budak itu sebagai anaknya. Kemudian dinikahkan dengan putri bibinya dari kabilah terkemuka Quraisy.

Perpecahan dan friksi di Madinah selalu muncul baik terbuka maupun tersembunyi. Tapi dengan sigap Rasulullah Saw meredamnya. Salah satu yang menjadi pemicunya adalah manuver Abdullah bin Ubay, seorang munafik yang dicatat dalam sejarah Islam. Meskipun Abdullah bin Ubay menampakkan diri beriman, tapi ia selalu memanfaatkan setiap kesempatan untuk memecah belah umat Islam. Bahkan ia juga menjalin hubungan dengan Musyrikin Mekah. Selain itu, ia juga memainkan peran penting dalam memprovokasi Yahudi Madinah supaya melanggar perjanjian dengan Muslim.

Meskipun Rasulullah Saw mengetahui sepak terjang Abdullah bin Ubay, tapi beliau tidak menindak langsung demi menjaga persatuan umat Islam dan hanya mengontrolnya dan meminimalisir dampak buruknya. Sejatinya, Rasullah Saw selalu mengutamakan persatuan dan solidaritas umat Islam, dan inilah yang dihadiahkan beliau kepada umat Islam di hari mulia kelahirannya.

Persatuan Islam dalam Perspektif Imam Shadiq

Persatuan Islam dalam Perspektif Imam Shadiq


Pada Jumat, 17 Rabiul Awal 83 H (702 M), lahir seorang manusia suci dan penerus risalah Nabi Muhammad Saw. Pada hari yang bertepatan dengan maulid Rasulullah Saw ini, Imam Jafar Shadiq dilahirkan di kota Madinah. Sejak usia 34 tahun, beliau menjadi pemimpin umat memegang tampuk imamah. Tampaknya, tidak ada para Ahlul Bait Rasulullah Saw yang memiliki kesempatan begitu luas seperti Imam Sadiq dalam menyebarkan ajaran Islam dan ilmu pengetahuan serta mendidik para murid.

Imam Shadiq hidup di masa ketika Dinasti Umayah sedang mengalami kemunduran, dan Dinasti Abbasiah mulai merebut kekuasaan. Di tengah pertarungan kekuasaan kedua dinasti itu, Imam Shadiq menyebarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan Islam. Periode kehidupan Imam Shadiq merupakan era pemikiran dan munculnya berbagai aliran dan mazhab. Situasi dan kondisi tersebut menyulitkan masyarakat Muslim untuk menemukan ajaran-ajaran Islam yang benar dan menyeret mereka kepada jalan sesat. Namun cahaya petunjuk Imam Shadiq yang terang benderang telah menyinari sudut-sudut kegelapan pemikiran masyarakat ketika itu.


Para ulama dari berbagai mazhab Islam memandang Imam Shadiq sebagai pelopor berbagai ilmu seperti kalam, fikih, tafsir, akhlak dan disiplin ilmu lainnya. Dilaporkan tidak kurang dari empat ribu orang dengan semua perbedaan yang mereka miliki, telah menimba ilmu kepada Imam Shadiq dan menulis berbagai karya. Selain itu, beliau juga dikenal dengan ketinggian akhlaknya.

Bertepatan dengan peringatan pekan persatuan Islam kali ini, menarik kiranya untuk menggali pandangan Imam Shadiq mengenai persatuan Islam. Imam Shadiq menyebut sesama Muslim sebagai satu saudara, dan mereka tidak boleh bersikap saling memusuhi.

Dalam sebuah riwayat dari Imam Shadiq disebutkan bahwa "Seorang Muslim adalah saudara Muslim lainnya. Seorang Muslim adalah cermin dan panduan Muslim lainnya. Seorang Muslim tidak akan pernah mengkhianati, menipu dan menindas Muslim lainnya, dan tidak berbohong kepadanya serta tidak mengghibahnya."

Imam Shadiq selalu berpesan kepada para pengikut Ahlul Bait untuk menjalin hubungan baik dengan para pengikut mazhab Islam lain. Perilaku, perbuatan dan perkataan beliau telah menarik perhatian para pemimpin dan para pengikut berbagai mazhab lainnya. Beliau berkata, “Satu sama lain harus saling mencintai. Mereka berbuat kebaikan kepada sesamanya dan saling menyayangi”.

Imam Shadiq memberikan nasehat kepada para pengikutnya supaya saling mengasihi sesama Muslim. Imam Shadiq berkata, “Sampaikan salam kepada para pengikutku dan katakan kepada mereka Allah swt merahmati hamba-Nya yang mencintai sesama,”.

Di bagian lain statemennya, Imam  Shadiq menegaskan solidaritas dan persaudaraan seagama yang berpijak pada tiga faktor. Pertama meninggalkan kedengkian untuk mencegah dan menghindari lemahnya masyarakat Islam, sehingga umat Islam tidak terpecah belah dan tercerai-berai. Faktor kedua, saling meningkatkan ikatan persaudaraan dan solidaritas. Faktor ketiga saling membantu sehingga meningkatkan kemuliaan umat Islam.

Kemuliaan akhlak dan ketinggian ilmu Imam Shadiq telah menarik perhatian Abu Hanifah dan para pemimpin mazhab Ahlus Sunnah lainnya sehingga mereka berbondong-bondong mendatangi beliau untuk memanfaatkan kekayaan ilmu cucu Rasulullah Saw ini.

Abu Hanifah, pemimpin mazhab Hanafi hadir di kelas-kelas Imam Shadiq selama dua tahun. Terkait hal ini, ia berkata, "Kalau bukan karena dua tahun [menimba ilmu dari Imam shadiq], maka Nu`man (Abu Hanifah) telah celaka." Malik bin Anas, pemimpin mazhab Maliki mengenai Imam Shadiq berkata, "Belum ada mata yang melihat dan belum ada telinga yang mendengar serta belum ada manusia yang hadir dalam hati, yang lebih baik dari Imam Jafar Shadiq dari sisi keutamaan, ilmu, ibadah, wara` dan ketakwaannya."

Orang-orang yang hadir dalam majelis ilmu Imam Shadiq mengakui keunggulan beliau di bidang ilmu pengetahuan, meskipun sebagian dari mereka tidak sejalan dengan garis pemikirannya. Imam Shadiq mendidik murid-murid besar di antaranya Hisyam bin Hakam, Muhammad bin Muslim dan Jabir bin Hayan.

Sebagian dari mereka memiliki berbagai karya ilmiah yang tiada tara di zamannya. Misalnya Hisyam bin Hakam menulis 31 buku. Jabir bin Hayan menulis lebih dari 200 buku dan pada abad pertengahan, karya tersebut diterjemahkan ke berbagai bahasa Eropa.Mufadhal juga merupakan salah satu murid terkemuka Imam Shadiq yang menulis buku "Tauhid Mufadhal".

Berbagai kitab sejarah baik dari kalangan Sunni maupun Syiah menjelaskan dialog dan perdebatan ilmiah yang diikuti oleh Imam Shadiq. Menariknya, seluruh perdebatan tersebut tidak berujung debat kusir, apalagi pertengkaran. Imam Shadiq kepada para pengikutnya menekankan prinsip akhlak mulia di berbagai bidang, termasuk ketika berdialog. Beliau sangat menjunjung tinggi pesan al-Quran dalam berdialog untuk menggunakan cara yang baik, atau “Jidal Ahsan”.

Para lawan Imam Shadiq pun mengakui ketinggian akhlaknya. Ketika pihak lawan dalam debat menyampaikan pandangan, beliau mendengarkan argumentasinya hingga selesai, lalu secara singkat menanggapinya. Beliau juga menghormati dan menjaga etika berdebat, kemudian mengemukakan pandangannya dengan kalimat yang benar dan berisi, yang disampaikan secara singkat dan padat. Ketika berdebat, Imam Shadiq membela keyakinannya secara tegas dan terang-terangan, tapi disampaikan dengan cara yang bijaksana.

Imam Shadiq meminta para pengikutnya untuk menghormati sesama Muslim, dan menjaga persatuan Islam. Cucu Rasulullah Saw ini memberikan nasehat kepada salah seorang sahabatnya bernama Zaid bin Hisyam supaya menghormati Ahlusunnah.

Beliau berkata, “Datangilah masjid-masjid mereka dan shalatlah di sana. Jenguklah mereka jika sakit, dan iringilah jenazahnya ketika mereka meninggal. Bersikap baiklah kalian, sehingga mereka datang dan ikut bersama-sama shalat dengan kalian. Jika akhlak kalian demikian, mereka akan berkata inilah pengikut mazhab Jafari; Tuhan merahmati Imam Shadiq yang telah mendidik pengikutnya demikian..... Tapi jika akhlak kalian buruk, maka mereka akan memandang buruk mazhab Jafari, dan menilai sebegitu burukkah Imam Shadiq mendidik para pengikutnya”.

Suatu hari Hisyam bin Hakam menanyakan kepada Imam Shadiq alasan mengapa umat Islam diwajibkan untuk menunaikan ibadah haji. Imam Shadiq menjawab, “Allah swt menciptakan makhluk supaya mereka menaati aturan agama dan menjauhi yang dilarang agama, demi kemaslahatan hidupnya di dunia. Dalam ibadah Haji terdapat sarana bagi orang-orang yang ada di timur dan barat untuk saling mengenali. Lalu kelompok dan suku yang satu mengunjungi satu kota ke kota lain, sehingga terjalin perniagaan yang menguntungkan di antara mereka... selain itu warisan Rasulullah saw lebih dikenali dan selalu teringat dan tidak akan pernah terlupakan,”

Dalam pandangan Imam Shadiq fondasi kuat dari persatuan Muslim adalah itikad baik dan berbuat baik serta saling membantu. Mengharapkan terwujudnya sebuah umat yang kuat dan terorganisir tanpa infrastruktur moral yang kokoh hanya sekedar penantian sia-sia. Akar perpecahan dan kelemahan masyarakat Muslim harus dilihat dari moralitas umat Islam sendiri.

Selain menekankan masalah akhlak dan persatuan Islam, Imam Shadiq menegaskan mengenai masalah politik dan nasib masyarakat, termasuk mengkritik kinerja buruk pemerintahan lalim yang merugikan masyarakat.






- Source : indonesian.irib.ir/

Senin, 01 Agustus 2016

Sejenak Bersama Al-Quran: Keberuntungan di Dunia bagi Wali Allah

Sejenak Bersama Al-Quran: Keberuntungan di Dunia bagi Wali Allah


Keberuntungan di Dunia bagi Wali Allah



Allah Swt berfirman:

“Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus: 64)


Kabar gembira Allah Swt kepada para wali-Nya di dunia telah dijelaskan dalam ayat-ayat yang lain dan itu menunjukkan para wali Allah mendapatkan keberuntungan selama di dunia dikarenakan mereka;

1. Ketenangan. “Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra’d: 28)

2. Tawakal. “Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.” (QS. Ali Imran: 122)

3. Bantuan gaib. “Tentara yang tidak dapat kamu melihatnya.” (QS. al-Ahzab: 9)

4. Senantiasa menang. “Tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan.” (QS. at-Taubah: 52)

5. Cara pandang dan cahaya. “Kami akan memberikan kepadamu Furqaan.” (QS. al-Anfal: 29)

6. Selalu ada solusi. “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. at-Thalaq: 2)

7. Bermanfaat. “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. az-Zalzalah: 7)

8. Tidak takut dicela. “Yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.” (QS. al-Maidah: 54)

9. Tidak takut manusia. “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka.” (QS. Ali Imran: 173)

10. Tidak takut penguasa. “Maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan.” (QS. Thaha: 72)

11. Tidak bingung. “Mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya.” (QS. Yunus: 9)

12. Dicintai. “Kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam: 96)

13. Pekerjaan diniatkan demi Allah. “Shibghah Allah.” (QS. al-Baqarah: 138)

Sumber: Mohsen Qaraati, Daghayeghi ba Quran, Tehran, Markaz Farhanggi Darsha-i az Quran, 1388 Hs, cet 1.